Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Doni dan Joni

Doni dan Joni

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (123rf.com)
Ilustrasi. (123rf.com)

dakwatuna.com – Hari ini, Minggu, mendung masih memayungi kota Yogya. Maklum sudah masuk musim hujan. Warna langit yang putih kelabu menandai tidak lama lagi hujan akan turun. Angin sepoi-sepoi bertiup sayup-sayup ke dalam sebuah rumah tua peninggalan orde baru. Rumah itu ditinggali oleh kakak beradik Doni dan Joni.

Di rumah tiada sesiapapun kecuali kedua bersaudara itu. Teman-teman mereka sedang keluar menikmati libur. Kedua anak itu sejak pagi hanya bermalas-malasan. Joni si kakak, sejak berjam-jam yang lalu sibuk dengan bukunya. Sedang adiknya Doni, sibuk dengan game terbarunya di notebook.

Kedua manusia sedarah ini memang berbeda. Wajah mereka kata orang mirip satu dengan yang lain. Warna kulit mereka juga sama: sawo matang. Postur tubuh mereka juga: jangkung ceking. Yang berbeda dari kedua anak itu hanya rambut mereka. Doni berambut keriting dan Joni berambut ikal.

Kalau secara fisik keduanya relatif sama, nah kalau dalam cara berpikir keduanya jauh berbeda. Karena Joni suka membaca maka wawasannya sedikit lebih luas, sedangkan Doni lebih tajam analisisnya akunya. Memang orang-orang melihatnya begitu dan karenanya kedua saudara itu kerap didapati berdebat sendiri di kamar. Tidak jarang mereka baku hantam kalau perbedaan pendapat tidak berujung memuaskan.

Menariknya, karena Joni lebih luas ilmunya, maka kerap ia mengajak Doni untuk berdiskusi. Tetapi lebih banyak tidak mengena. Sehingga karena bosan, Joni mengalihkan alur diskusi ke soal-soal ekonomi. Hal ini dilakukan supaya diskusi mereka berjalan dinamis. Karena Doni seorang mahasiswa ekonomi. Dan benar saja, diskusi keduanya dalam isu soal ekonomi memang berlangsung panjang dan alot. Bagaimana tidak? Joni yang corak berpikirnya sosialis jarang dapat bertemu dengan corak pikir Doni yang cenderung individualis. Karena sudah rahasia umum, fakultas ekonomi di negeri ini banyak mencetak calon-calon manusia kapitalis, ujar seorang peneliti muda.

Siang ini, Doni sudah agak bosan dengan game yang ia mainkan sejak pagi. Dalam kepalanya, muncul ide untuk melakukan sesuatu yang lain, yang menyenangkan, dan tentu saja memuaskannya. Karena ia menganggap sesuatu itu menyenangkan, baik dan benar, kalau sesuatu itu mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Doni memang kalau dilihat sekilas, mirip dengan William James.

Doni melihat kakaknya masih sibuk menelusuri buku yang ditelitinya sejak dua hari yang lalu. Joni berbaring santai di atas kasur. Kepalanya terganjang bantal, sedang kakinya memangku angkuh. Buku itu digenggam naik turun dada ke kasur. Doni memperhatikan judul buku itu. Tampak beberapa larik kata berjejal. Di situ tertulis, Kajian Kritis Das Capital Karl Marx karangan Anthony Brewer.

Kedua mata Doni tajam mengamati cover buku kiri itu. Kelopak matanya perlahan membuka lebar dihiasi cahaya berbinar. Lentik matanya yang semula layu menegang. Dalam hati, Doni tidak sadar berujar, pada hari semaju ini rupanya masih ada orang yang membaca buku kuno tersebut? Apakah orang itu masih hidup di dalam sejarah? Tidakkah ia membuka mata lebar-lebar dan memeluk mazhab ekonomi modern? Sungguh, orang-orang yang merugi.

Tidak tahan dengan pergolakan pertanyaan-pertanyaan di dalam dirinya. Yang mengoyak-ngoyak logika ekonomi neoklasiknya. Tanpa basa-basi Doni lantas bersuara. “Bro. Kamu masih suka saja dengan buku macam begitu?”

Joni sekonyong-konyong terperanjat. Sejenak ia mengalihkan kedua bola matanya yang dari tadi sibuk menyisiri larik-larik tulisan ke arah Doni. Kedua matanya tajam memperhatikan air muka Doni yang sumringah. Ia hanya tersenyum dan mengembalikan posisi matanya. Menurutnya, hanya membuang waktu kalau berdiskusi dengan orang seperti Doni. Ia sudah tahu ujung diskusi sebelum diskusi itu dimulai.

“Joni, memang menurutmu Sosialisme itu dapat menyelesaikan masalah ekonomi manusia modern? Bukankah itu hanya khayalan seorang paruh baya di pertengahan abad 19?” Doni mulai mencibir dengan metafor. Ia berdiri menyandar di ujung pintu. Duduk terlalu lama membuat kakinya pegal.

“Bro, cara pikir manusia sosialis, tidak akan pernah maju. Kau tahu tidak? Tujuan hidup manusia sekarang, kalau saya perhatikan, adalah individualisme. Maka, tentu saja mereka cenderung menuhankan diri mereka sendiri. Itu teorinya.” Doni tersenyum lebar. Ocehannya semakin keras menyepak gendang telinga Joni yang sejak tadi tertidur pulas.

“Ah, kau bercanda. Bagaimana bisa manusia itu menuhankan dirinya. Lalu mau dibawa ke mana Tuhan kalau kita menuhankan diri sendiri?”

“Kamu tidak lihat? Sekarang banyak orang yang lebih sibuk mengurusi diri mereka sendiri daripada orang lain. Mereka lebih percaya dengan apa yang mereka katakan daripada yang orang lain katakan.” Doni menimpal. Air mukanya menggambarkan keyakinan yang bulat bahwa apa yang dipikirkannya itu benar-benar ada dan terjadi.

“Bisa kau berikan contoh?” Ujar Joni penasaran.

“Makanya Bro, jangan terlalu banyak baca buku. Jangan terlalu percaya dengan kalimat-kalimat di situ. Kamu tahu? Penulis buku itu semuanya tidak obyektif. Mereka hanya menulis sesuatu menurut kedalaman pengalaman mereka sendiri. Penulisan yang obyektif sebenarnya tidak ada, kecuali sensus.”

“Sekarang coba kamu pikirkan. Kamu tidak tahu, orang yang menulis buku itu berangkat dari riset? Tentu saja mereka tidak akan menuliskan sesuatu sesuai pandangan mereka tanpa mempertimbangkan pandangan orang lain.” Joni menanggapi. Tampaknya telinganya serasa dipecut berkali-kali. Ia tidak akan membiarkan kesalahan berkuasa.

“Kata dosen saya. Sebagai seorang mahasiswa ekonomi, kita tidak perlu banyak mendalami teori. Yang kita butuhkan adalah kepercayaan diri. Karena teori tidak berguna kalau sudah berhadapan dengan dunia praktek. Bukankah yang paling penting itu praktek? Dan di dalam dunia praktik yang menang adalah orang yang percaya diri.”

“Makanya kalau kamu bertemu mahasiswa ITB mereka cenderung terlihat sombong. Karena mereka merasa diri mereka berasal dari tempat yang terbaik. Tidak ada apa-apanya jika disbanding dengan kita di sini. Sehingga, di hadapan kampus-kampus yang lain, mereka merasa lebih tinggi. Nah, hal seperti itu berguna di dunia praktek.”

“Saya tidak tahu, karena belum pernah secara langsung berdialog dengan mereka. Tetapi saya pikir, tidak semua dari mereka seperti itu. Bro, kamu harus tahu, praktik itu memang penting tetapi kalau dilandasi dengan teori yang salah maka tambah salah. Orang akan bertindak baik karena dibangun dengan ide yang baik. Tidak mungkin keduanya saling bersaing.” Ujar Joni mencoba menasihati.

“Jadi begini, manusia pada dasarnya berpikir agar ia sendiri baik. Jadi, kalau ada orang lain yang meminta bantuan, itu harus dianalisa dulu. Apakah pertolongan itu baik bagi dirinya atau tidak. Artinya, dengan menolong orang itu, ia tidak merasa rugi atau kekurangan? Kalau merasa rugi maka pertolongan itu tidak perlu.”

“Ah, di sini kamu harus teliti Bro. Bagaimana kalau orang itu benar-benar membutuhkan pertolongan itu? Bagaimana kalau ia sudah tidak mempunyai kekuatan untuk menolong dirinya lagi? Bukankah di situ secara naluri kita harus menolongnya? Misalnya temanmu kelaparan dan meminta telur punyamu sebutir. Dengan alasan uangnya belum dikirim. Bukankah suara hatimu seharusnya mendorongmu untuk memberinya.” Joni bertanya balik.

“Misalnya begini. Kamu sebagai seorang mahasiswa dikirimi oleh orang tua setiap bulan Rp. 1000.000. Tetapi karena kamu pemboros, maka uang itu habis sebelum waktunya habis. Lalu, apakah kamu akan menolong orang itu kalau kamu juga sebenarnya membutuhkan pertolongan? Bukankah itu bodoh namanya? Kamu pilih mana, menolongnya tetapi kemudian meminta pertolongan orang lain, karena uangmu sudah diberikan kepadanya. Atau kamu tidak memberinya tetapi kamu tidak meminta kepada orang lain? Mana yang lebih mulia? Tangan di atas ataukah tangan di bawah? Doni menirukan perkataannya dengan menggerakkan kedua tangannya. Yang kiri di atas, yang kanan di bawah.

Joni mencoba menimbang-nimbang pendapat adiknya. Sekilas pendapat itu memang benar. Tetapi semakin lama ia semakin sadar bahwa perkataan itu sangat lemah. Benarkah seorang manusia yang kodratnya merupakan makhluk sosial tega melihat manusia yang lain menderita. Apalagi orang itu merupakan sahabat. Padahal ia mempunyai kuasa untuk menolong. Bukankah hal itu diajarkan oleh agama dan moral orang Indonesia?

“Justru di situ kekeliruannya Bro. Masa sebagai manusia, apalagi mahasiswa, kamu tega berbuat seperti itu kepada orang yang sedang kesulitan? Bukankah secara umum hal itu secara moral tidak benar? Meskipun tidak berarti itu buruk.”

“Jadi menurut saya, diri kita sendirilah yang harus kita lindungi dulu. Baru kalau sudah mampu, kalau sudah mandiri, karena sudah bekerja, maka itu boleh dilakukan. Apa gunanya kalau kita mengorbankan diri kita buat kebaikan orang lain? Bukankah itu cara berpikir yang gegabah? Lalu begitu juga dengan orang lain yang harus menolongmu, karena kamu kelaparan karena membantu orang itu? Bukankah kamu nantinya akan menzhalimi orang lain karena terus-menerus meminta pertolongan mereka. Apakah kamu tidak malu meminjam uang orang lain?”

“Saya pikir tidak apa-apa selama orang itu bisa terbantu. Toh, belum tentu juga kan dengan membantu orang lain uang kita habis? Apalagi kalau hanya kehilangan uang Rp. 2000 –karena Doni selalu menarik tarif bagi teman-teman yang meminta jatah makanannya (mie, telur, nasi, dll). Bukankah keterlaluan hanya gara-gara menahan uang itu kita lantas membiarkan orang lain kesusahan, kelaparan?”

“Menurut saya justru tidak, karena diri kita lebih berharga daripada orang lain. Uang itu diperuntukkan untuk kita. Apalagi kita masih mahasiswa. Bukankah kalau kita kehabisan uang kita pasti akan menyulitkan orang tua? Jadi, mana yang lebih penting menyusahkan orang lain atau menyusahkan orang tua?”

Joni tersenyum, ia mulai menangkap gelagat diskusi Doni yang sudah mulai melebar. Karena Doni memang akan mulai begitu jika akurasi jawabannya mulai melemah. Sudah menjadi kebiasaannya menggunakan apa saja menjadi apologi. Makanya diskusi dengannya tidak akan pernah habis. Karena Doni mempunyai berpuluh alasan untuk membenarkan pendapatnya.

Bisa dilihat, Doni mulai melebarkan persoalan yang sebenarnya sederhana: menolong orang. Cocokkah membawa persoalan menolong orang berdampak sampai mengurangi persediaan uang? Padahal porsi makan Doni relatif berlebihan (makan lebih 3x sehari). Apalagi meyangkut-pautkannya ke persoalan menzhalimi orang tua. Padahal hanya memberi Rp. 2000 saja.

“Maka dari itu Bro, tujuan manusia itu adalah egoisme. Dia harus menjadi individualis agar bisa mandiri dan bertahan dalam persaingan dunia modern. Kamu bisa lihat di sekelilingmu, orang-orang yang lemah adalah bukan orang-orang individualis.” Doni kembali mempertegas.

Lesung pipit Joni makin membelah panjang. Senyumnya lebar sampai gigi atasnya kelihatan semua. Tangan kirinya mengusap-usap dahinya yang berminyak. Sesekali naik ke atas menyisir rambutnya yang acak-acakan. Tangan kanannya menutup buku yang sejak tadi ia acuhkan. Kakinya menjulur lurus melampaui ujung kasur, menyentuh lantai kamar. Ia tampak mulai serius menanggapi pendapat-pendapat adiknya.

“Begini Bro, katakanlah misalnya, kamu sedang membutuhkan sejumlah uang. Meskipun uangmu ada di ATM. Tetapi karena listrik sedang mati, maka kamu tidak bisa menggunakannya karena otomatis juga mati. Nah, padahal kamu harus mengisi perutmu karena sejak pagi kamu puasa. Dalam keadaan seperti itu apa yang akan kamu lakukan? Apakah mendiamkan dirimu kelaparan dalam ketidakpastian atau meminjam uang kepada orang lain? Bukankah kamu pernah begitu?” Joni tersenyum lebar, pertanyaannya ia yakin tidak mungkin bisa disanggah Doni. Karena adiknya itu pernah melakukan hal serupa. Joni sengaja mengembalikan ingatan Doni.

Wajah Doni mulai kusut. Bola matanya berputar-putar mencari jawaban. Senyumnya yang lebar ditarik ke dalam. Nafasnya megap-megap ditahan untuk berpikir sejenak.

“Tapi begini, seharusnya orang itu sadar bahwa meminta itu tidak baik. Tetapi kalau terpaksa atau darurat ya, mau dibilang apalagi?” Wajah kusut Doni dingin menahan malu. Meskipun begitu, ia tetap melebar untuk menutup-nutupi apologinya. Emosinya tampak sudah menjajah akal budinya. Sehingga tidak mampu berpikir jernih atau setidak-tidaknya lurus.

Ponsel Doni tiba-tiba berdering kencang. Bergegas diraihnyalah benda putih itu dan ditempelkan ke kuping. Ia perlahan berjalan meninggalkan kamar yang mulai gelap. Suaranya hilang bersama langkahnya yang semakin menjauh. Joni hanya tersenyum dan kembali asyik meneruskan bacaannya.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Ketua KAMMI Daerah Bantul. Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization