Topic
Home / Narasi Islam / Politik / Musyarakah Siyasiyah dalam Tinjauan Maqashid Syariah

Musyarakah Siyasiyah dalam Tinjauan Maqashid Syariah

Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Adalah fitrah manusia yang selalu hidup dalam kelompok, baik besar atau kecil. Kehidupan manusia yang kompleks dan majemuk menuntut adanya aturan dan norma yang menata pola hubungan manusia. Islam sebagai agama samawi yang universal tidak membiarkan kehidupan manusia kosong dari bimbingan.

Jika masalah-masalah pribadi yang relatif sederhana Islam memandang penting untuk membuat aturan di dalamnya, maka kehidupan sosial politik lebih urgen untuk mendapatkan sentuhan dan bimbingan agama agar terbentuk pola kehidupan komunal yang sehat dan harmonis.

Mean Goals (Maqashid Ammah) Syariah dalam Kehidupan Politik

Dalam Syariah Islam terdapat tiga kerangka besar yang mesti terealisasi melalui jabatan-jabatan politik.

Yang pertama adalah menegakkan agama (iqomatud din).

Al-Qur’an merekomendasikan dan menginformasikan bahwa orang-orang yang layak mendapatkan pertolongan Allah adalah orang-orang yang jika mendapatkan posisi politik penting, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan kepada yang baik dan melarang dari hal yang buruk. Allah berfirman dalam surat al-Hajj ayat 41:

{الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ} الحج: ٤١

Artinya: “….(yaitu) orang-orang yang jika Kami tempatkan (diberi posisi kuat) di muka bumi, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari keburukan.” (QS al-Hajj: 41)

Allah juga meringkas tugas-tugas para Nabi dalam kewajiban inti, yaitu menegakkan agama dan menghindari perpecahan dalam agama. Allah berfirman:

{شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ} الشورى: ١٣

Artinya: “Allah telah mensyariatkan agama sebagaimana yang telah diwasiatkan kepada Nuh, dan yang juga yang Kami wahyukan kepadamu (wahai Muhammad), juga Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu agar: tegakkanlah agama dan jangan bercerai berai di dalamnya.” (QS asy-Syura: 13)

Penegakan ajaran-ajaran agama adalah tujuan tertinggi dalam perjuangan politik Islam. Perjuangan politik yang menggunakan bendera Islam tetapi tidak berimplikasi terhadap penegakan ajaran dan nilai agama Islam adalah manipulasi dan pengkhianatan terhadap Islam dan umat Islam. Tapi itu bukan berarti bahwa penegakan agama harus menonjolkan simbol-simbol formal tertentu. Islam bukanlah agama yang sekadar mengedepankan simbol dan melupakan substansi. Bahkan al-Qur’an mengatakan secara tegas bahwa inti kebajikan bukanlah formalitas agama yang kaku, tetapi esensi dan substansi beragam kebaikan yang telah banyak dikenal orang. Allah berfirman:

{لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ } البقرة: ١٧٧

“Kebajikan itu bukanlah dengan menghadapkan wajahmu ke timur atau ke barat. Akan tetapi kebajikan itu adalah orang yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, malaikat, al-kitab, para Nabi, dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang dalam perjalanan, peminta-minta, dan mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan orang-orang yang memenuhi janji mereka, orang-orang yang sabar dalam kesulitan, penderitaan dan ketika perang. Merekalah orang-orang yang benar, dan merekalah orang-orang yang bertaqwa.” (QS al-Baqarah: 177)

Menarik untuk diperhatikan dalam ayat di atas Allah bukan hanya memberi penjelasan tentang bentuk-bentuk kebajikan dengan gaya bahasa yang biasa. Allah tidak sekadar mengatakan bahwa kebajikan adalah perbuatan ini dan itu, tetapi Allah justru mengatakan bahwa kebajikan adalah orang yang beriman dan seterusnya. Dalam ilmu balaghah (retorika bahasa Arab) ini dikenal dengan istilah majaz isnadi. Allah menggunakan gaya bahasa seperti itu di antaranya adalah untuk menjelaskan bahwa kebajikan bukanlah sekadar konsep atau ungkapan verbal belaka, tetapi kebajikan hanyalah menjadi real kebajikan jika sudah terjelma dalam perilaku seseorang.

Dalam dunia politik masalah ini menjadi sangat penting, karena dunia politik adalah dunia yang gaduh dengan retorika kebaikan tetapi sering sepi dari realita kebaikan itu sendiri. Seolah-olah al-Qur’an ingin mengatakan bahwa inti masalahnya bukan saja apa itu substansi kebaikan, tetapi sejauh mana hal itu muncul dalam realita.

Al-Imam al-Mawardi merumuskan bahwa kepemimpinan politik dalam Islam diposisikan dalam syariah Islam untuk memenuhi dua tugas besar meliputi urusan agama dan urusan dunia. Beliau berkata dalam kitabnya al-Ahkam as-Sulthaniyah:

الْإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا

“Kepemimpinan diletakkan demi menggantikan tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia.” [1]

Tujuan besar kedua yang dituntut dalam dunia politik Islam adalah penegakan keadilan. Penegakan keadilan menduduki ranking pertama dalam deklarasi singkat surat an-Nahl yang merumuskan pokok-pokok perintah Allah yang utama. Allah berfirman:

{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ } النحل: ٩٠

“Sungguh Allah memerintahkan untuk berbuat adil, ihsan, menyantuni kerabat, dan melarang dari perbuatan keji, mungkar dan agresif.” (QS an-Nahl: 90)

Dalam ayat yang lain yang merupakan landasan dasar politik Islam, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah, Allah juga menjadikan isu penegakan keadilan menjadi isu utama. Allah berfirman:

{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ} النساء: ٥٨

“Sungguh Allah memerintahkan kalian agar menunaikan amanat kepada yang berhak, dan jika kalian memerintah hendaklah kalian memerintah dengan adil.” (QS an-Nisa: 58)

Begitu vital dan strategisnya masalah penegakan keadilan sampai-sampai keberlangsungan sebuah negara begitu tergantung pada kemampuannya menegakkan keadilan. Ibnu Taimiyah -rahimahullah- menegaskan kenyataan ini, dalam beberapa kesempatan. Beliau berkata, “Semua orang tidak ada yang berbeda pandangan bahwa akibat dari kezhaliman adalah hina, dan akibat dari keadilan adalah mulia. Karena itu dikatakan bahwa ‘Allah membela negara yang adil meski kafir, dan tidak membela negara yang zhalim meski beriman.”[2]

Isu utama yang juga menjadi tuntutan Syariah Islamiyyah adalah isu pengentasan kemiskinan atau perbaikan ekonomi. Islam menjadikan santunan kepada faqir miskin sebagai prioritas pertama dalam masharif zakat yang merupakan pondasi utama ekonomi Islam.

{إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ } التوبة: ٦٠

Artinya: “Shadaqah (zakat) itu hanyalah diperuntukkan bagi para fakir, miskin, orang-orang yang bekerja mengelolanya, orang-orang yang diikat hatinya, budak (yang ingin dimerdekakan), orang-orang yang berutang, (untuk kepentingan) di jalan Allah, dan orang yang dalam perjalanan. Dan Allah Maha Mengetahui dan Bijaksana.” (QS at-Taubah: 60)

Kewajiban negara membantu menyelesaikan kesulitan warganya secara langsung adalah kebijakan yang dicontohkan Nabi Besar Muhammad SAW. Hal ini ditunjukkan secara jelas dalam hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ، فَيَسْأَلُ: هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ فَضْلًا؟ فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى وَإِلَّا قَالَ: لِلْمُسْلِمِينَ: “صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ.” فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْفُتُوحَ قَالَ: “أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، فَمَنْ تُوُفِّيَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فَتَرَكَ دَيْنًا فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ.” متفق عليه

Dari Abi Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW dahulu jika didatangkan dengan orang meninggal yang masih menanggung utang, beliau bertanya, “Apakah dia masih menyisakan utang?” Jika dikabarkan bahwa dia sudah melunasi utangnya beliau menshalatkannya. Jika tidak beliau berkata kepada umat Islam, “Shalatkanlah sahabat kalian!” Ketika Allah memberikan banyak kemenangan dalam banyak peperangan, beliau berkata, “Saya lebih berhak atas orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri. Siapapun orang beriman yang meninggal dan meninggalkan utang maka saya yang menanggung pelunasannya. Dan barang siapa yang meninggalkan harta maka itu untuk ahli warisnya.”[3]

Nabi Muhammad SAW memprioritaskan solusi-solusi nyata bagi persoalan masyarakat begitu mendapatkan surplus pendapatan negara. Beliau tidak berpikir misalnya untuk membangun rumahnya yang masih berstandar RSS, atau menghiasi masjid yang masih jauh dari standar infrastruktur negara besar di saat itu, atau hal-hal lain yang masih tergolong tahsiniyyat (tersier) atau hajiyyat (sekunder), karena masih banyak umat Islam ketika itu yang belum mampu memenuhi kebutuhan dharuriyyat (primer).

Dari sini kita pahami betapa seriusnya Islam memberikan perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat secara real. Kelebihan pendapatan yang Rasulullah SAW dapatkan dari banyak kemenangan-kemenangan beliau tidak diputar di kalangan tertentu, sehingga umat Islam hanya menonton hasil perjuangan yang dinikmati oleh golongan elit saja. Dan bahkan Rasulullah SAW yang membuat kebijakan seperti itu, justru malah menyisakan utang pribadinya, sehingga baju besinya masih tergadai di tangan seorang Yahudi di kala beliau menghadap Allah SWT. Semoga kita semua dapat menyerap pelajaran besar ini.

Itulah trilogi penting dalam perjuangan politik Islam: agama, keadilan dan kesejahteraan. Dan trilogi inilah juga yang diungkapkan oleh Rib’iy bin Amir ketika menjelaskan inti agama Islam di hadapan Rustum. Beliau berkata, “Allah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia dari penyembahan terhadap hamba menuju penyembahan kepada Allah, dari kezhaliman agama-agama menuju keadilan Islam, dan dari kesempitan dunia menuju kelapangan dunia dan akhirat.”[4]

Dasar Legalitas Jihad Siyasi

Perjuangan politik tidaklah tabu dalam agama Islam, bukan hanya dalam syariat Nabi Muhammad SAW bahkan juga dalam nabi-nabi sebelumnya. Nabi Yusuf AS misalnya mencontohkan bagaimana beliau memerankan posisi politik penting dalam kerajaan Mesir, sebagai da’i di satu sisi dan sebagai pejabat Negara yang sukses menyejahterakan rakyat di sisi lain.

Demikian juga Nabi Daud AS dan dilanjutkan oleh Nabi Sulaiman AS. Mereka menjadi pucuk pimpinan negara yang dibangun oleh Bani Israil dan berhasil menegakkan dan menyebarkan ajaran Tauhid di muka bumi.

Al-Qur’an juga memberikan contoh penguasa super power seperti Dzul Qarnain yang mampu menyelesaikan persoalan umat manusia dari ujung barat bumi sampai ujung timur.

Contoh yang paling lengkap dan detail dalam perjuangan politik Islam adalah Nabi Pamungkas Nabi Muhammad SAW. Sudah sama-sama dimaklumi bagaimana beliau membangun masyarakat dan mengelola negara melalui perjuangan politik.

Begitu pentingnya politik dan institusi politik, sehingga sahabat Umar bin Khatthab RA berkata:

لا إسلام إلا بجماعة، ولا جماعة إلا بإمارة، ولا إمارة  إلا  بطاعة، فمن سوّده قومه على الفقه كان حياة له ولهم، ومن سوده قومه على غير فقه كان هلاكا له ولهم.

“Tidak ada Islam tanpa jamaah, dan tidak ada jamaah tanpa kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan. Barang siapa yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya atas dasar pemahaman, maka itu adalah kehidupan baginya dan bagi kaumnya. Dan barang siapa yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya tidak atas dasar pemahaman, maka itu adalah kehancuran baginya dan bagi kaumnya.”[5]

Urgensi entitas politik juga ditekankan oleh para ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Wajib diketahui bahwa memegang jabatan publik termasuk dalam kewajiban-kewajiban agama yang agung. Bahkan agama tidak akan tegak tanpa hal itu. Karena anak-anak Adam tidak akan sempurna maslahat mereka kecuali dengan berkelompok, dikarenakan kebutuhan mereka terhadap sesama. Dan ketika berkelompok mereka memerlukan pemimpin sehingga Nabi SAW bersabda, “Jika tiga orang dalam perjalanan, hendaklah mereka memilih salah seorang mereka menjadi pemimpin.” Diriwayatkan oleh Abu Daud dari hadits Abu Said dan Abu Hurairah. Imam Ahmad meriwayatkan dalam al-Musnad dari Amr bin al-Ash bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sebuah padang kecuali jika mereka memilih salah seorang mereka menjadi pemimpin.” Dengan demikian Nabi Muhammad SAW mewajibkan memilih pemimpin dalam kelompok kecil yang insidentil dalam sebuah perjalanan sebagai isyarat untuk semua jenis perkumpulan. Dan juga karena Allah mewajibkan untuk memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar, dan hal itu tidak mungkin dilakukan tanpa kekuatan dan pemerintahan. Juga kewajiban-kewajiban yang lain seperti jihad, penegakan keadilan, hajji, shalat Jum’at, hari-hari raya, menolong orang yang dizhalimi, menegakkan hudud, semua tidak mungkin tanpa kekuatan dan pemerintahan.”[6]

Moralitas Islam dalam Kehidupan Politik

Jabatan politik adalah wilayah yang penuh dengan resiko penyelewengan dan kezhaliman. Karena itu sangat banyak arahan-arahan moral dalam al-Qur’an dan as-Sunnah untuk menjaga agar kehidupan politik umat menjadi kehidupan yang sehat dan produktif antara lain:

A. Larangan Memperebutkan Jabatan Politik

Diriwayatkan dalam muttafaq ‘alaih:

عن عَبْد الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا.

Dari Abdurrahman bin Samurah RA bahwa Nabi SAW bersabda, “Wahai Abdurrahman bin Samurah! Janganlah kau meminta (jabatan) kepemimpinan, karena jika engkau mendapatkannya dengan meminta, engkau akan diserahkan kepadanya (tidak mendapat pertolongan), tapi jika engkau mendapatkannya tanpa meminta, engkau akan dibantu memikulnya.”[7]

Dalam hadits lain dari Abu Hurairah RA Nabi Muhammad SAW bersabda:

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتْ الْفَاطِمَةُ.

“Kalian akan mengejar (jabatan) kepemimpinan, dan itu akan menjadi penyesalan di hari Kiamat, karena (jabatan) itu adalah penyusu yang nikmat dan penyapih yang buruk.”[8]

Pada suatu saat Abu Musa al-Asy’ary mendatangi Nabi SAW bersama dua orang lain dari kabilahnya. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Wahai Rasulullah! Jadikanlah aku pemimpin!” Dan yang satu lagi juga mengatakan hal yang sama. Lalu Nabi SAW berkata:

إِنَّا وَاللَّهِ لَا نُوَلِّي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلَا أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ

“Kami tidak memberikan jabatan ini kepada orang yang memintanya atau sangat menginginkannya.”[9]

Pada suatu hari Abu Dzar berkata kepada Nabi Muhammad SAW, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memberikan jabatan kepadaku?” Lalu beliau memukul pundak Abu Dzar dan bersabda,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيف، وَإِنَّهَا أَمَانَةُ، وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا، وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا.

“Wahai Abu Dzarr, engkau lemah, dan kepemimpinan itu adalah amanah, dan hari Kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali yang mendapatkannya sesuai kelayakannya, dan menunaikan hak-haknya.”[10]

Pada dasarnya jabatan itu memang sangat berbahaya jika dijadikan ajang perebutan dan pertarungan. Islam sangat menjaga agar kehidupan politik tidak dikacaukan dengan perebutan jabatan, agar tidak muncul orang-orang yang berambisi besar tapi tidak mengerti beratnya tanggung jawab dan tidak mampu menunaikan kewajibannya sebagai pemimpin. Karena pada umumnya orang-orang yang berambisi menjadi pemimpin adalah orang-orang yang egois dan tidak takut akan beratnya tanggung jawab. Islam lebih mengarahkan agar pemimpin muncul karena kepercayaan yang diberikan oleh orang lain, bukan muncul dari ambisi pribadi.

Itu adalah kaidah umum yang mesti menjadi pijakan. Akan tetapi pada kasus-kasus tertentu mungkin terjadi pengecualian, di mana terjadi kekosongan yang tidak dapat diisi kecuali oleh orang yang meminta jabatan. Tapi jika pengecualian ini menjadi kaidah umum, maka kondisi umat akan berubah drastis, di mana mayoritas pemimpin bukan lagi orang-orang bertaqwa yang takut pada hisab di hari Akhir, tetapi sebagian besar pemimpin adalah orang-orang ambisius dan lemah integritas.

Sebagian orang menjadikan kisah Nabi Yusuf AS menjadi dalil bolehnya meminta jabatan bagi orang yang merasa mampu dan kapabel. Akan tetapi hal itu tidak cukup tepat, karena Nabi Yusuf tidak meminta jabatan sejak awal, lebih tepatnya beliau diminta oleh Raja Mesir, lalu beliau memilih posisi yang beliau anggap mampu untuk memikulnya.

Untuk lebih lengkapnya mari kita baca ayat-ayat berikut:

{وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ . قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ } يوسف: ٥٤ – ٥٥

54- Dan berkatalah Sang Raja, “Datangkanlah dia (Yusuf) kepadaku, sehingga aku jadikan dia khusus untuk (membantu) diriku.” Maka ketika dia berbicara dengannya, Sang Raja berkata, “Sungguh engkau hari ini (telah mendapat posisi) kuat dan terpercaya.”

55- Yusuf berkata, “Jadikanlah aku (penanggung jawab) atas kekayaan negeri, karena aku pandai memelihara dan memiliki pengetahuan.” (QS Yusuf: 54-55)

Jelas dari kisah di atas bahwa Nabi Yusuf tidak dari awal meminta jabatan, tetapi beliau diberikan kepercayaan dahulu secara umum, kemudian beliau meminta posisi penanggung jawab kekayaan negara karena beliau melihat kemampuannya di bidang itu.

Dalil yang lebih tepat atas bolehnya meminta jabatan adalah hadits Utsman bin Abil Ash ats-Tsaqafi:

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ رضي الله عنه قَالَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْنِي إِمَامَ قَوْمِي، قَالَ: أَنْتَ إِمَامُهُمْ، وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ، وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا.

Dari Utsman bin Abil Ash RA beliau berkata, “Saya berkata kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, jadikanlah aku imam bagi kaumku!” Nabi SAW berkata, “Engkau menjadi imam mereka. Ikuti yang terlemah di antara mereka, dan pilihlah seorang muadzin yang tidak mengambil upah dari adzannya.”[11]

Dalam hadits tersebut sangat jelas bahwa Utsman bin Abil Ash meminta untuk dijadikan pemimpin dan permintaan tersebut langsung dikabulkan oleh Nabi SAW. Mengapa Nabi memberikan perlakuan khusus kepada Utsman bin Abil Ash dengan memberikan langsung jabatan yang dimintanya? Hal ini dijelaskan dalam riwayat Abi Daud[12] dan Imam Ahmad dalam Musnadnya[13], bahwa Utsman bin Abil Ash datang bersama kaumnya, kabilah Tsaqif. Mereka menyatakan keislaman mereka dan afiliasi mereka terhadap umat Islam, tetapi mereka mempunyai beberapa syarat yang mereka ajukan, di antaranya adalah agar tidak diangkat pemimpin untuk mereka selain dari golongan mereka.

Di sisi lain juga Rasulullah SAW melihat kapasitas Utsman bin Abil Ash begitu menonjol, hal itu ditunjukkan dengan keantusiasan beliau dalam mempelajari al-Qur’an lebih dari yang lain. Dan pilihan Rasulullah SAW lebih terbukti ketepatannya ketika banyak kabilah-kabilah Arab banyak yang murtad setelah Rasulullah SAW wafat, Utsman bin Abil Ash-lah yang mampu meyakinkan kaumnya untuk tetap pada Islam.

Intinya adalah larangan meminta jabatan bisa dikecualikan pada kondisi-kondisi khusus seperti di atas. Akan tetapi kaidah umumnya adalah bahwa jabatan dalam Islam bukanlah untuk diperebutkan dan diberikan kepada orang yang berambisi, karena itu adalah pintu yang sangat rawan terhadap penyelewengan dan perpecahan.

B. Tidak Mengambil dan Menggunakan Harta Yang Bukan Haknya

Jabatan publik atau kekuasaan politik baik skala besar atau kecil adalah posisi yang sangat mudah untuk meraih sumber-sumber kekayaan materi. Orang-orang yang diberi kekuasaan mengelola kepentingan umum secara langsung akan sangat mudah mengambil hak orang lain jika mereka tidak memiliki komitmen moral, iman dan ketakwaan yang kokoh.

Islam bukan saja mengharamkan uang haram, tetapi lebih jauh lagi, Allah melarang segala macam upaya melegalisasi harta haram. Formalitas, prosedur resmi, kekuatan jabatan atau relasi tidak boleh dijadikan sarana memanipulasi substansi keadilan. Allah berfirman:

{وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ} البقرة: ١٨٨

“Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil, dan membawanya kepada para hakim agar kalian dapat memakan sebagian dari harta orang lain dengan cara dosa, padahal kalian mengetahui.” (QS al-Baqarah: 188)

Perilaku berhati-hati (wara’) dalam mengelola harta publik adalah rahasia sukses para khulafa’ur rasyidin dalam membangun negara.

Diriwayatkan oleh Imam Malik dan al-Baihaqi dari Zaid bin Aslam bahwa pada suatu saat Umar bin Khatthab meminum susu. Dan beliau menyukainya, lalu beliau bertanya kepada petugas yang memberinya minum, “Dari mana engkau dapatkan susu ini?”

Lalu diberitahu bahwa itu adalah susu dari hewan zakat. Begitu mengetahui bahwa susu itu adalah susu dari ternak zakat, beliau langsung memasukkan jarinya ke mulutnya hingga memuntahkan susu tersebut.[14]

Umar bin Khatthab dapat saja meminum susu bahkan menggunakan semua harta zakat tersebut, sebagai pimpinan tertinggi negara Islam. Dan tidak aka nada yang menggugatnya, karena beliau bias saja mengklaim itu adalah hak dari pengelola zakat (amilin alaiha). Tetapi beliau tegas berpendapat bahwa itu bukan haknya yang halal sehingga beliau tidak rela untuk meminumnya.

Dari riwayat di atas Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa khalifah dan penguasa wilayah yang besar tidak berhak mengambil uang zakat meskipun pengelola zakat merupakan orang bawahannya.[15] Dan Amil Zakat pun hanya boleh mengambil uang zakat sekadar keperluannya.[16]

C. Memberi Contoh Zuhud

Sangat penting bagi para politisi muslim untuk memberi contoh dan keteladanan dalam berinteraksi dengan materi. Rakyat pada umumnya cenderung untuk mengikuti pemimpinnya. Jika sang pemimpin tidak memberikan contoh yang baik, maka perilaku rakyatnya akan jauh lebih buruk.

Imam Ali bin Abi Thalib menerangkan hukum sosial ini. Ketika harta rampasan perang dari Persia sampai di hadapan Umar bin Khattab dengan lengkap tak kurang sedikitpun, Umar terharu dan berkata, “Orang-orang yang menunaikan harta seperti ini sungguh orang-orang yang memiliki amanah.” Sontak Ali bin Abi Thalib mengomentari:

إِنَّكَ عَفَفْتَ فَعَفَّتِ الرَّعِيَّة

“Engkau telah menjaga diri (berbuat iffah) maka rakyatpun menjaga diri.”[17]

Para pejabat publik hendaknya menyadari bahwa perilaku mereka akan dilihat dan dicontoh oleh khalayak umum sehingga mereka perlu waspada untuk tidak melakukan kesalahan sekecil apapun agar menjadi teladan yang buruk bagi orang lain.

D. Bersikap Adil Kepada Semua Orang

Keadilan yang dituntut dari perjuangan politik Islam bukanlah keadilan tebang pilih, tetapi keadilan bagi semua orang, termasuk yang bukan golongan atau partai sang pemimpin. Pemimpin muslim harus berani menegakkan keadilan meskipun terhadap dirinya atau kerabatnya. Allah berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ} النساء: ١٣٥

“Wahai orang-orang beriman jadilah kalian para penegak keadilan dan saksi-saksi bagi Allah meskipun terhadap diri kalian sendiri atau orang tua dan kerabat kalian.” (QS an-Nisa: 135)

Perintah berbuat adil adalah ajakan moral universal yang diakui oleh semua manusia. Tetapi berbuat adil menjadi tidak sederhana ketika terkait dengan diri sendiri, teman sendiri atau keluarga sendiri. Banyak orang bisa berteriak keras memperjuangkan keadilan ketika berkaitan dengan orang lain, tetapi jika terkait dengan diri sendiri, keluarga sendiri atau kelompok sendiri, hawa nafsu seringkali lebih dominan dibanding keinginan tulus memberikan hak-hak secara proporsional.

Baginda Nabi SAW menegaskan dengan sangat jelas, bagaimana seharusnya hukum dan keadilan diterapkan. Dalam hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim, beliau bersabda:

وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

“Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri niscaya kupotong tangannya.”[18]

Demikianlah sikap tegas yang diperlukan dalam menegakkan keadilan dan memperjuangkan politik Islam. Dan hanya dengan itu sebuah negara tegak dan kuat.

Dalam sebuah riwayat Imam Ali RA kehilangan baju besinya, tapi suatu hari dia menemukan seorang Yahudi sedang menjual baju besi itu di pasar. Berkatalah Imam Ali kepadanya, “Wahai Yahudi! Baju besi ini milik aku. Saya tidak pernah menjualnya dan tidak juga memberikannya.”

Orang Yahudi itu berkata, “Ayo kita pergi menghadap hakim.”

Di hadapan hakim (yang bernama Syuraih) Imam Ali berkata, “Sungguh baju besi ini adalah milikku, tidak pernah saya jual dan tidak juga saya hibahkan.”

Syuraih berkata, “Apa perkataanmu wahai Yahudi?”

Yahudi itu berkata, “Ini baju besiku dan ada di tanganku.”

Syuraih berkata kepada Imam Ali, “Apa engkau memiliki bukti atau saksi?”

Imam Ali berkata, “Ya, Qunbur (pembantunya-pen) dan Hasan dapat bersaksi bahwa baju besi ini adalah milikku.”

Syuraih berkata, “Persaksian anak untuk bapaknya tidak dapat diterima.”

Imam Ali berkata, “Bagaimana persaksian penduduk surga tidak diterima. Saya mendengar dari Rasulullah SAW bersabda, ‘Hasan dan Husein adalah tuannya penduduk surga.”

Berkatalah Yahudi tersebut, “Dia telah pergi kepada hakimnya, dan sang hakim sudah memutuskan keputusan yang merugikannya. Maka saya bersaksi bahwa agama ini adalah benar. Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah. Sesungguhnya baju besi ini adalah milikmu. Ketika itu saya menunggangi unta milikmu ketika engkau pergi ke Shiffin. Dan jatuhlah baju besi itu pada malam hari. Lalu aku ambil baju besi itu.”[19]

Dari kisah tersebut, dan juga kisah-kisah lain yang sangat banyak dari kehidupan sahabat-sahabat Nabi SAW kita lihat bahwa pemimpin dalam Islam adalah orang yang sangat disiplin menegakkan keadilan, meskipun terkadang justru merugikan mereka. Tetapi demi menghindari kezhaliman mereka rela untuk tidak mendapat sebagian dari hak yang mereka inginkan.

E. Jauh dari Egoisme dan Ambisi Pribadi

Agar perjuangan politik Islam berjalan lurus sesuai rel yang benar, para politisi Islam haruslah jauh dari sikap-sikap egois dan ambisius, karena hal itu akan merusak perjalanan penegakan Islam itu sendiri. Perjuangan politik jika dikendalikan oleh jiwa-jiwa yang egois otomatis akan bergeser kepada pemenuhan syahwat pribadi-pribadi tertentu.

Jabatan publik sejatinya adalah posisi untuk banyak memberi dan berkorban. Jika semangat awal para politikus adalah pemenuhan ambisi pribadinya tentu yang akan terjadi adalah eksploitasi sumber-sumber daya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Dalam sebuah hadits:

ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

“Tiga hal yang menyebabkan kehancuran: kekikiran yang diikuti, hawa nafsu yang dituruti, dan kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri.”[20]

Tiga hal yang disebutkan Nabi SAW di atas adalah hal-hal yang mendorong kepada egoisme yang akut yang menyebabkan kehancuran pribadi dan kelompok.

F. Melaksanakan Tugas dengan Baik (Itqan)

Kapabilitas adalah hal yang mutlak dipenuhi dalam memikul tugas kepemimpinan. Jika tugas dipikul oleh orang yang tidak kapabel maka kehancuranlah akibat yang menimpanya semua. Dalam hadits Jibril yang terkenal:

إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ

“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kiamat.”[21]

Ukuran kesuksesan sebuah perjuangan politik tentulah pada kinerja pejabat politik dan efek positif yang dirasakan oleh masyarakat.

Profesionalitas kinerja politisi Islam bukanlah sekadar prestasi pribadi, tetapi adalah pertaruhan nama Islam yang dibawanya. Kegagalan atau kekurangan dalam kinerja pejabat publik dari partai Islam akan berimbas pada kepercayaan masyarakat terhadap perjuangan politik Islam itu sendiri. Dari situ penting untuk diusahakan dalam partai Islam untuk memiliki mekanisme pengawasan dan evaluasi ketat, agar para pejabat publik mereka terjaga kualitas kinerjanya.

G. Siap Menerima Kritik dan Nasihat

Tak satu manusia pun diciptakan sempurna. Sebaik-baik manusia tetap memiliki kekurangan, dan sebaik-baik usaha manusia tetap menyimpan kelemahan. Kebijaksanaan seorang pemimpin ditunjukkan lewat keterbukaannya menerima masukan, nasihat dan kritikan rakyatnya.

Bukan hal yang asing bagi yang mempelajari sirah Nabi Muhammad SAW bagaimana beliau yang didukung dengan wahyu masih membuka kesempatan para sahabatnya untuk memberikan masukan-masukan mereka. Nabi Muhammad tidak menjadi sahabat-sahabatnya sekadar pengikut setia, tetapi Nabi Muhammad SAW menjadikan mereka sebagai partner perjuangan dan kontributor aktif dalam membangun peradaban Islam.

Dalam pidato kenegaraan Abu Bakar yang terkenal begitu beliau dilantik, beliau berkata: “Jika aku (bertindak) lurus maka bantulah aku, tapi jika aku melenceng maka luruskanlah aku.”[22]

H. Hidup Merakyat

Perilaku yang sangat penting dilakukan oleh pejabat publik adalah hidup merakyat. Karena seorang pemimpin tidak mungkin akan dapat mengetahui dan merasakan kondisi rakyatnya jika dia hidup jauh dari kondisi rakyat sehari-hari.

Hal ini dicontohkan oleh Nabi Besar Muhammad SAW, di mana beliau tinggal di tengah-tengah para sahabat, dengan kondisi dan standar kehidupan yang tidak jauh berbeda dengan para sahabat. Bahkan beliau seringkali tidak mau dibedakan dengan para sahabat dalam pembagian tugas.

Diriwayatkan ketika beliau bersama para sahabat dalam sebuah perjalanan, beliau memerintahkan para sahabatnya untuk memasak kambing. Salah seorang dari mereka berkata, “Saya yang akan menyembelihnya.” Yang lain berkata, “Saya yang akan mengulitinya.” Yang lain lagi berkata, “Saya yang memasaknya.” Lalu Rasulullah SAW berkata, “Saya yang mengumpulkan kayu bakarnya.”

Serentak para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, cukuplah kami yang mengerjakan semuanya.” Rasulullah SAW menjawab, “Saya tahu bahwa kalian dapat mencukupi semuanya, tetapi saya tidak suka dibedakan dari kalian. Dan Allah tidak suka dari hamba-Nya yang ingin dilihat berbeda di antara sahabat-sahabatnya.”[23]

Sejarah para al-Khulafa ar-Rasyidin sangat sarat dengan contoh-contoh bagaimana seorang pemimpin betul-betul hidup bersama rakyat dan peduli dengan problema rakyat sehari-hari. Kita tahu bagaimana Abu Bakar RA setiap hari memberikan seorang ibu buta dan tua, tanpa ada seorang pun mengetahuinya. Kita juga tahu bagaimana Umar RA berjaga malam dan berkeliling untuk mengetahui langsung kondisi rakyatnya. Kisah-kisah tentang hal itu amat sangat banyak dan terlalu panjang untuk diperinci satu persatu.

Yang penting untuk digaris bawahi dari sejarah para khulafa rasyidin tersebut adalah bahwa kebersamaan mereka dengan rakyat bukan hanya dengan keberadaan fisik mereka dengan rakyat, tetapi mereka hadir memberi solusi, melayani dan memperhatikan persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat.

Bahkan dalam Islam, rakyat kecil tidak dipandang sebagai orang-orang lemah yang perlu dikasihani, akan tetapi Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa orang-orang yang dianggap lemah sebenarnya memiliki peran besar dan tidak dapat dikesampingkan, dan bahkan tidak dapat digantikan oleh orang-orang yang secara lahir terlihat lebih berdaya.

عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ رَأَى سَعْدٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ لَهُ فَضْلًا عَلَى مَنْ دُونَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ. رواه البخاري

“Dari Mush’ab bin Sa’d beliau berkata bahwa Sa’d RA merasa dirinya berjasa atas orang-orang di bawahnya. Maka Nabi berkata kepadanya, “Bukankah kalian tidak mendapatkan rezki dan pertolongan melainkan karena orang-orang lemah dari kalian?” (HR al-Bukhari)[24]

عَنْ أَبَي الدَّرْدَاءِ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ابْغُونِي الضُّعَفَاءَ فَإِنَّمَا تُرْزَقُونَ وَتُنْصَرُونَ بِضُعَفَائِكُمْ. رواه النسائي وأحمد والحاكم وصححه

Dari Abu Darda RA beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Berikan kepadaku orang-orang lemah, karena sesungguhnya kalian mendapat rezeki dan pertolongan dikarenakan orang-orang lemah kalian.” [25]

Dalam riwayat lain hadits Nabi secara lebih tegas menjelaskan peranan orang-orang lemah dalam kejayaan umat.

إنما تنصر هذه الامة بضعفائها بدعواتهم وصلاتهم وإخلاصهم.

“Hanyalah umat ini dimenangkan dengan orang-orang dhuafa’nya, dengan doa-doa mereka, shalat mereka dan keikhlasan mereka.”[26]

Pasang Surut Politik Islam dalam Sejarah Umat-umat Terdahulu

Dalam sejarah dakwah para nabi sepanjang masa, selalu terjadi pertarungan antara pembela kebenaran dan pengikut kebatilan, antara keimanan dan kekufuran, putih bersih berhadapan dengan hitam kelam. Pola seperti itu akan selalu ada sepanjang zaman. Tetapi penjelmaan realistis seringkali tidak sesederhana itu. Terutama jika perjalanan dakwah sudah begitu panjang dan mengalami pergulatan yang lebih kompleks, diferensiasi antara benar dan salah semakin rumit.

Sejarah para nabi-nabi sebelum Nabi Musa pada umumnya menampilkan pola yang kontras dan tegas antara Haq dan Bathil. Tetapi setelah Nabi Musa berhasil membebaskan Bani Israil dari tirani Firaun, persoalan bukan lagi terjadi antara pengikut Nabi dan penentangnya, tetapi justru di dalam barisan pengikut Nabi Musa sendiri muncul persoalan-persoalan rumit.

Pengikut Nabi Musa pada awalnya adalah orang-orang yang Allah siapkan untuk menjadi pemimpin-pemimpin masa depan, yang mengajak umat manusia kepada ajaran Tauhid. Allah berfirman dalam pembukaan kisah hidup Nabi Musa dan perjuangannya bersama Bani Israil:

{وَنُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ} القصص: ٥

“Dan Kami ingin memberi karunia bagi orang-orang yang tertindas di muka bumi, dan Kami jadikan mereka para pemimpin, dan Kami jadikan mereka para pewaris (kekuasaan).” (QS al-Qashash: 5)

Allah SWT menjadikan penindasan Firaun terhadap Bani Israil sebagai ujian kesabaran yang mengantarkan mereka kepada laverage kepemimpinan. Dan memang dari Bani Israil akhirnya muncul para nabi dan pengikut-pengikut nabi yang menjadi pemimpin-pemimpin yang istiqamah. Allah berfirman:

{وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ} السجدة: ٢٤

“Dan Kami jadikan dari mereka (Bani Israil) pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS as-Sajdah: 24)

Allah juga berfirman:

{وَمِنْ قَوْمِ مُوسَى أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ} الأعراف: ١٥٩

“Dan di antara kaum Musa ada golongan yang memberi petunjuk dengan kebenaran, dan dengan (kebenaran) itu mereka berbuat adil.” (QS al-A’raf: 159)

Meskipun Bani Israil memiliki beberapa prestasi, akan tetapi volume pelanggaran mereka juga cukup besar. Dan akhirnya mereka menjadi umat yang terpecah belah. Allah berfirman:

{وَقَطَّعْنَاهُمْ فِي الْأَرْضِ أُمَمًا مِنْهُمُ الصَّالِحُونَ وَمِنْهُمْ دُونَ ذَلِكَ وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ . فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَذَا الْأَدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا وَإِنْ يَأْتِهِمْ عَرَضٌ مِثْلُهُ يَأْخُذُوهُ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ مِيثَاقُ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ وَدَرَسُوا مَا فِيهِ وَالدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ} الأعراف: ١٦٨ – ١٦٩

167- Dan Kami pecah mereka di muka bumi menjadi beberapa golongan, di antara mereka ada orang-orang shalih dan ada yang di bawah itu (derajatnya). Dan Kami uji mereka dengan kebaikan dan keburukan agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

168- Lalu mereka dilanjutkan oleh generasi yang mewarisi al-Kitab dan mengambil keuntungan (dunia) yang terdekat. Dan mereka berkata, “Kita akan diampuni.” Jika mereka mendapatkan keuntungan serupa lagi mereka akan mengambilnya. Bukankah mereka telah diambil sumpah al-Kitab agar mereka tidak mengatakan atas nama Allah selain kebenaran? Dan mereka telah mempelajari isinya? Padahal negeri akhirat lebih baik bagi orang yang bertaqwa. Apakah kalian tidak berpikir?” (QS al-A’raf: 168-169)

Begitulah episode perjalanan politik Bani Israil. Success story perjuangan politik dalam sejarah para Nabi sebenarnya cukup banyak, seperti yang diperankan Nabi Yusuf, Nabi Daud dan Nabi  Sulaiman, juga Dzulqarnain, meski ada perselisihan pendapat apakah Dzulqarnain nabi atau bukan. Meskipun cukup banyak kisah-kisah sukses tersebut, akan tetapi al-Qur’an memberikan porsi yang sangat banyak untuk menceritakan kisah-kisah Bani Israil yang tidak sukses memikul amanah, karena potensi kegagalan dan penyimpangan dalam dunia politik sangat besar. Di sinilah al-Qur’an memberikan pendidikan yang seimbang, yang tidak hanya menampilkan warna-warna indah dan cemerlang dalam perjuangan, tetapi perlu juga menyingkap jebakan-jebakan, kesalahan-kesalahan dan penyelewengan-penyelewengan yang banyak terjadi pada umat-umat sebelum kita.

Karena itulah Baginda Nabi Muhammad SAW memberikan warning jauh-jauh hari tentang potensi penyimpangan yang akan menimpa umat Islam setelah beliau wafat.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟

“Dari Abu Said al-Khudri RA bahwa Nabi SAW bersabda, “Kalian pasti akan mengikuti pola orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa, bahkan jika mereka masuk lubang biawak, kalian juga akan memasukinya.” Kami (para sahabat) berkata, “(Mereka itu) Yahudi dan Nasrani?” Nabi SAW menjawab, “Siapa lagi?”[27]

Perjuangan politik Islam bukanlah pengecualian dari sunnatullah. Kewaspadaan terhadap potensi penyimpangan amat perlu dimiliki oleh semua orang yang sedang berjihad politik. Tidak ada jaminan bahwa setiap orang yang mengangkat bendera Islam akan terbebas dari fitnah dunia. Karena itu penting selalu disadari bahwa hal-hal seperti cinta dunia, ambisi jabatan, mementingkan kepentingan pribadi, mengejar popularitas, mengikuti hawa nafsu, mendekati yang syubhat dan seterusnya adalah hal-hal yang harus dijauhi agar perjuangan politik tetap pada relnya yang lurus.

Bahkan Nabi SAW juga mengabarkan bahwa kehancuran akan menimpa umat ini meskipun orang-orang shalih masih banyak. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa istri Rasulullah SAW Zainab binti Jahsy bertanya kepada Nabi SAW, “Apakah kita akan binasa padahal di tengah-tengah kita ada orang-orang shalih?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya, jika kebusukan sudah terlalu banyak.”[28]

Relativitas dalam Dunia Politik

Pertarungan antara hak dan batil, kebenaran dan keburukan, keislaman dan kekufuran, keimanan dan kemunafikan adalah sunnatullah yang akan terus ada. Akan tetapi realita sosial politik tidak selalu menampilkan pola dikotomis hitam putih seperti itu.

Al-Qur’an juga menggambarkan hal-hal seperti itu, misalnya dalam surat Ali Imran Allah bersabda:

{لَيْسُوا سَوَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ . يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَأُولَئِكَ مِنَ الصَّالِحِينَ} آل عمران:  113-114

“Mereka (Ahlul Kitab) itu tidaklah sama. Di antara Ahlul Kitab ada segolongan orang-orang yang bangun membaca ayat-ayat Allah di tengah malam dalam keadaan bersujud. Mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhir, memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari yang buruk, dan bersegera dalam kebaikan. Dan mereka termasuk orang-orang shalih.” (QS Ali Imran: 113-114)

Meskipun al-Qur’an banyak menceritakan kesesatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Ahlil Kitab baik Yahudi maupun Nasrani, akan tetapi al-Qur’an juga tidak menafikan adanya orang-orang shalih di antara mereka.

Kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW, Allah juga mengabarkan bahwa tidak semua orang yang tidak atau belum bergabung dengan barisan mereka harus dimusuhi dan diperangi. Allah berfirman di surat an-Nisa:

{إِلَّا الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ أَوْ جَاءُوكُمْ حَصِرَتْ صُدُورُهُمْ أَنْ يُقَاتِلُوكُمْ أَوْ يُقَاتِلُوا قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلًا} النساء: ٩٠

“…kecuali orang-orang yang menjalin hubungan dengan kaum memiliki perjanjian dengan kalian, atau mereka datang dalam keadaan enggan untuk memerangi kalian atau memerangi kaum mereka. Jika Allah berkehendak, Allah bisa menjadikan mereka menguasai kalian, dan memerangi kalian. Maka jika mereka menjauhi kalian dan tidak memerangi kalian, dan memberikan perdamaian terhadap kalian, maka Allah tidak memberikan jalan bagi kalian untuk (memerangi) mereka.” (QS an-Nisa: 90)

Dengan demikian dapat ditangkap dengan jelas bahwa al-Qur’an mengajarkan kepada kita untuk selalu proporsional dalam bersikap terhadap orang lain. Dikotomi hitam putih tidak selalu dapat dipakai untuk menilai realitas manusia, meskipun seluruh isi al-Qur’an adalah penjelasan dan perincian tentang kebaikan dan keburukan, iman dan kufur, surga dan neraka.

Bahkan seorang yang sangat baik dan bertakwapun bukan berarti selalu jauh dari perbuatan buruk. Seorang sahabat Nabi seperti Abu Dzar al-Ghifari yang sangat tinggi kualitas keimanannya, sehingga Rasulullah SAW memujinya dengan sabdanya: “Langit tidak menaungi dan bumi tidak memikul orang yang lebih jujur dari pada Abu Dzar.”[29]Tetapi pada kesempatan lain ketika beliau bertengkar dengan Bilal bin Rabah sampai menghina beliau dengan kata-kata yang tidak pantas, Rasulullah SAW langsung menegur dan berkata kepadanya, “Engkau memiliki sifat jahilyah.”[30]Kebaikan seseorang tidak menafikan bahwa dia mungkin berbuat salah. Dan kesalahan seseorang juga tidak dapat menafikan kebaikannya yang lain yang mungkin lebih banyak.

Jika dalam kehidupan sehari-hari banyak hal-hal yang harus dipahami dan disikapi secara relatif, maka dalam kehidupan politik hal seperti itu lebih diperlukan lagi, karena politik selalu berkaitan dengan kondisi majemuk, kompleks, dinamis dan cepat berubah. Keterampilan untuk memahami dan menyikapi berbagai hal secara relatif adalah syarat untuk dapat bijak dan tepat dalam menangani persoalan-persoalan di dunia politik.

Akan tetapi hal itu tidak menyebabkan segala sesuatu dalam politik Islam menjadi serba tidak pasti dan serba bisa ditawar-tawar. Prinsip-prinsip dasar keimanan, menjunjung tinggi akhlak, keadilan dan hukum-hukum agama yang muhkamat, semuanya adalah wilayah yang tidak boleh ditawar (Tsawabit). Relativitas dalam Islam tidaklah mutlak, karena banyak nilai kebenaran absolut yang tidak boleh dipertentangkan, bahkan wajib dibela dan diperjuangkan.

Antara Formalitas dan Substansi

Di antara point penting dalam perjuangan politik Islam adalah kesungguhan dalam memperjuangkan esensi kebaikan dan tidak terjebak dalam formalitas yang semu. Seringkali para politisi terpaku pada panggung prestasi formal tetapi kurang atau bahkan tidak intens sama sekali mengusahakan esensi kebijakan-kebijakan dan aksi-aksi politik.

Ada dua hal yang penting dicermati dalam masalah ketidaksinkronan antara formalitas dan substansi:

Yang pertama keseimbangan antara formalitas prosedural dengan substansi keadilan. Sering terjadi dunia politik hanya memperhatikan formalitas hukum dan prosedur, dan tidak memperjuangkan substansi keadilan yang sebenarnya menjadi maksud dan tujuan dari hukum, peraturan dan prosedur yang dibuat. Betapa seringnya hukum, peraturan dan prosedur disiasati untuk kepentingan tertentu. Sejatinya semua ketentuan hukum dan prosedur resmi dibuat untuk kepentingan umum, dan itulah yang mesti selalu diperjuangkan dan dipertahankan melalui jihad siyasi.

Yang kedua adalah kesinkronan antara formalitas kelembagaan dengan substansi perjuangan Islam. Pada hakikatnya lembaga keislaman manapun adalah sarana (wasilah) untuk memperjuangkan Islam. Tetapi sering terjadi lembaga-lembaga Islam terjebak formalitas perjuangan, dan dengan sadar atau tidak, justru malah mengorbankan substansi yang diperjuangkan. Tidak selalu formalitas berhadapan secara kontradiktif. Yang perlu dijaga adalah jangan sampai substansi perjuangan menjadi hilang karena formalitas biasanya lebih mudah dilihat dan sering juga lebih menguntungkan sebagian pihak. Seringkali karena substansi perjuangan adalah sesuatu yang abstrak dan sulit, maka formalitas kelembagaan menjadi dominan dan menutupi substansi yang diperjuangkan. Dalam kondisi seperti itu diperlukan ketajaman mata hati, ketulusan dan komitmen yang kuat untuk tetap memperjuangkan substansi kebenaran yang sejati.

Wallahul musta’an.

(SCC / dakwatuna / hdn)


Catatan Kaki:

[1] Al-Ahkam as-Sulthaniyyah hal. 3.

[2] Majmu’ al-Fatawa 28/62-63, lihat juga Majmu’ al-Fatawa 28/145-146

[3] HR al-Bukhari 16/461 no. 4952, dan Muslim 4/359 no. 1435

[4] Tarikh at-Thabary 3/34

[5] Diriwayatkan oleh ad-Darimy dalam “Sunan”-nya (1/91 no. 251)

[6] As-Siyasah as-Syar’iyyah hal. 136-137

[7] HR al-Bukhari (22/55 no. 6613) dan Muslim (8/453 no. 3120)

[8] HR al-Bukhari (22/59 no. 6615)

[9] HR al-Bukhari (22/60 no. 6616) dan Muslim (9/344 no. 3402)

[10] HR Muslim (9/347 no. 3404)

[11] HR Abu Daud, An-Nasa’i, al-Hakim dalam al-Mustadrak, beliau berkata, “Hadits ini shahih berdasarkan syarat Imam Muslim.” Dishahihkan juga oleh al-‘Ijluni, Ibnu Abdul Hadi al-Hanbali, at-Tibrizi, dan al-Albani.

[12] Sunan Abi Daud 8/262 no. 2631

[13] Musnad Ahmad 36/335 no. 17235

[14] As-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi (6 no.1054)

[15] Ma’rifatus Sunan wal Atsar karya al-Baihaqi (11/169 no. 4243)

[16] Ibid 11/167 no. 4244

[17] Jami’ul Ahadits 28/279 no. 31304, Fadha’il Shahabah karya ad-Daruquthni 1/21, Tarikh Dimasyq 44/343, Kanzul Ummal 35822.

[18] HR al-Bukhary 11/294 no. 3216, dan Muslim 9/54 no. 3196

[19] Hilyatul Auliya, karya Abu Nu’aim al-Ashfahani 4/140

[20] HR al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman: 2/308 no. 764

[21] HR al-Bukhari 1/103 no. 57

[22] Mushannaf Abdirrazzaq 11/336 no. 20701.

[23] Ar-Rahiq al-Makhtum 33/149, al-Mawahib al-Laudunniyyah bil Minah al-Muhammadiyyah 2/114-115

[24] HR al-Bukhari 10/25 no. 2681

[25] HR an-Nasa’i (10/262 no. 3128), Ahmad (44/207 no. 20738), al-Hakim (6/116 no. 2464)

[26] Kanzul Ummal no. 6017

[27] HR al-Bukhari 22/298 no. 6775

[28] HR al-Bukhari (11/133 no. 3097) dan Muslim (14/48 no. 5128)

[29] HR at-Turmudzi (12/279 no. 3737), Ibnu Majah (1/181 no. 152) dan Ahmad (13/270 no. 6232)

[30] HR al-Bukhari (1/52 no. 29) dan Muslim (8/479 no. 3139)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Tim dakwatuna adalah tim redaksi yang mengelola dakwatuna.com. Mereka terdiri dari dewan redaksi dan redaktur pelaksana dakwatuna.com

Lihat Juga

Fintech Bagi Muslim

Figure
Organization