Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Natal, Pluralisme, dan Toleransi Beragama

Natal, Pluralisme, dan Toleransi Beragama

Ilustrasi - Masjid dan Gereja. (ksupointer)
Ilustrasi – Masjid dan Gereja. (ksupointer)

dakwatuna.com – Sebuah photo spanduk besar dari partai X mampir ke dinding laman Facebook saya. Isinya mengajak perayaan natal bersama dengan pembicara Pdt. Gilbert Lumoindong, S.Th.  Entah benar atau tidak photo itu, namun – kandungannya menarik untuk dicermati. Mengapa? Jika ajakan perayaan itu datang dari gereja, saya mafhum. Sebab itu berarti ajakan kepada jamaat dari gereja tersebut untuk merayakan natal.

Namun, spanduk itu dari sebuah partai politik yang selama ini dikenal berbasis massa Islam, terutama kalangan Nahdiyin.  Saya bertanya, apa yang telah terjadi. Inikah bentuk toleransi beragama yang diagungkan itu? Atau, justru pluralisme beragama telah masuk ke dalam sumsum partai-partai politik (berbasis massa) Islam?

Sebagai negara dengan aneka keyakinan, Indonesia menjunjung tinggi pluralisme; karena itu pula, kita mengenal semboyan “Bhineka Tunggal Ika”; beragam namun satu. Lalu, apakah hal demikian berlaku pula dalam kehidupan beragama kita: Anda (baca juga; partai Anda) adalah nasionalis sejati hanya dan apabila menjadi fasilitator, penggerak dan pendukung pada sebuah acara keagamaan orang lain.

Membincangkan hal di atas, setidaknya, ada dua hal yang perlu mendapat perhatian.

Pertama: Pluralisme adalah kenyataan empiris pada setiap bangsa. Al-Qur’an menyatakan, “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat” (QS Hud: 118).

Namun, apakah pluralisme (boleh) masuk dalam tata cara beragama kita? Hemat saya, pluralisme adalah suatu “doktrin” yang wajib ditolak; baik oleh kalangan Islam atau kalangan di luar Islam. Mengapa? Sebab ia merupakan “kerancuan beragama.”

Secara umum, pluralisme memiliki tiga level. Yang terendah adalah mengajak kita, para pemeluk agama, untuk menjadi humanis. Sesungguhnya, semua agama mengajarkan pemeluknya untuk menghormati kemanusiaan kita; namun tidak berarti bahwa kita mengedepankan humanisme di atas agama; hingga menanggalkan sisi-sisi asli keagamaan kita.

Sebagai contoh, kaum humanis mengajarkan, muslim yang baik adalah yang tidak fanatik terhadap agamanya. Ajaran ini jelas keliru. Fanatisme, dalam pengertian yang benar, adalah esensi agama. Misalnya, kita wajib fanatik untuk shalat. Sebab, shalat esensi agama. Bahkan, Nabi seringkali berkata kepada Bilal, “Rehatkanlah aku dengan (kau kumandangkan) shalat.”  Muslim yang tidak fanatik dalam shalatnya menjadi seorang yang, seperti disinyalir al-Qur’an, “…dan apabila mereka mendirikan shalat, mereka malas-malasan…” (QS Annisa: 142)

Dakwah kaum Humanis ini didengungkan – mula-mula – oleh Benjamin Franklin, dalam bidang politik, lalu oleh Harvey Cox dalam bidang sosial keagamaan. (The Secular City; Harvey Cox, 1965).  “Dakwah” ini banyak didengungkan – terutama – oleh para pemikir politik keagamaan demi mencipta masyarakat yang meninggalkan cara-cara kultus dalam beragama demi mencipta kestabilan politik global.

Sepintas, terlihat bagus. Namun ujung-ujungnya menanggalkan keshalihan keagamaan seseorang.

Level kedua dari pluralisme adalah sinkretisme agama-agama. Maksudnya, penggabungan “sisi-sisi baik” tertentu dalam suatu agama.  Kaum Sikh di India – misalnya – adalah contoh kongkret sinkretisme agama. Kabir dan Nanak – guru dan murid di India –membangun ajaran Sikh dengan menggabungkan Islam; Hindu dan Budha.

Dalam batasan tertentu, ajaran Sunda Karawitan merupakan sinkretisme Animisme, Hindu dan Islam. Termasuk keyakinan-keyakinan elementer pada “agama” tersebut. Misalnya; keyakinan tentang Rabu wakasan yang diyakini sebagai hari sial.

Sosok sinkretisme paling utuh adalah Mahatma Gandhi. Ia menggabungkan Islam; Hindu dan Budha dalam diri dan manifesto perjuangan politiknya. Sekali waktu, dia berkata, “Nabi, rasul dan avatar adalah jelmaan Tuhan sepanjang zaman. Mereka mewakili sang Kebenaran (satya) dalam wahana cinta kasih (ahimsa).” Ajaran Ahimsa Mahathma Gandhi merupakan gabungan dari ketiga agama tersebut.

Level ketiga: perrenial philospy atau – dalam bahasa Arab – disebut “al-hikmahal-Khalidah”. Yaitu suatu “gerakan” untuk meyakini bahwa “semua agama adalah sama”. Doktrin ini bukan cuma ditujukan pada penganut Islam, tetapi penganut agama samawi lainnya.

Dalam Islam, ajaran ini biasanya memulai dengan mengutip hadits Nabi SAW (dengan tujuan keliru); “sebaik-baik agama adalah yang hanif dan (penuh) tenggang-rasa.”Pengutipan hadits Nabi SAW tersebut dimaksudkan untuk meyakinkan para pemeluk Islam untuk tidak terkungkung dalam suatu batasan agama yang dalam istilah Nurcholish Madjid “organized religion”. Tetapi berlapang dada dalam menerima kebenaran pada agama lain. Cak Nur terkenal sekali dengan ucapannya, “semakin dekat seorang muslim dengan Islam; maka ia menjadi semakin toleran. Semakin jauh, ia menjadi semakin radikal.”

Ucapan Cak Nur adalah kulminasi dari “dakwah” nya untuk menyatukan agama-agama dalam wawasan perennialisme: Yaitu; bahwa beragama terbaik adalah “tunduk (hanif) dan lapang dada (samhah)”. Mereka yang terkungkung dalam “organized religion” tak akan mampu bersikap lapang dada; sebab ada sekat untuk menerima kebenaran dari agama lain.

Adalah John Hick, penulis Amerika, yang memetakan jalan bagi perennialisme. Hick menulis, “great world religions constitute varian conception and response to the Ultimate divine reality” (agama-agama besar dunia sejatinya membentuk suatu konsepsi dan response pada Ultimate realitas pewahyuan) (The Myth of God Incarnate). 

Menurut Hick, agama-agama di dunia wajib mengarah pada kesatuan pandangan –dan tata cara – untuk menuju Tuhan yang satu.  Suatu ajakan yang nampaknya “indah” itu nampaknya mulai dijalankan oleh partai X dalam spanduknya itu. Sekali lagi jika photo spanduk itu bukan hasil editan.

Kedua: Menurut saya, jalan tengah (dan benar) dalam menyikapi berbagai keyakinan yang ada di tanah air adalah toleransi beragama. Hal itu telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Menurut al-Qaradhawi, dhawabit (batasan) dalam toleransi adalah sebagai berikut:

Pertama; bahwa setiap agama wajib memuliakan manusia.  Suatu kali, Rasulullah SAW tengah duduk-duduk, kemudian sekelompok orang lewat sambil mengusung jenazah. Rasulullah SAW berdiri, seorang sahabat Nabi berkata, “Wahai Rasulullah, itu jenazah Yahudi.” Rasulullah SAW kemudian berkata, “bukankah dia juga manusia?” (HR Bukhari).

Kedua: seorang muslim tidak dituntut untuk menjadi hakim atas keyakinan orang lain. Tugas kita hanyalah mengajak dan mendakwahkan kebenaran yang kita yakini kepada orang lain. Hasilnya menjadi hak prerogatif Allah SWT.  “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS: At-Taubah: 105)

Ketiga: betapapun premis tentang keyakinan telah terbangun dalam diri seorang muslim bahwa imannya yang benar; namun berbuat semena-mena tetaplah tak dapat diterima. Karena itu, kita diperintahkan untuk berbuat adil, kepada mereka yang tak seiman dengan kita sekalipun. Bahkan, Rasulullah SAW menegaskan, doa orang-orang dizhalimi – apapun keyakinan mereka– pasti dikabulkan Allah tanpa ada yang menghalanginya.

Demikian tulisan singkat ini, semoga manfaat.

Sumber bacaan: Tren Pluralisme Agama: Anis Malik Toha

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Menyelesaikan pendidikan dasar di Pondok Pesantren Attaqwa, Bekasi. Lalu melanjutkan studi ke International Islamic University, Pakistan. Kini, dosen di Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Bogor. Email: [email protected] Salam Inayatullah Hasyim

Lihat Juga

Din Syamsuddin: Agama Harus di Praktekkan dalam Kehidupan Sehari-hari

Figure
Organization