Topic
Home / Berita / Opini / Masih Adakah Orang Jujur di Negeri Ini?

Masih Adakah Orang Jujur di Negeri Ini?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (dakwatuna.com/hdn)
Ilustrasi (dakwatuna.com/hdn)

dakwatuna.com – Tulisan ini mungkin merupakan sebuah refleksi saya ketika membaca berita di surat kabar harian ini dan berita di setiap stasiun Televisi bahwa berita korupsi semakin gencar baik di elit legislatif, Eksekutif dan Mahkamah Konstitusi Tertinggi pun ikut terlibat.

Korupsi itulah kata-kata yang begitu akrab di telinga masyarakat kita dan sekaligus juga kata-kata ini mungkin bisa membuat kita sebagai rakyat merasa geram, kesal bahkan frustasi terhadap tindak-tanduk para pejabat yang sering bertingkah laku bak seorang maling berdarah dingin. Bagaimana tidak, berita dan fakta banyak terjadi kasus penyelewengan anggaran negara.

Dan mesti kita pahami dan sepakati bersama pula bahwa pelaku kejahatan itu tidak harus selalu orang yang tidak berpendidikan dan pengangguran. Tapi ketika nurani yang ada pada diri tiap orang itu tidak mampu lagi melihat mana yang hitam dan mana yang putih. Di situlah kejahatan akan terjadi tanpa harus mengenal status dan tingginya jenjang pendidikan sekalipun dia keturunan baik-baik. Akan tetapi bukan berarti pula dalam hal ini saya ikut setuju atau melegitimasi perilaku murahan para oknum pejabat pemerintahan. Apakah para koruptor itu berpendidikan? Di mana pendidikan itu adalah sebuah proses bimbingan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang kepada orang lain untuk mencapai kedewasaan baik lahir maupun batin (bagaimana bisa mendidik kalau pelaku pendidiknya seperti ini?). Kemudian timbul pertanyaan kenapa korupsi akhirnya bisa masuk kepada orang-orang yang berpendidikan tinggi (oknum)?

Dalam hal ini saya mencoba untuk berasumsi mengenai faktor penyebab teracuninya orang yang berpendidikan oleh virus white collar crime. Pertama, tidak terintegrasinya antara pendidikan agama dan pengetahuan yang diajarkan maupun yang didapatkan. Pendidikan konvensional kita selama ini lebih berorientasi kepada kemampuan siswa dalam menguasai dan menghafal materi yang telah diajarkan (kognitif). Jika kita mengadopsi teori taksonomi Bloom, bahwa pendidikan itu harus mencapai tiga ranah yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Nah, dalam sistem pendidikan kita baru berbicara atau baru sampai pada ranah kognitif saja belum menyentuh afektif dan psikomotornya. Kedua, terlalu kuatnya arus kultur korupsi yang sudah mendarah daging dalam sistem birokrasi pemerintahan kita. Kalau kita mau jujur pada diri sendiri dari sekian banyak institusi dan departemen yang ada di negeri ini. Institusi dan departemen mana yang tidak terjangkit virus korupsi ini?

Kalau system Rasulullah diterapkan yaitu metode Halaqah yaitu sebuah sistem yang ada hubungannya dengan dunia pendidikan, khususnya pendidikan atau pengajaran Islam (tarbiyah Islamiyah). Istilah halaqah (lingkaran) biasanya digunakan untuk menggambarkan sekelompok kecil muslim yang secara rutin mengkaji ajaran Islam. Jumlah peserta dalam kelompok kecil tersebut berkisar antara 3-12 orang. Mereka mengkaji Islam dengan minhaj (kurikulum) tertentu. Di beberapa kalangan, halaqah disebut juga dengan mentoring, ta’lim, pengajian kelompok, tarbiyah atau sebutan lainnya. Halaqah adalah sekumpulan orang yang ingin mempelajari dan mengamalkan Islam secara serius. Biasanya mereka terbentuk karena kesadaran mereka sendiri untuk mempelajari dan mengamalkan Islam secara bersama-sama (amal jama’i). Kesadaran itu muncul setelah mereka bersentuhan dan menerima dakwah dari orang-orang yang telah mengikuti halaqah terlebih dahulu, baik melalui forum-forum umum, seperti tabligh, seminar, pelatihan atau daurah, maupun karena dakwah interpersonal (dakwah fardiyah).

Untuk itu, saya setuju dengan pendapat yang diungkapkan oleh Denny Kailimang yang mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling banyak lembaga penumpas korupsinya. Ada kejaksaan yang berwenang menciduk koruptor, kepolisian, KPK, Badan Pemeriksa Keuangan di samping adanya Undang-undang Pemberantasan Korupsi. Tapi tetap saja korupsi di sana-sini terjadi. Akan tetapi sebagai seorang hamba yang percaya pada Tuhan. Tentunya kita tidak sepatutnya untuk berputus asa dalam memberantas kejahatan yang berkerah putih di negeri yang tercinta ini.  Masih banyak cara dan upaya yang bisa kita lakukan untuk memerangi dan mengantisipasi tindak pidana korupsi ini. Beberapa di antaranya adalah dengan cara: Pertama, Para Pendidik untuk lebih meningkatkan lagi kualitas Kecerdasan Spiritualitas dengan mengikuti metode Rasulullah yaitu Halaqah, di samping seorang pendidik harus cakap dengan kecerdasan Intelektualitasnya, karena kekuatan Spiritualitas akan memberikan dampak positif terhadap para peserta didik yang akan memperbaiki moralitas bangsa Indonesia. Kedua, sanksi yang dijatuhkan kepada para koruptor ini harus lebih keras dan ditingkatkan lagi. Tapi ingat keras bukan berarti harus kasar, karena hanya dengan cara sikap yang keras dan tegas lah bangsa ini tidak ngeyel lagi. Nampaknya kita mesti meniru dari negara lain dalam penegasan Supremasi Hukum untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Sebagai contoh ketika pemerintah Cina mewajibkan kepada seluruh warganya untuk mempunyai keturunan tidak boleh lebih dari satu demi mengurangi jumlah populasi penduduk yang sudah mencapai 1 milyar lebih. Maka pemerintah Cina menerapkan sanksi bagi orang yang melanggarnya dengan pengguguran paksa bagi pasangan yang hendak mempunyai anak yang kedua. Yang akhirnya jumlah angka kelahiran di negeri Cina setelah diterapkan aturan seperti itu mampu menekan jumlah angka kelahiran secara signifikan sekali.

Ketiga, para aparat penegak hukum wajib merupakan orang-orang yang tidak bermasalah dengan hukum. Dengan demikian aparat pelaku hukum akan lebih leluasa dalam bertindak dan menegakkan supremasi hukum yang dijunjung tinggi.

Bagaimana sekarang masyarakat Indonesia mau percaya kepada institusi pemerintah yang mana, sedangkan koruptor semakin merajalela di bumi Nusantara ini? Lalu masih adakah orang jujur di negeri ini?

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Ketua Yayasan Pendididkan Latifah Ciwaringin, Cirebon.

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization