Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Al-Quran / Tafsir Ayat / Bencana Alam dan Reformasi Politik dalam Kisah Al-Qur’an

Bencana Alam dan Reformasi Politik dalam Kisah Al-Qur’an

Patung Ramses II
Patung Ramses II

dakwatuna.com – Sebagai manusia berakidah, tentunya kita tidak bisa melewatkan begitu saja bila terjadi sebuah bencana. Ada banyak pesan yang dititipkan fenomena alam jika terlihat tidak bersahabat. Karena ternyata alam diciptakan dengan sistem sangat sempurna. Telah sekian milyar tahun semua berjalan dengan dinamis. Hukum sangat dihormati, hingga kenyamanan dan kedamaian pun tercipta. Bila terlihat sebuah perubahan, pasti karena pihak lain. Tangan yang dengan sadar atau tidak, melanggar hukum lalu merusak tatanan serasi alam. (Ar-Rum: 41).

Bencana sudah banyak terjadi. Bermunculan bersama alur sejarah kejahatan manusia yang panjang. Semuanya sama, walaupun berlainan dimensi. Yang membedakan hanyalah bagaimana masing-masing bersikap. Apakah kita merasa ditegur, atau menganggapnya biasa-biasa saja.

Al-Qur’an sarat dengan sejarah kaum-kaum yang terderai bencana. Bahkan lantaran bandel, banyak yang ditutup sejarahnya. Generasi mereka tidak bisa berantai lagi. Yang tertinggal hanyalah nama, yang disebut-sebut saat orang belajar pengalaman pahit.

Pada abad 19 SM, Mesir kuno diperintah oleh Hexos. Seorang raja dari kaum penggembala Asia yang berhasil merebut kekuasaan saat dinasti ke-13 terjangkiti krisis politik. Menurut sejarawan, di masa itulah kisah nabi Yusus as, peraih semua nominasi keindahan, bersetting.

Mesir didapati nabi Yusuf muda sangat berbeda dengan negeri asalnya, Palestina. Penyembahan dewa-dewa (Yusuf: 40). Nepotisme yang menjadi ruh politik dan hukum, hingga elit politik seenaknya menghukum tanpa pengadilan (Yusuf: 32, 36). Moral masyarakat yang jungkir-balik tak beraturan; hingga seorang isteri tanpa rasa malu merayu bahkan memaksa budaknya (Yusuf: 23); seorang suami tak lagi punya cemburu (Yusuf: 29), bahkan membuka kesempatan lebar-lebar isterinya untuk beraffair dengan membiarkan mereka tetap seatap; isteri-isteri kalangan elit yang bersatu padu dalam makar mesum (Yusuf: 33, 50). Bila elit politik demikian, kalangan jelata pun takkan jauh berbeda.

Lewat mimpi, Allah SWT memberitakan datangnya bencana. Paceklik akan melanda negeri subur ini selama 7 tahun. Raja cepat bertindak. Entah karena tanggung jawab, atau karena prestise super powernya terancam ambruk. Yusuf as. pun datang sebagai tokoh reformasi dengan solusi yang tepat, pada timing yang tepat. Beliau mengusung perbaikan pada sektor pertanian dan teknologi pasca panen (Yusuf: 47), manajemen keuangan negara (Yusuf: 55), dan politik ekonomi luar negeri (Yusuf: 49). Semua dilakukan dalam rangka dakwah menuju negara yang bertauhid. Karena tak mungkin beliau menyiakan peluang emas ini, sedangkan di dalam penjara saja beliau aktif berdakwah (Yusuf: 37-40).

Ternyata raja masih mau berlogika; menyambut usulan-usulan itu (Yusuf: 54). Tapi menurut Yusuf as., solusi baru manjur setelah dijalankan reformasi. Terutama dalam bidang norma dan hukum. Yusuf as., yang korban nepotisme hukum, tak mau keluar penjara sebelum namanya direhabilitasi (Yusuf: 50). Diadakanlah pengadilan yang melibatkan semua pihak terkait tanpa kecuali (Yusuf: 51). Perlakuan hukum yang tidak membedakan golongan dan strata sosial ini nantinya akan membuka kunci reformasi di bidang yang lain. Keberhakan atas jabatan pun hanya didasarkan pada kapabelitas pejabat (Yusuf: 55, 56), sehingga terwujud keadilan dan profesionalisme.

Beruntunglah negeri ini; selamat dari ancaman bencana, bahkan menjadi negara donor dan pensuplai pangan masyarakat dunia. Walau kondisi keagamaan belum tereformasi dengan sempurna (Yusuf: 76), dan raja masih belum bertauhid. Ternyata bencana bisa disulap menjadi kenikmatan. Syaratnya, ada reformasi pada sektor-sektor vital. Minimal dalam membebaskan negara dari gurita KKN. Kondisi negara yang hormat reformasi sangat kondusif untuk perbaikan keagamaan umat.

Sekarang, coba kita bandingkan dengan kebijakan politik lain. Masih di Mesir kuno. Pada dinasti ke-19, Ramses II, yang ditengarai sejarawan adalah Fir’aun penentang nabi Musa as. pada abad ke-13 SM ini, memakai politik otoriter. Demi mencerabut ideologi lawan dan melanggengkan status quo, dia dengan tega mengusir dan membunuh, bahkan kepada bayi-bayi merah yang masih dalam buaian.

Penggemar berat sihir ini punya hukum sendiri yang dipaksakan kepada rakyat. Diapun mengklaim diri sebagai tuhan (An-Nazi’at: 24). Bukan tuhan yang dipuja dan disembah. Karena dalam sejarah, orang Mesir tidak pernah menyembah raja (Fi Dzilal Al-Qur’an: 1353). Juga karena ternyata Ramses II pun menyembah para dewa (Al-A’raf: 127). Karena menaati aturan raja yang berseberangan dengan Islam adalah sebuah penyembahan (lihat kisah Adiy bin Hatim, riwayat Tirmizi).

Suatu saat, kesombongannya terusik. Mesir dilanda kemarau panjang yang melaparkan seluruh negeri (Al-A’raf: 130). Namun penguasa Nil ini masih saja menyombongkan kekuasaannya. Kadang bencana yang tak tertanggulangi itu memaksanya turun bargaining, dan harus berdialog dengan Musa as. untuk mencari solusi (Al-A’raf: 134).

Dalam setiap dialog, Fir’aun berkomitmen untuk beriman kepada Allah dan tidak berbuat kezaliman. Setelah bencana dihentikan, dia pun ingkar janji. Akhirnya dikirimlah bencana secara beruntun. Datanglah taufan, belalang, kutu, katak, dan darah (Al-A’raf: 133). Fir’aun tak berubah; kezaliman terus saja terjadi. Bahkan nabi Musa as. yang selama ini turut meringankan bencana pun dikejar-kejar, hingga akhirnya Fir’aun dan tentaranya dibinasakan di laut Merah (Yunus: 90). Yang tersisa hanyalah mumi tubuhnya yang sarat pelajaran berharga (Yunus: 92).

Itulah dua sikap dengan dua konsekwensi. Bahwa bencana harus diyakini akibat sebuah kesalahan. Logikanya, kalau Islam menganjurkan istighfar saat tertusuk duri, apakah sebuah negeri hancur bukan karena dosa? Dalam hal ini, introspeksi pun harus berskala nasional. Yang paling bertanggung jawab adalah para pembuat keputusan. Mereka harus mengaktifkan hati agar pesan bencana dapat diterima; membuka telinga agar suara pelopor kebaikan bisa didengar. Kemudian bagi para pecinta keadilan dan kesejahteraan agar lebih concern terhadap kondisi umat; jadilah Yusuf dan Musa negeri ini. Jangan sampai negeri kita hilang digilas sejarah. Karena sejarah pasti akan mengulang kembali peristiwa-peristiwanya. Wallahu A’lam. (msa/dakwatuna)

Redaktur: M Sofwan

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Ketua Studi Informasi Alam Islami (SINAI) periode 2000-2003, Kairo-Mesir

Lihat Juga

Tujuh Kompleks Pengungsi Sulteng Diresmikan ACT

Figure
Organization