Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Kenapa Enggak Pacaran?

Kenapa Enggak Pacaran?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (Inet)
Ilustrasi (Inet)

dakwatuna.com – Dulu waktu masih kecil, saya mikir apa dalam hidup ini harus pacaran ya? Atau kalau mau nikah itu harus pacaran dulu ya? Soalnya orang-orang, baik yang tetangga atau yang di televisi, banyak yang begitu. Mereka pacaran dulu yang lama, kalau belum cocok mereka cari pacar lagi. Kalau sudah cocok, pacarnya enggak langsung diajak nikah, tapi tunangan dulu. Ah, ribet amat!

Lalu saya jadi kepikiran, kalau harus pacaran, kira-kira kapan ya saya pacaran? Caranya gimana biar punya pacar? Terus kalau sudah punya pacar ngapain saja? Huh, semua itu bikin otak saya yang masih polos mendadak cenat-cenut jadinya.

Apalagi kalau lihat orang pacaran, rasanya bikin tambah depresi dan enggak percaya diri. Bagaimana enggak, kalau mau punya pacar itu harus cakep dan keren. Lah, muka saya kan pas-pasan. Ganteng enggak, jelek-jelek amat juga kagak. Baju juga seadanya doang. Enggak bisa dibilang keren. Itu pakaian juga cuma buat main sama teman di lingkungan rumah. Karena itulah saya suka seragam sekolah, karena enggak perlu pusing mikirin pakaian.

Saya yang masih lugu itu juga sempat berpikir kalau pacaran harus punya uang banyak. Kenapa? Karena harus punya handphone, terus beli pulsa terus untuk nanyain kabar pacar lagi apa di mana. Sudah begitu, harus antar jemput pacar dari rumah ke sekolah. Wah, enggak sanggup deh! Handphone saja enggak ada (baru dibeliin pas kelas satu SMA). Itu juga irit banget soal pulsa. Makanya, kalau enggak terpaksa banget, pasti saya enggak akan bales-bales SMS. Terus saya paling anti yang namanya nelpon. Enggak cukup tega lihat jeda pulsa yang langsung raib karena nelpon yang cuma beberapa menit doang. Terus gimana mau antar jemput pacar, kendaraan saja enggak punya. Pulang pergi dari rumah ke sekolah saja sudah ngabisin sekian jam. Belum lagi kalau macet. Mau jam berapa sampai rumah kalau harus anter jemput pacar? Belum lagi ngitung ongkosnya! Alamak, bisa pingsan saya. Belum lagi kalau ingat pacaran itu ada kewajiban traktir pacar. Saya selalu mikir begini, kalau semangkuk mie ayam itu Rp 5000,- dan saya harus mengeluarkan Rp 10.000,- untuk beli dua mangkuk, yang sejatinya saya hanya makan satu mangkuk, jelas logika saya tidak bisa menerima. Kenapa tidak dua mangkuk saya makan saja sekaligus? Kenapa harus dikasih pacar? Hey, itu kan duit saya!

Terus kalau pacaran itu harus setia kan ya? Nah, saya yang saat itu masih suka ngabisin duit Rp 2000,- buat main PS one satu jam di rumah Pak Bagio enggak setuju dengan aturan ini. Saya sadar, saya itu masih suka tengok kanan tengok kiri. Maksudnya masih ingin bebas mainnya. Masa iya kalau mau apa-apa itu harus lapor pacar. Ke lapangan sebelah buat main sepeda bilang-bilang pacar. Mau makan cakwe atau somay harus ajak pacar. Aduh, ribet!

Sempat juga saya prediksi, bahwa kalau pacaran itu pasti ada obrolan-obrolan, yang sebetulnya saya kurang paham apa yang diobrolkan. Tapi saya sadar, saya orangnya kaku, pendiam, dan enggak banyak tingkah. Pokoknya pribadi yang kalau ada orang ngajak ngobrol syukur, kalau enggak ya sudah. Saya memang enggak cerdas buat bikin permulaan dalam pembicaraan. Dipancing-pancing juga pasti buntu pikiran. Bagaimana mau ngobrol, bahannya saja seret. Mungkin gara-gara jarang baca buku kali ya. Buktinya di kelas saya juga enggak pinter-pinter amat. Pikirannya cuma main dan main. Oia, saya juga lihat di televisi, orang-orang pacaran itu ada rayuan-rayuannya. Nah, ngobrol saja sulit, apalagi jadi orang yang sok romantis. Beuh, rasanya saya makin yakin kalau saya itu memang enggak bakat pacaran.

Yah, begitulah. Pas masih kecil saya memang sensitif tentang masalah duit. Maklum, saya terlahir di keluarga yang cukup sederhana. Masalah duit, tentu menjadi hal yang sakral untuk diusik. Rasanya enggak ikhlas kalau duit cepet habis untuk beli makanan, apalagi beliin buat orang lain. Orang tua juga paling-paling marah kalau saya keseringan minta duit yang enggak jelas larinya kemana, padahal habis buat pacaran. Tapi sebaliknya, saya enggak pernah pelit kalau disuruh beli mainan kaya robot-robotan, atau main dingdong dan PS one. Hm, kenapa ya? Yasudahlah, namanya juga anak kecil.

Mungkin karena sifat saya yang kebanyakan mikir dan mempertimbangkan untung-rugi itulah yang membuat saya akhirnya (sampai sekarang) belum pernah pacaran.

Tapi itu dulu. Saat masa-masanya lebih banyak bermain daripada belajar. Saat masih lucu-lucunya. Belum paham betul tentang masalah perasaan suka, sayang, atau cinta. Saat di mana emosi masih labil dan suka egois terhadap banyak hal. Juga saat hasrat terhadap lawan jenis masih belum terlalu tajam. Paling-paling hanya bisa membedakan mana anak yang cakep, mana yang enggak.

Kemudian, seiring berjalannya waktu, saya pun berubah. Jakun sudah timbul. Bulu-bulu juga sudah muncul. Saya ibarat besi yang ditarik-tarik oleh medan magnet dari lawan jenis, sehingga kadang kalau papasan dengan lawan jenis yang cakep, ada aliran listrik mengalir dalam darah saya. Saya sadar, saya sudah SMP, bukan anak kecil lagi. Hasrat itu pun sudah mulai ada. Tapi, masih enggak berani buat ambil keputusan pacaran. Kenapa? You know-lah… Ideologi ‘hemat’ itu masih kuat melekat. Maka benarlah kata orang, “Tidak ada yang gratis di Jakarta!” Mau pacaran saja harus punya duit. Oh, Tuhan… kasihanilah saya. Sampai kemudian saya bertekad cari duit yang banyak biar kaya raya, baru deh cari pacar.

Tapi belum maksud itu terwujud, keyakinan saya mulai goyah. Maksudnya, ‘hemat’ bukan lagi menjadi satu-satunya ideologi yang bercokol di kepala saya. Ada ideologi baru yang merasuk ke dalam relung pemikiran saya. Tidak hanya berputar di kepala, tetapi juga merembes ke hati. Ideologi baru ini dimulai saat saya mengenal Rohis. Sebuah ekskul penuh misteri yang akhirnya menyihir saya untuk bergabung dan aktif di sana selama SMA. Ideologi ini bukan lagi soal untung rugi, tetapi soal orientasi dalam memandang cinta sejati, yang hanya pantas diberikan kepada Illahi Robbi.

Alhasil, muncullah beberapa butir pemikiran baru yang menjadi alasan kenapa saya belum juga pacaran:

1. Pacaran itu bukan budaya Islam

Di Islam adanya langsung nikah setelah melalui tahapan pengenalan (ta’aruf) secara syar’i. Pacaran tidak dilarang, asal sudah muhrim. Karena kalau tidak, akan mengarahkan pada perbuatan zina. Islam juga tidak menjadikan faktor dunia, seperti harta, sebagai landasan utama untuk menikah. Yang diutamakan adalah keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Wah, jelas ini lebih ‘hemat’ kan!

2. Pacaran itu bikin hati enggak bersih

Jika hati itu ibarat papan kayu, maka pasangan hidup adalah pakunya. Sementara lubang yang tertinggal di papan saat paku dicabut adalah kenangan. Meski paku tak lagi bersarang, namun tubuh papan sudah banyak bolongnya. Hati yang sudah sering dipakai untuk pacaran, tentu sudah banyak bolongnya, terisi kenangan-kenangan sama pacar. Jadinya kalau sudah menikah, rasa gregetnya sudah banyak yang hilang. Kasihan kan istri atau suami kita kalau kita kasih hati yang statusnya ‘sisa’. Lagipula memang kita mau kalau dikasih hati yang ‘sisa’ sama istri atau suami kita nantinya? Ingatlah, wanita yang baik untuk lelaki yang baik, dan wanita yang tidak baik untuk lelaki yang tidak baik.

3. Pacaran itu boros uang

Uang yang seharusnya bisa dihemat mendadak sering habis karena dipakai buat antar jemput pacar, traktir makan pacar, nelpon dan SMS pacar, bayar SPP pacar (masa iya?), dan lain-lain yang berkaitan dengan pacar. Mending kalau uangnya cari sendiri, nah kalau masih minta orang tua? Gengsi dong…

4. Pacaran itu boros pikiran

Masa muda itu harusnya dipakai untuk belajar, belajar, dan belajar. Jadi hati dan pikiran kudu bersih tuh. Nah, kalau sudah penuh dengan bayangan pacar, bagaimana mau belajar dan mengukir prestasi? Daripada mikirin pacar, mending mikirin deh tuh rumus matematika. Lagian, belum tentu juga pacar mikirin kita sebagaimana kita mikirin dia.

5. Pacaran itu boros waktu

Sehari ada 24 jam. Itu juga dibagi-bagi untuk tidur delapan jam, belajar di sekolah kurang lebih delapan jam, lalu sisanya untuk antar jemput pacar, nelpon pacar, kasih makan pacar, dan apa-apa sama pacar. Ah, enggak bebas jadinya. Mending waktunya dipakai untuk hal lain yang lebih jelas manfaatnya.

6. Pacaran itu boros tenaga

Sudah capek pikiran, tentu tenaga terkuras saat pacaran. Ya itu tadi. Antar jemput pacar, nelpon dan SMS pacar, kasih makan pacar, jalan-jalan sama pacar, mijetin pacar. Aduh, capek deh… mending tenaganya buat olah raga atau bantu-bantu orang yang lebih membutuhkan. Sudah sehat, dapat pahala pula.

Nah, sejak saat itulah, saya berniat meski sudah kaya raya nantinya (aamiin), saya tidak mau menempuh jalan pacaran. Lewat jalan pintas saja, yakni langsung nikah! Toh, pacaran itu kan untuk masa penjajakan atau kenalan. Kenapa juga harus buang-buang banyak uang, waktu, tenaga, dan pikiran untuk berlama-lama kenalan? Bisa rugi bandar saya.

Biarlah indahnya masa pacaran itu saya rasakan setelah menikah nanti. Dalam balutan ridho Illahi dan dengan kesegaran hati yang belum pernah terbagi, khusus untuk wanita muhrim yang telah resmi menjadi istri pujaan hati.

Enggak mudah memang tidak pacaran di tengah zaman millennium seperti ini. Tapi yakin deh, semua akan indah jika sudah saatnya. Dan saya merasa dada saya sudah makin tipis karena sering dielus-elus sambil bilang, “Sabar… Sabar…” Semoga kalian pun demikian. ^_^

 

Redaktur: Deddy S

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sejak kecil menggemari segala jenis masakan. Hingga kini senang membaca dan mengakrabi aksara.

Lihat Juga

Pacaran Dikalangan Remaja Sudah Mengkhawatirkan

Figure
Organization