Topic
Home / Narasi Islam / Wanita / Wanita Sederhana

Wanita Sederhana

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (yip87.deviantart.com)
Ilustrasi (yip87.deviantart.com)

dakwatuna.com – Siapa yang tidak mengenal Bung Tomo. Sekian ratus pasukan kompeni bersenjata lengkap porak poranda karena pria ini. Dialah yang mengharumkan tanah Surabaya dengan darah para mujahid. Dialah yang pertama kali menanamkan image bahwa arek-arek Suroboyo adalah pemuda nekat tak takut mati. Hingga muncullah istilah bonek. Hingga diperingatilah 10 November sebagai hari pahlawan. Semua atas sumbangsihnya.  Maka jadilah dia besar. Dan dunia menyejarahkan namanya.

Siapa yang tak mengenal Umar bin Khattab. Namanya telah begitu besar sebelum dia masuk Islam. Jagoan gulat dari klan Bani ‘Adi ini telah memiliki segalanya untuk disebut pria. Gagah, terhormat, kaya, disegani. Dan setelah memeluk Islam, lengkaplah semuanya. Lebih dari seperempat dunia tercerahkan oleh Islam di bawah kepemimpinannya. Maka jadilah dia menyejarah. Berbondong-bondong orang mempelajari karakternya. Beramai-ramai orang menulis tentang dirinya.

Siapa pula yang tak mengenal Slamet Riyadi. Dua pekan lebih Surakarta bertahan dari kepungan pasukan belanda di bawah komandonya. Tinggal sejengkal mereka masuk, namun selalu gagal. Hingga akhirnya belanda menyerah. Maka dipanggillah Slamet Riyadi, untuk bertemu dengan komandan senior pasukan belanda. Kagetlah bule tua ini. Dan dia menangis. Menangis karena malu. Dia harus menyerah kepada pasukan yang hanya memakai bambu runcing untuk berperang. Dan lebih menyakitkan, dia menyerah pada pemuda ingusan yang baru berusia 22 tahun. Maka harumlah nama Slamet Riyadi. Hingga di tengah kota Surakarta berdiri gagah patung seorang pemuda, dengan pistol di tangan kanan menghadap ke langit luas. Itulah Slamet Riyadi! Dan hingga detik ini, patung itu seolah menularkan semangatnya pada kami, rekan-rekan mahasiswa, untuk turun ke jalan dengan membawa seonggok kebenaran dari sudut pandang kami sebagai pemuda.

Mereka semua melegenda karena jasa-jasanya. Mereka terkenang karena pengorbanannya. Namun adakah yang mengenal wanita dibalik orang-orang hebat itu? Siapa yang mengenal istri Bung Tomo sebaik mereka mengenal suaminya? Siapa yang tahu tentang sosok istri Umar bin Khattab sebesar pengetahuannya pada sosok sang khalifah? Bahkan, siapa yang mengenal dengan jelas istri-istri Rasulullah selain Aisyah dan Khadijah?

Lalu apakah berarti wanita-wanita mulia itu tidak mempunyai peran atas kesuksesan suaminya? Tentu terlalu naïf jika kita berfikir demikian. Namun dari sini kita belajar sebuah kaidah sederhana bahwa: tidak semua orang hebat memerlukan orang yang sehebat dirinya untuk menemaninya dalam berjuang.

Kebanyakan dari mereka justru mempunyai istri yang sangat sederhana dan bersahaja.

Karena biasanya, orang-orang yang sederhana itu mampu menerima orang lain (suaminya) sebagaimana dia adanya, bukan bagaimana dia seharusnya. Sekali lagi, dia mampu menerima orang lain sebagaimana dia adanya, bukan bagaimana dia seharusnya.  Mereka tidak banyak menuntut. Maka jadilah orang-orang yang mempunyai istri seperti ini, kapasitas mereka akan cepat berkembang. Setahu saya, orang-orang hebat itu pasti pernah melalui perjalanan panjang yang sarat dengan kegagalan. Ketika dia “menyimpan” orang-orang sederhana dibalik perjuangannya dalam menghadapi permasalahan, dia pun akan sangat cepat menemukan berbagai penyelesaian.

Coba kita pikirkan. Ketika pria-pria hebat itu berkutat dengan kegagalan  dan berusaha mencari sebuah solusi, istri yang sederhana ini hadir untuk mengatakan bahwa dia tidak menuntut suaminya menjadi apapun, dia akan selalu setia dengan kondisi sang suami. Maka hadirlah ketenangan itu. Dan dibalik ketenangan inilah, solusi-solusi itu akan datang beriringan. Setelah solusi datang berhamburan, jadilah dia yang paling cemerlang di zamannya. Dia melejit, lalu menjadi pahlawan.

Di sisi yang berbeda, walaupun tidak selamanya, orang-orang yang mempunyai kapasitas tinggi terkadang melihat orang lain dengan cara pandang bahwa mereka harus menjadi seperti apa yang dia inginkan. Atau setidaknya, tidak terlalu jauh dengan kapasitas dirinya. Dan seringkali potensi alamiah seseorang tidak akan berkembang dengan baik saat dia hidup dengan orang seperti ini. Maka orang-orang besar itu biasanya, dia tidak memerlukan istri yang seunggul dirinya. Namun mereka memerlukan istri yang tepat dengan bingkai kepribadiannya. Sekali lagi, mereka tidak butuh yang paling unggul, namun yang paling tepat.

Sebelum tulisan ini saya akhiri, mari belajar banyak dari istri seorang Buya Hamka. Pernah suatu saat Buya Hamka diundang untuk mengisi ceramah. Sebelum beliau naik mimbar, sang pembawa acara tiba-tiba mempersilakan istri beliau untuk memberikan ceramah pembuka. Niat yang baik memang. Dia berfikir “kalau suaminya aja penceramah besar, tentu istrinya juga jago ceramah dong”. Tidak ada yang salah dari pemikiran itu. Maka majulah istri Buya Hamka. Beliau mengucapkan salam, lalu berkata “Saya tidak bisa ceramah. Saya hanyalah tukang masak dari sang penceramah”, lalu beliau turun. Sederhana. Dan kesederhanaan itulah yang membuat Hamka menjadi besar.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Asisten dosen laboratorium Fisiologi FK UNS dan juga merupakan ketua umum Sentra Kegiatan Islam FK UNS tahun 2013-20114. Saat ini penulis tinggal di pesantren mahasiswa arroyan Surakarta.

Lihat Juga

Kemuliaan Wanita, Sang Pengukir Peradaban

Figure
Organization