Topic
Home / Narasi Islam / Wanita / Saat Polwan ingin Menjadi Wanita Shalihah

Saat Polwan ingin Menjadi Wanita Shalihah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

 

Seragam Polwan berjilbab dari berbagai kesatuan di Polda Metro Jaya, Senin (25/11/2013). (Wartakotalive.com/Theresia Felisiani)
Ilustrasi – Seragam Polwan berjilbab dari berbagai kesatuan di Polda Metro Jaya, Senin (25/11/2013). (Wartakotalive.com/Theresia Felisiani)

dakwatuna.com – Berita tentang penundaan berjilbab pada Polwan beberapa hari terakhir ini, mengingatkanku pada masa lalu. Saat remaja dulu, aku pernah punya keinginan yang sangat besar menjadi polisi wanita atau yang lebih akrab disebut polwan. Apalagi postur tubuhku yang sangat menunjang, tinggi di atas rata-rata. Belum lagi deretan juara lari, atletik maupun bola volley yang jadi hobiku. Ketika itu sebenarnya pun terinspirasi oleh salah seorang saudaraku yang terlebih dahulu sudah menjadi polwan. Saudaraku nan cantik jelita, bertambah ayu saat mengenakan seragam polwannya. Dengan tinggi badan yang semampai, 170 cm ia terlihat gagah. Dalam hatiku waktu itu berdecak kagum, bagaimana mungkin gadis lemah lembut yang amat pemalu seperti ia bisa menjadi polwan.

Hari demi hari berlalu, aku masih mengagumi polwanku. Namun saat aku memasuki SMA kesadaran baru mulai muncul seiring ketertarikanku untuk mempelajari Islam lebih mendalam di luar pelajaran sekolah. Saat itu aku memilih untuk terjun aktif ke Rohis SMA. Dari kegiatan itu aku semakin tahu dan memahami aturan agama terhadap aurat wanita. Aku jadi tahu seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali muka dan telapak tangan. Aku juga tahu bahwa menutup aurat bagi wanita adalah kewajiban yang berasal Allah SWT. Allah berfirman, “Hai anak Adam, Sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan dan pakaian takwa itulah yang paling baik.” (al-A’raaf: 26)

Demikian juga firmannya dalam surat Al-Ahzab 59: “Hai nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak diganggu, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59).

Kesadaran baru ini membimbangkanku waktu itu. Apalagi menjadi polwan mempersyaratkan tidak boleh berjilbab. Pilihan berat di saat jiwa mudaku masih begitu bergolak. Antara menjalankan kewajiban menutup aurat, berhijab atau memilih cita-citaku yang sudah telanjur amat menggebu. Menjadi polwan adalah kebanggaan. Hanya orang-orang pilihan yang bisa. Sebuah prestise tersendiri. Terbayang bagaimana decak kagum orang-orang saat memandang saudaraku. Cantik namun gagah, lelaki pun tak berani menggoda meski amat terpesona.

Ketika itu, dua sisi hati bergulat. Antara mematuhi perintah Allah atau mengabaikannya. Dan ternyata aku lebih memilih mengikuti hawa nafsu. Aku lebih senang menikmati kebebasan masa muda, toh teman-teman sebaya juga jarang yang menutup aurat. Yang penting shalat, dan puasa tidak ditinggalkan.

Tak terasa sampai kelas dua SMA aku tetap memilih jalan membuka aurat. Padahal aku tahu ilmunya, tapi godaan hawa nafsu telah menghalangiku memilih jalan “ketaatan”. Namun, saat pertengahan semester aku benar-benar tak bisa lagi mengingkari suara hati. Rasa berdosa begitu dominan mengisi hari-hariku. Aku gelisah, pikiran pun tak tenang. Rasa takut mulai merayap pasti. Apalagi ketika mengingat hadits yang menyatakan kebanyakan penghuni neraka adalah wanita. Juga tentang kisah Isra’ Mi’raj nabi yang menggambarkan siksaan wanita yang memperlihatkan rambutnya. Aku juga terpikir kematian yang tak mengenal tua muda, sehat sakit, cantik atau tidak. Ia bisa datang kapanpun tanpa pernah bisa diduga. Kehadirannya adalah sesuatu yang pasti pada setiap yang hidup. Oh my God, bagaimana aku mempertanggungjawabkan ketidaktaatanku ini pada-Mu, bila aku mati dalam kondisi tidak menjalankan perintah-Mu. Sungguh galau hati ini. Kularikan kegelisahan dan kegundahan hati dengan membaca Al-Quran. Aku yakin Al-Quran adalah penyembuh, obat hati.

Setelah itu, aku betul-betul menjadi tenang. Kupasrahkan semua pada Allah, hanya pada-Nya aku menyembah dan mohon pertolongan. Aku serahkan jalan hidupku pada Allah, Sang Pemberi Terbaik. Sesungguhnya semua hal telah Allah tetapkan bahkan sebelum penciptaanku. Aku hanya bisa melakukan hal-hal yang berada dalam “daerah kekuasaanku”, yang aku berkuasa atasnya untuk melakukan atau tidak melakukan. Seperti firman-Nya, sesungguhnya telah kutunjukkan dua jalan, jalan kebenaran atau kesesatan. Manusia bebas memilihnya.

Setelah melalui proses pemikiran yang panjang, dengan segala konsekuensi yang mungkin harus dihadapi, akhirnya aku memilih. Memutuskan untuk menutup aurat secara syar’i. Aku tak peduli lagi dengan cita-citaku menjadi polwan. Sudah kubuang keinginan itu jauh-jauh, terkalahkan oleh rasa takutku pada Allah. Yang kutahu Allah hanya memandang kemuliaan manusia hanya dari taqwanya, bukan pekerjaan, status sosial atau apapun.

Ujian pertama atas keputusanku langsung ada di hadapan mata. Saat kusampaikan pada ibunda tercinta, beliau memberiku pilihan. Dengan keterbatasan finansial yang ada ibunda mengajukan dua opsi, menutup aurat yang berarti merombak semua seragam, dengan membuat seragam baru atau ikut studi tour sekolah ke Bali. Pilihanku tetap mantap untuk menutup aurat. Hingga kini 20 tahun berlalu, dan aku tetap istiqamah dengan hijab.

Sekarang para Polwan menghadapi masalah yang sama meski tak serupa. Sama-sama dihadapkan pada sebuah pilihan, antara menjalankan kewajiban menutup aurat atau tetap membiarkan aurat terbuka. Antara menaati Allah atau mematuhi atasan. Antara menjalankan aturan Sang Pencipta Manusia atau aturan buatan manusia. Seandainya ada pilihan lain yaitu kemudahan melaksanakan perintah Allah tanpa kendala, pasti hidup akan lebih mudah. Tapi itulah hidup, tidak semua sesuai dengan keinginan kita. Harus ada perjuangan menaklukkan hawa nafsu, perjuangan meraih ridha-Nya, dan perjuangan mendapatkan surga-Nya kelak. Tugas manusia hanya satu, yaitu memastikan segala ucapan, perasaan, pikiran dan perilakunya sesuai dengan hukum syara.

Buat polwanku dan polwan-polwan yang lain aku berdoa, semoga Allah memberi kekuatan untuk dapat memilih dan membedakan mana yang haq dan batil. Semoga Allah membuka pintu hatimu untuk senantiasa mematuhi-Nya. Sesungguhnya hidup mati ada di tangan Allah. Itu yang setiap hari diucapkan dalam shalat.

Polwan juga muslimah, manusia yang memiliki kewajiban yang sama dengan muslimah lainnya di hadapan Allah. Sama-sama dibebani taqlid hukum yang sama dari Sang Pemberi Rizqi. Seperti dalam firman-Nya: “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (Adz-Dzariyaat: 56)

Polwan juga muslimah, punya hati dan rasa yang sama seperti wanita muslimah pada umumnya. Ingin menjadi wanita shalihah. Ingin melaksanakan perintah Tuhannya, di tengah keberuntungan muslimah lainnya yang bebas menjalankan kewajiban menutup aurat tanpa terikat aturan apapun. Ingin berhijab secara syar’i dengan pakaian taqwa yang tidak tipis, tidak membentuk tubuh, dan tidak menyerupai pakaian laki-laki. Ingin anggun tidak hanya di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Allah.

Menjadi shalihah memang tidak mudah. Harus ada jalan terjal yang harus dilalui, agar iman tak sebatas kata. Menjadi shalihah memang sulit, harus ada perang melawan hawa nafsu yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya. Saat ingin menjadi shalihah memang harus dihadapkan pada tantangan, untuk membuktikan seberapa kuat iman berada dalam genggaman. Ketika ingin menjadi hamba yang menaati-Nya memang akan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang mungkin amat tidak nyaman konsekuensi yang harus dijalani. Hanya satu keyakinan yang harus dipegang teguh, Allah Maha Penyayang, pasti akan menolong hamba-Nya yang tertatih-tatih merangkak untuk menetapi jalan-Nya. Pertolongan Allah sungguh amat dekat. Dijamin-Nya bahwa sesudah kesulitan pasti ada kemudahan.

Tugas kita sebagai manusia hanya satu untuk beribadah pada-Nya, untuk mematuhi segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Menjalankan seluruh kewajiban yang telah dipercayakan Allah di pundak kita. Allah Sang Pencipta lebih tahu potensi manusia, tak mungkin dibebankan-Nya suatu hal dan kewajiban yang melebihi batas kemampuan manusia.

Semoga tak ada lagi aturan manusia yang membelit dan mengebiri “keinginan taat” para Polwan ini pada Maha Pemilik Hidup. Dan kalaupun aturan manusia ini tetap tak tergoyahkan, sesungguhnya Polwan juga muslimah yang merdeka. Ia memiliki pilihan perbuatan yang membentang luas di hadapan mata. Tinggal mau atau tidak mengambil suatu jalan pilihan itu. Allah telah mengingatkan dalam firmannya, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya. Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab: 36).

Bila masalah finansial terasa memberatkan, maka sesungguhnya bumi Allah luas, dan rizki pun semata dari Allah datangnya. Bisa datang dari pintu manapun tanpa terduga. Wallahu a’lam.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Ibu Rumah Tangga, Pemerhati Masalah Sosial.

Lihat Juga

Kemuliaan Wanita, Sang Pengukir Peradaban

Figure
Organization