Topic
Home / Narasi Islam / Politik / Selera Rakyat Memilih Pemimpin

Selera Rakyat Memilih Pemimpin

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Seiring semakin matang dan berkembangnya budaya demokrasi di Indonesia pasca reformasi tahun 1998, maka animo masyarakat Indonesia terhadap perpolitikan di Indonesia pun semakin meningkat. Ditandai dengan antusiasme sebagian besar masyarakat Indonesia dalam keikutsertaan mereka di kancah pemilu-pemilu, mulai dari tingkat kabupaten, daerah, sampai tingkat pusat. Fenomena ini pun melahirkan berbagai karakteristik dan pandangan masyarakat Indonesia sendiri terhadap sistem perpolitikan di Indonesia yang terus tumbuh. Terutama karakteristik masyarakat dalam menentukan tokoh yang akan mereka pilih pada event-event pemilihan umum. Kalau kita perhatikan, fenomena yang terjadi di setiap pemilihan umum secara tidak langsung menggambarkan bagaimana karakteristik masyarakat Indonesia dalam menghadapi perkembangan negeri ini khususnya dari segi politik.

Seringkali pemilu bukan lagi menjadi ajang adu program, akan tetapi merekalah yang sering tampil dan ‘pasang muka’ di tengah masyarakat yang akan mendulang suara tinggi, bukan yang kuat secara program, tetapi yang kuat secara financial. Sebagian masyarakat lebih mengedepankan emosional ketimbang rasionalitas.

Singkatnya, dari berbagai event politik yang terjadi di Indonesia saat ini, kita bisa melihat bentuk selera masyarakat Indonesia dalam memilih pemimpin mereka, atau dengan kata lain kenapa mereka memilih tokoh tertentu untuk menjadi pemimpin negeri ini. Lalu lahirlah kesimpulan dari berbagai peristiwa politik dan respon masyarakat dalam keikutsertaan mereka menghasilkan sumber daya pemimpin sampai sikap mereka dalam menentukan calon pemimpin bagi negeri ini yang bisa kita rangkum dalam fenomena berikut:

1. Mereka yang memilih karena iming-iming

Di saat sedang tumbuh berkembangnya perpolitikan di Indonesia, ternyata masih banyak dari masyarakat kita yang belum mengerti sepenuhnya akibat jangka panjang dari pesta demokrasi di Indonesia. Contoh saja banyak masyarakat yang memilih pemimpin seakan melakukan akad jual beli, “Anda berani bayar berapa, baru kami pilih”. Budaya ini pun sepertinya benar-benar dimanfaatkan oleh sebagian tokoh politik untuk menggaet suara sebanyak-banyaknya. Datang ke pelosok bermodalkan gula satu kilo saja sudah bisa menjamin satu suara. Lebih buruknya lagi, fenomena ini ternyata juga dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk memasang ‘harga‘ jika ingin mendapatkan suaranya. Dampaknya, uang sepuluh-dua puluh ribu harus dibayar mahal dengan kebijakan yang tidak merakyat selama satu periode.

2. Mereka yang memilih karena pamor tokoh

Citra yang dibangun oleh media dan juga lewat kampanye-kampanye para tokoh menjadikan mereka memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi di masyarakat. Secara tidak langsung hal ini berdampak pada sebagian besar masyarakat awam, yang akhirnya ada sebagian masyarakat memilih suatu tokoh karena tokoh tersebut memang terkenal dan banyak dibicarakan orang dan mengabaikan kualitas dan kinerja tokoh tersebut. Asalkan terkenal, banyak dibicarakan orang, sering muncul di media, mereka serta-merta menjatuhkan pilihan pada tokoh tersebut. Hal ini juga tidak terlalu baik bagi para kompetitor politik yang memiliki kualitas akan tetapi tidak memiliki pamor sehebat tokoh lain yang belum tentu memiliki kualitas lebih baik.

3. Mereka yang memilih karena kepentingan

Tak bisa kita sangkal bahwa ternyata masih banyak di antara masyarakat kita yang memilih suatu pemimpin karena kepentingan tertentu. Baik itu kepentingan jabatan, harta, nama baik, keleluasaan, sampai pada dukungan dan balas budi. Fenomena seperti inilah yang kebanyakan melahirkan suatu sistem politik yang mirip pada saat era orde baru. Pada akhirnya dampaknya akan melahirkan kerjasama politik balas budi, karena dulunya didukung maka sekarang gantian mendukung atau setidaknya memberikan ‘jatah’ kekuasaan pada pendukung setelah yang didukung terpilih.

4. Mereka yang memilih karena golongan

Hadirnya ormas-ormas dan partai politik jelas berpengaruh besar terhadap perpolitikan di Indonesia. Setiap parpol tentu memiliki nama-nama yang mereka usung untuk mengisi kursi-kursi strategis negeri ini. Mau tak mau, para kader mereka akan memberikan kekuatan dukungan pada tokoh yang diusung oleh golongan mereka dalam hal ini partai. Walau sebenarnya hak suara itu tergantung masing-masing individu, akan tetapi juga tidak bisa disangkal bahwa dukungan terbesar datang dari kader partai atau golongan calon pemimpin. Sederhananya, saya pilih Anda karena kita satu partai atau berasal dari satu golongan.

5. Mereka yang memilih karena tujuan perubahan

Kesemrawutan tatanan negeri ini yang terus didera kasus-kasus korupsi dan sebagainya membuat sebagian orang mulai berfikir cerdas dan rasional. Demi perubahan kearah yang lebih baik, mereka takkan rela menjual hak suaranya walau hanya satu suara untuk calon pemimpin yang mereka anggap takkan membawa perubahan bagi negeri ini. Sebagian besar mereka datang dari kalangan terpelajar, mahasiswa, dan para intelek. Mereka tentu akan menjadikan pemilu ini sebagai ajang adu program para calon pemimpin. Bahkan tidak hanya itu, kepentingan orang-orang atau lembaga yang ada di belakang seorang tokoh atau calon pemimpin pun akan menjadi pertimbangan. Pemimpin berkualitas akan tetapi mereka yang mengusung atau siapa yang ada di belakangnya tidak baik bagi mereka juga bukanlah pilihan yang tepat. Hasilnya akan ada pilihan yang tepat yang lahir dari proses ‘mengamati’ yang panjang terhadap calon pemimpin.

Demikianlah beberapa fenomena dan selera masyarakat Indonesia dalam menentukan calon pemimpin mereka. Adakah kita termasuk di antara lima golongan tersebut? Semoga kita bisa membuka mata dan menjadi masyarakat yang cerdas dalam memilih pemimpin, bukan hanya sekadar partisipan yang menikmati pesta demokrasi sejenak tetapi harus membayar mahal di kemudian hari. Sesungguhnya semua yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawabannya kelak…

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswa LIPIA Jakarta. Lahir di Makassar tahun 1994, menyelesaikan pendidikan jenjang SMP dan SMA di Pesantren Terpadu Al-Kahfi Bogor. Anak ketiga dari empat bersaudara. Aktif di kegiatan dakwah kampus. Ketua Ikatan Silaturrahim Alumni Pesantren Terpadu Al-Kahfi (KASAHF.org).

Lihat Juga

Pemimpin adalah Cerminan Rakyat

Figure
Organization