Topic
Home / Narasi Islam / Dakwah / Memahami Jihad Fi Sabilillah (Bagian ke-3): Apakah Beban Jihad Setiap Manusia Berbeda-Beda?

Memahami Jihad Fi Sabilillah (Bagian ke-3): Apakah Beban Jihad Setiap Manusia Berbeda-Beda?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

III. Apakah beban jihad setiap manusia berbeda-beda?

dakwatuna.com – Ya. Sebab manusia berbeda dalam keimanan dan keadaannya. Allah Ta’ala memberikan rukhshah (dispensasi) untuk tidak berjihad bagi mereka yang memiliki ulud dharar (halangan).

لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (95)

“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. An Nisa (4): 95)

Ayat ini turun lantaran pertanyaan Abdullah bin Ummi Maktum -seorang sahabat nabi yang buta: “Apakah aku punya rukhshah untuk tidak berperang?” maka turunlah ayat di atas. Demikian yang dipaparkan oleh Imam Ath Thabari dalam tafsirnya.

Jadi, keadaan seseorang sangat pengaruhi kuat tidaknya beban jihad. Jihad bagi orang yang cacat tubuh, sakit wanita, anak-anak, orang tua, tentu tidak sama kuat bebannya dengan lelaki muda dan dewasa yang dalam keadaan fit.

Bahkan menurut ayat di atas, ada orang yang tidak memiliki uzur, tapi mereka duduk-duduk saja tidak ikut berjihad. Ini menunjukkan kondisi kadar keimanan mereka yang melemah.

Ingin Jihad, tapi masih punya kewajiban terhadap Orang Tua

Kondisi ini pun membuat beban jihad seseorang berbeda dengan yang lainnya. Dalam keadaan jihad ofensif (menyerang), penaklukan (futuhat), maka hukumnya fardhu kifayah bagi umat Islam untuk ikut serta. Inilah pandangan mayoritas fuqaha. Sehingga ketika kewajiban ini berbenturan dengan kewajiban per kepala (fardu ‘ain) yakni berbakti kepada Orang Tua yang tidak mungkin digantikan orang lain, maka seseorang lebih utama dia berbakti kepada kedua orang tuanya.

Hal ini sesuai dengan hadits berikut:

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya oleh Abdullah bin Mas’ud:

أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّه

“Amal apakah yang paling Allah cintai?” Rasulullah menjawab: “Shalat tepat waktu,” Orang itu bertanya: “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” Orang itu bertanya lagi: “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Jihad fi sabilillah.”[1]

Hadits ini menunjukkan berbakti kepada orang tua lebih utama dibanding jihad fi sabilillah. Ini dikuatkan lagi oleh hadits berikut:

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ

“Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam dia minta izin untuk berjihad, maka Nabi bertanya: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” dia menjawab: “Ya.” Nabi bersabda: “Maka berjihadlah kepada keduanya.” (berbaktilah padanya)[2]

Tetapi ketika jihad dalam keadaan defensif (mempertahankan diri), musuh masuk ke wilayah kita (negeri muslim), bahkan sudah berhadap-hadapan, dan sudah ada instruksi dari pemimpin negara, maka saat itu jihad menjadi fardhu ‘ain, dan lebih utama dibanding berbakti kepada orang tua. Saat itu anak tak perlu lagi izin orang tua bahkan orang tua juga harus ikut berjihad menghalau musuh.

— Bersambung…


Catatan Kaki:

[1] HR. Bukhari, Mawaqitus Shalah Bab Fahdlu Ash Shalah Liwaqtiha, Juz. 2, Hal. 353, No hadits. 496. Muslim, Kitab Al Iman Bab Bayan Kaunil Iman Billahi Ta’ala Afdhalul A’mal, Juz. 1, Hal. 233, No hadits. 120. Syamilah

[2] HR. Bukhari, Kitab Al Jihad was Siyar Bab Al Jihad bi idzni Abawain, Juz. 10, Hal. 188, No hadits. 2782. Muslim, Kitab Al Bir wash Shilah wal Adab Bab Birrul Walidain wa annahuma Ahaqqu bihi, Juz. 12, hal. 390, No hadits. 4623. Syamilah

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Resolusi Jihad Resolusi Santri

Figure
Organization