Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Bekerja di Bank Syariah (Bagian ke-2)

Bekerja di Bank Syariah (Bagian ke-2)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

Ukh Ria: ukh, di bank syariah itu gak ada bunganya ta?

Ana: kenapa? (bertanya untuk memperjelas)

Ukh Ria: soalle mbahku lo ukhty, diakan mau pinjam uang. Katanya mau ke Bank Syariah dulu karena di Bank Syariah itu gak ada bunganya katanya ukhty….jadi kalau minjam 1.000.000 jadi kembalinya 1.000.000 juga.

Ana: (Sambil tersenyum simpul saya menjawab). Bank Syariah itu gak ada bunga ukhty, tapi margin. Dan gak ada yang dikatakan sama mbahnya anti. Ada produk yang seperti itu, yaitu akad Qard tapi itupun untuk orang-orang yang kurang mampu. Jadi gak bener kalau orang-orang berpikir bahwa di syariah itu, nek minjam sejuta, kembalinya sejuta juga.

Ukh Ria: makane itu ukhty.

Ana: semuanya tergantung akadnya ukhty, makanya nek di bank syariah itu harus jelas penggunaannya untuk apa, karena harus disesuaikan dengan akadnya. Nek seperti itu, dari mana untungnya ukhty?? Saya dapat gaji dari mana dong? SORO la’an…..

(Saya tutup penjelasanku dengan candaan seperti itu)

dakwatuna.com – Itu adalah percakapan saya dengan seorang akhwat di rumah makan bersama akhwat-akhwat yang lain ketika kami makan di suatu warung makan setelah selesai kegiatan kami hari itu. Saya tidak panjang lebar menjelaskan saat itu karena kondisi yang tidak memungkinkan, tapi itu salah satu contoh bahwa masyarakat masih sangat minim pemahamannya tentang ekonomi syariah padahal kita tahu bersama bahwa aspek ekonomi merupakan salah satu aspek yang sangat penting. Tapi pada kenyataannya, kita pun sebagai orang muslim tidak tahu/paham tentang ekonomi syariah itu sendiri. Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan pertama saya di sini. Sebenarnya, saat menulis artikel saya sebelumnya (bekerja di bank syariah) saya sudah rencanakan untuk melanjutkan tulisan tersebut tapi ternyata saya tidak punya ide untuk melanjutkannya sampai ada seorang pembaca yang berkomentar pada tulisan saya tersebut. Tiba-tiba ada hal yang ingin saya bagi kepada pembaca sekalian khususnya pada yang memberi komentar, semoga tulisan ini termasuk kategori sehingga bisa diterbitkan dan semoga yang berkomentar itu membaca tulisan ini.

Pertama-tama, izinkan saya secara khusus berterima kasih kepada orang yang berkomentar tersebut karena dengan komentarnyalah saya merasa dapat teguran dari Allah SWT dan juga memberikan saya ide untuk menulis artikel ini. Karena jujur saja, belakangan ini saya tidak lagi disibukkan dengan syariah tidaknya operasional tempat saya bekerja tapi lebih disibukkan dengan target tahunan dan penurunan NPF yang menjadi masalah di tempat saya bekerja. Oleh karena itu, saya cukup kaget dengan komentar tersebut apalagi beliau berkomentar pada artikel yang bukan pada tulisan saya tentang syariah. Sekali lagi Jazakallah untuk tanggapan beliau karena menurut saya, tanggapan tersebut sebagai bentuk perhatian dan kekhawatiran kepada sesama kaum muslim. Ketika saya membaca komentar beliau, saya merasa bisa merasakan kekhawatiran orang tersebut. Penulispun tidak mengerti, entah ini efek dari “positif thinking” yang saya miliki yang membuat saya terkadang ke “GR”an (ke PD an) he……

Saya akan memulai menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan (Waduh, muqaddimahnya ternyata lumayan banyak, Afwan). “Pekerjaan”, ada banyak hal yang berkaitan dengan suatu “pekerjaan”, hal itu akan berkaitan dengan pendapatan, status sosial, kenyamanan, dan lain sebagainya. Dan prioritas dari hal-hal tersebut tergantung pada individunya. Ada yang menempatkan pendapatan (gaji) yang utama, jadi dia akan bertahan bagaimanapun kondisi pekerjaan tersebut selama gajinya memuaskan untuk dia. Tapi ada juga yang menempatkan kenyamanan yang utama, jadi tidak masalah jika pendapatan (gaji)nya tidak begitu tinggi, yang penting dia merasa nyaman dengan pekerjaan itu maupun dengan lingkungan pekerjaannya.

Dalam Firman Allah SWT QS Adz-Zaariyat: 56

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.

Penulis sengaja memaparkan firman Allah tersebut sebagai pengingat bahwa semua yang kita lakukan di dunia adalah hanya untuk beribadah kepada Allah SWT termasuk muamalah dan pekerjaan kita. Apapun pekerjaan kita, harus selalu kita ingat bahwa itu adalah sarana kita untuk beribadah kepada-Nya. Harus selalu ada visi bahwa di tempat itu adalah salah satu sarana kita untuk berdakwah. Penulis akan mencoba untuk memaparkan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan yang pastinya menurut penulis sendiri.

1. Pendapatan

Ini adalah salah satu aspek pertimbangan dalam memilih pekerjaan. Ketika ditanya tentang pendapatan/ gaji yang tinggi. Saya yakin semua akan memilih gaji yang tinggi, pada pekerjaan yang baik pastinya. Entah itu jadi dosen, guru, dokter, wirausaha, penjaga toko dan lain-lain. Sebisa mungkin, kita memang harus memiliki pendapatan yang lebih karena dengan begitu kita bisa berinfak lebih banyak, membantu orang lain lebih besar, memenuhi kebutuhan keluarga lebih layak, bisa menjadi pemberi zakat lebih besar, bisa menjadi tangan di atas (pemberi), bukan tangan di bawah (penerima) karena kita tahu bahwa Allah lebih menyukai orang-orang yang tangannya berada di atas. Yah, seperti itulah kita membawa semua aspek kehidupan kita sebagai sarana beribadah dan mendapat Ridha Allah SWT.

2. Status Sosial

Ini juga sangat berhubungan dengan memilih pekerjaan. Tidak bisa dinafikkan bahwa pekerjaan akan mempengaruhi status sosial seseorang di masyarakat. Tapi perlu diingat bahwa apapun status sosial seseorang yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaannya. Jadi, apapun pekerjaan kita, selama itu pekerjaan halal maka kita harus bangga dengan pekerjaan kita. Dibandingkan kita hanya bermalas-malasan atau memutuskan untuk menjadi pengemis. Na’udzubillah….

3. Kenyamanan

Ini juga salah satu aspek yang penting. Saya selalu berkata pada teman kantor saya, “untuk apa gaji tinggi kalau ternyata kita tidak nyaman”. Kita bekerja memang untuk memenuhi salah satu kebutuhan kita tapi jika ternyata dalam pemenuhan itu membuat kita tidak nyaman, maka untuk apa? Kenapa kita tidak mencoba mencari pekerjaan lain? Bukankah rezeki Allah tersebar di seluruh Jagad Raya, bukan hanya di satu tempat.

4. Keinginan/kesesuaian/kecocokan

Seseorang akan bertahan lama pada suatu pekerjaan jika merasa cocok dengan pekerjaan tersebut.

Hal-hal tersebut di atas merupakan aspek penting dari suatu pekerjaan menurut penulis. Sekarang saya akan menganalogikannya pada pekerjaan yang saya geluti yaitu di perbankan syariah. Kenapa saya masih bertahan di pekerjaan ini padahal saya tahu bahwa kemungkinan besar di tempat saya bekerja belum menjalankan ekonomi syariah yang sebenarnya?? Tidak takutkah saya dengan peringatan Allah tentang RIBA itu? Pasti ada alasan tersendiri kenapa saya masih bertahan di pekerjaan yang mungkin bisa dikatakan abu-abu (Antara Riba atau tidak). Maka saya akan menjelaskannya dengan menjawab komentar di artikel sebelumnya karena itu akan membantu saya dalam menjelaskannya. Menurut hemat saya, komentator (kita sebut saja seperti itu) adalah salah satu orang yang tidak percaya dengan perbankan syariah, koperasi syariah ataupun BMT. Semuanya dianggap sama dengan konvensional walaupun ada label syariahnya. Seperti pendapat masyarakat secara umum bahwa hanya nama saja yang berbeda tapi sebenarnya sama. Ibarat suatu produk, hanya bungkus/sampulnya saja yang diganti tapi isinya sama.

Merasa bangga karena bekerja di bank syariah?? Saya rasa “bangga” di sini identik dengan kata yang menjurus ke “sombong” atau menganggap lebih baik pekerjaan sendiri dibanding yang lainnya, Sebelum saya menanggapi pertanyaan itu. saya akan memberitahukan bahwa saya bekerja di salah satu BPRS (Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah), jadi bukan di Bank Umum syariah yang “besar” seperti Bank Muamalat, BSM, BRI Syariah atau Bank Umum Syari’ah yang lainnya. Jadi, saya merasa tidak “pantas” untuk merasa bangga dengan pekerjaan saya sekarang ini yang bisa saya perlihatkan kepada orang lain. Bahkan ketika pun saya bekerja di salah satu bank syariah tersebut, itu tidak cukup membuat saya bangga dan merasa sombong dengan pekerjaan tersebut karena saya yakin masih ada yang lebih dari itu. tapi saya selalu bersyukur dengan pekerjaan saya sekarang ini, dan saya selalu “bangga” pada pekerjaan saya apapun itu, karena sekali lagi apapun bentuk pekerjaan kita, selama pekerjaan itu baik dan kita menjalankannya dengan baik maka itu adalah sesuatu yang harus kita syukuri dan harus kita banggakan tapi tidak untuk disombongkan atau diperlihatkan kepada orang lain agar ingin diakui. Ini berhubungan dengan status sosial. Bahkan sebelum saya bekerja di Bank syariah yaitu di distributor salah satu produk kosmetik. Saya tetap merasa bangga walaupun saat itu gaji saya tidak mencapai 1 juta di saat teman-teman saya sudah memiliki pekerjaan yang gajinya sudah mencapai 2-3 juta. Karena saya lebih melihat pada faedah dari pendapatan tersebut. Jadi maksud saya di sini adalah, mari kita syukuri pekerjaan kita apapun itu selama syar’i. Jangan terlalu menanggapi pendapat orang lain. Sekali lagi, apapun pekerjaan kita, apapun status sosial kita di masyarakat. Yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaan kita. Jadi yang sekarang menjadi dosen, dokter atau pekerjaan bergengsi lainnya, jangan sombong dan menganggap remeh orang yang hanya penjaga toko karena mungkin saja penjaga toko tersebut kedudukannya lebih mulia di hadapan Allah.

Kembali pada pembahasan bekerja di Bank syariah. Seperti sebelumnya, sampai sekarang saya masih mengatakan bahwa perbankan syariah belum ada yang menerapkan “syariah” secara kaffah. Begitupun dengan kantor tempat saya bekerja. Tapi kenapa saya masih bertahan?? Hal itu karena saya berfikir bahwa hal ini harus diperbaiki bukan malah ditinggalkan. Kenapa harus diperbaiki? Karena ini adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan. Bayangkan ketika kita hanya meninggalkan, maka siapa yang akan memperbaiki?? Siapa yang akan berupaya agar ekonomi syariah itu bisa diterapkan dengan sebenarnya kalau bukan orang yang mengerti dan memiliki niat untuk memperbaikinya? Apakah kita meninggalkannya pada orang yang hanya mencari rezeki tanpa mengerti sumber rezekinya atau tidak mau tahu sumber rezekinya itu halal atau haram? Ketika semua berpendapat sama dan hanya meninggalkan maka sampai kapanpun hal itu akan sama. Tidak ada perubahan. Iya kan?? Dan kalau seperti itu, bagaimana kita yang di masyarakat bisa menjalani roda perekonomian? Di mana kita akan menabung? Atau ketika butuh pembiayaan, di mana kita akan mendapatkannya ketika ternyata kita tahu bahwa semua perbankan baik itu perbankan syariah adalah RIBA. Sama halnya ketika kita bekerja sebagai guru, ketika kita mendapat siswa melakukan kesalahan. Apakah kita akan meninggalkannya begitu saja? Kita akan membiarkannya saja? Tidak melakukan apa-apa karena kita tahu itu salah. Tidak kan? Kita pasti menegurnya dan menjelaskan bahwa itu salah dan mencoba memberikan pemahaman yang benar. Sama halnya dengan kasus bekerja di bank Syari’ah. Ada pesan yang selalu saya ingat saat kuliah dulu, sebuah pesan dari salah satu senior. Saat itu saya aktif dalam Himpunan jurusan dan saat itu saya merasa sangat tidak cocok dengan lingkungan dan orang-orangnya. Bercampur baur, kata-kata yang sering tidak terkontrol dan yang paling membuat saya tidak senang adalah ketika mereka berdebat di rapat dan ternyata hanya bahan bercandaan. Saya ingin langsung mengundurkan diri saat itu tapi senior saya tersebut berkata “ketika kita menemukan sesuatu yang janggal/ tidak sesuai maka tetaplah di situ dan perbaikilah, warnailah hal tersebut dengan warna kebaikan yang kita bawa dan yang kita yakini”. Bukankah itu tugas kita seperti dalam tertuang dalam Firman Allah SWT:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung” (QS Al-Imran: 104)

Sebagai contoh pada percakapan yang saya tulis di awal tulisan ini. Hal itu menunjukkan bahwa betapa minimnya pengetahuan orang-orang tentang ekonomi syariah dan tugas kitalah untuk menjelaskan dan memperkenalkan ekonomi syariah itu kepada mereka sehingga mereka pun tahu perbedaan tentang ekonomi syariah dan ekonomi konvensional. Dan semuanya butuh usaha dan butuh proses. Dan saya yakin bahwa semua lembaga-lembaga ekonomi syariah sekarang ini sedang berusaha untuk pelaksanaan ekonomi syariah yang sebenarnya. Dan kami butuh bantuan orang-orang yang mengetahui tentang hal tersebut untuk menyebarkannya. Wallahu’alam.

Mungkin itu yang bisa saya bagikan kali ini, semoga ini tidak dianggap sebagai “Dalih” untuk membenarkan tapi andaikan ada di antara pembaca yang berpendapat seperti itu maka itu adalah hak pembaca. Hanya saja yang ingin penulis coba tekankan adalah, di manapun kita bekerja maka mari kita jadikan itu sebagai sarana untuk mendapat Ridha-Nya karena kita hidup hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Dan ketika kita mendapatkan sesuatu yang janggal/ tidak seharusnya/ salah, maka jangan langsung meninggalkannya. Cobalah untuk memperbaikinya karena ketika kita meninggalkannya maka hal itu akan terus seperti itu. Wallahu’alam.

Maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan di hati pembaca dan semoga bermanfaat.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Bekerja di Bank Syariah. Aktif di Iqro' Club di salah satu kota Jawa Timur.

Lihat Juga

Fintech Bagi Muslim

Figure
Organization