Topic
Home / Pemuda / Essay / Jangan Tanya, Mengapa?

Jangan Tanya, Mengapa?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (ummunashrullah.blogspot.com)
Ilustrasi. (ummunashrullah.blogspot.com)

dakwatuna.com – Hari ini hari Ahad, kemarin Sabtu. Di tengah padatnya jadwal kerja Senin-Jum’at, Sabtu-Ahad adalah dua hari yang selalu kutunggu. Jangan tanya, mengapa? Sabtu-Ahad adalah saatnya aku dibina dan membina, tarbiyah. Karena tarbiyah adalah sebuah keniscayaan, karena tarbiyah adalah cinta, karena tarbiyah adalah proses belajar yang menjadi nafas kehidupan.

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (Al-Baqarah: 151)

Sabtu itu (28/9) jam 6 pagi saat teman-teman kost masih asyik dengan bantal dan kasurnya aku sudah kembali penutup pintu dari luar. Aku diamanahi untuk mendampingi adik-adik ADK dalam agenda tatsqif. Pada malam harinya aku menyiapkan 2 kencleng untuk dibawa saat tatsqif. Jam 6 aku tiba di masjid IKU, di sana sudah hadir 3 panitia ikhwan dan pemateri. Sebenarnya aku pun mempunyai 2 partner akhwat sebagai panitia, tapi mereka punya agenda yang tidak bisa ditinggalkan. Aku berikan 2 kencleng tadi kepada panitia ikhwan, seraya dengan itu aku pergi lagi membeli konsumsi untuk pemateri.

Sesampainya di toko makanan ringan ternyata masih tutup. Setelah menunggu beberapa saat sang empunya toko pun datang. Aku memilih beberapa menu kue basah dan memasukannya ke dalam kotak berwarna ungu. Sebenarnya melakukan hal ini sangat tidak mewakili diriku, nggak gue banget. Aku pun beranjak meninggalkan toko, namun tiba-tiba sesaat setelah menyalakan motor dan akan berbelok aku terguling. Alhamdulillah, ada beberapa tukang ojeg yang membantuku.

Snack untuk pemateri aku serahkan ke panitia ikhwan, aku melengos untuk shalat Dhuha di kost salah seorang senior. Alhamdulillah, di sana aku disuguhi sarapan berlauk tempe. Selesai shalat Dhuha aku kembali ke masjid dan acara tatsqif sudah selesai. Aku ambil kencleng dan absensi, kemudian aku menyimpannya di kostan.

Sepertinya aku harus cuci muka, tidur tadi malam yang hanya 4 jam ternyata membuat sedikit kembung kantung mataku. Ya, tadi malam sekitar jam 9 ada sms dari seorang adik akhwat di LDK agar aku bisa menjadi pemateri pada acara Open House untuk season “Alumni Berbicara”. Setelah meminta izin kepada murabbi dan koordinasi terkait waktu dan tor, aku fix mengisi jam 9 pagi. Selesai cuci muka aku bertolak ke kampus menuju tempat acara. Mengenakan sandal gunung, rok hitam agak ngatung, kaos oblong berwarna putih dibalut kemeja kotak-kotak warna hijau tanpa kancing lalu ditutup juga dengan kerudung warna hijau.

Style seperti itu memang kurang lazim jika dibandingkan dengan akhwat-akhwat lain yang cenderung lebih girly dengan berbagai aksesori dan paduan warna yang mereka kenakan. Tapi, alhamdulillah akhwat-akhwat memahami karakterku dan style-ku yang agak “nyeleneh” ini. Jangan tanya, mengapa?

Open House selesai sekitar pukul 10.20, panitia membekaliku sebungkus parcel. Tadinya aku menolak dan menyarankan untuk panitia saja, tapi mereka memasukannya ke dalam tasku. Tak lama setelah itu aku sudah duduk di masjid kampus untuk mengisi halaqah kelompok 1 yang dijadwalkan pukul 10.30 dengan 9 orang mutarabbi. Halaqah dibuka dengan kehadiran 3 orang, karena ada yang masih kuliah. Seiring berjalannya waktu alhamdulillah ke-9 orang tersebut hadir 8 orang.

Materi dan diskusi masih berlanjut setelah adzan Zhuhur berkumandang. Baru setelah selesai adzan halaqah pun ditutup. Kami beranjak untuk shalat Zhuhur. Belum aku selesai shalat, ada salah seorang akhwat yang duduk di belakangku. Baru setelah shalat dia langsung menyapa, “teh sifat ya? Saya ****** teh, pengen cerita bla, bla, bla…”. Setelah mendengar curhatan akhwat tadi, lanjut sharing dan aku merasakan perutku agak lapar.

Akhirnya Mie ayam pun menjawab keroncongan perutku.

Sudah agak sore aku beranjak ke kostan. Setelah Maghrib adik ADK menelepon untuk membawa “ujang” (nama motor) ke tempat Daurah Ijtimaiyah. Hingga larut malam sekitar pukul setengah dua belas aku masih melayani beberapa alumni akhwat yang memesan kaos dan aku sampaikan ke pihak konfeksi.

Jam 6 hari ahadnya aku sudah pula beranjak dari kostan untuk halaqah. Dengan setengah berlari karena khawatir telat, akhirnya aku sampai di rumah murabbi 10 menit lebih awal. Sembari mendengarkan materi, aku sambil curi-curi sms ke mutarabbi. Karena waktu sudah menunjukkan jam 8, dan pada jam itu adalah waktu aku mengisi halaqah di kelompok ke 2.”De, afwan ya teh ada halaqah dulu. Mangga kalo uda kumpul dimulai saja.” Aku mau minta izin tapi ada perasaan sungkan, sampai akhirnya murabbiku ngeh dan mempersilakan aku pulang duluan. Di perjalanan mutarabbiku sms, “Aslm,tth diantos :)”.

Dengan berlari, aku berharap tubuhku tiba lebih cepat dari waktu yang ku gunakan untuk berlari. Sesampainya di tempat halaqah, di rumah salah seorang mutarabbi yang tengah diuji sakit. Melihat senyum-senyum tulus mereka sama dengan menghilangkan segala rasa yang ada padaku; lelah, ngantuk karena kurang tidur dan sebagainya.

Pada kesempatan 2 agenda halaqahku pagi itu aku menyelipkan salah satu pesan dari KH. Rahmat Abdullah yang membuatku terenyuh:

“Aku rindu zaman ketika halaqah adalah keperluan, bukan sekadar sambilan apalagi hiburan.

Aku rindu zaman ketika membina adalah kewajiban, bukan pilihan apalagi beban dan paksaan.

Aku rindu zaman ketika daurah menjadi kebiasaan, bukan sekadar pelengkap pengisi program yang dipaksakan.

Aku rindu zaman ketika tsiqah menjadi kekuatan, bukan keraguan apalagi kecurigaan.

Aku rindu zaman ketika tarbiyah adalah pengorbanan, bukan tuntutan, hujatan dan obyekan.

Aku rindu zaman ketika nasihat menjadi kesenangan bukan su’udzan atau menjatuhkan.

Aku rindu zaman ketika semua memberikan segalanya untuk dakwah ini…

Aku rindu zaman ketika nasyid ghuraba menjadi lagu kebangsaan.

Aku rindu zaman ketika hadir liqa adalah kerinduan dan datang terlambat adalah kelalaian…

Aku rindu zaman ketika malam gerimis pergi ke puncak mengisi daurah dengan uang yang cukup dan peta tak jelas.

Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah benar-benar berjalan kaki 2 jam di malam buta sepulang tabligh dakwah di desa sebelah.

Aku rindu zaman ketika pergi liqa selalu membawa infak, alat tulis, buku catatan, al-Quran terjemah dan ditambah sedikit hafalan.

Aku rindu zaman ketika binaan menangis karena tak bisa hadir liqa.

Aku rindu zaman ketika tengah malam pintu diketuk untuk mendapat berita kumpul di subuh harinya.

Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah berangkat liqa dengan uang belanja esok hari untuk keluarganya.

Aku rindu zaman ketika seorang murabbi sakit dan harus dirawat, para binaan patungan mengumpulkan dana apa adanya.

Aku rindu zaman itu…Ya Rabb

Jangan kau buang kenikmatan berdakwah dari hati-hati kami Ya Rabb…

Berikanlah kami keistiqamahan di jalan dakwah ini…“

Ya, sekitar jam 11 selesailah halaqah dengan diskusi yang cukup atraktif dari adik-adikku. Aku berwudhu kemudian pamit, aku bersama satu orang adik beranjak menuju tempat Daurah Ijtimaiyah yang memakan waktu hampir 1 jam. Udara dingin nan di salah satu dataran tinggi di Bandung itu menyambut kedatangan kami. Hanya sekitar 1 jam aku menengok para pengurus ADK yang sedang melaksanakan pengabdian masyarakat di sana. Karena teman-teman se halaqah dan alumni lain tidak bisa menengok, jadi aku menyempatkan walau hanya1 jam.

Pukul 13.04 aku diantar adik pulang, hanya sampai jalan raya yang terlewati angkot. Adikku menawarkan untuk mengantarkanku sampai ke kampus tapi aku menolaknya dengan halus. Aku tahu dia akan silaturahim ke rumah ayahnya yang tempatnya tak jauh dari tempat kami berpisah. Padahal saat itu uang yang ada di dalam tasku hanya Rp. 1.700. Jangan tanya, mengapa?

”Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 111)

Dompetku hilang (entah jatuh/ada yang ngambil) sekitar 3 pekan yang lalu. Jadi ketika perlu uang harus mengambil cash ke bank, sedangkan jam kerja bank sama dengan jam kerjaku.

Karena aku tak ingin merepotkan adikku, aku memintanya untuk turun di depan PO Gunung Sembung dan aku bilang akan menunggu angkot saja. Setelah aku melihat adikku pergi agak jauh, barulah aku mulai berjalan. Hari cukup panas, ditambah polusi kota Bandung yang seringkali membuat sesak menemani perjalananku. Di tengah perjalanan aduhaaai aku tergoda banyaknya jajaran-jajaran makanan kesukaanku, bakso. Bahkan di beberapa tempat aromanya membuat liurku lumer dan dinding perutku seperti beradu dengan segala yang ada di dalamnya.

Selain tak membawa uang, hari ahad pun adalah jadwalku shaum Daud belum lagi mengejar waktu yang sudah mendekati pukul. 15 00 yang itu artinya waktu untuk mengisi kelompok halaqahku yang ke-3. Selain bakso aku juga menemui beberapa makanan yang sedikit menggoda; juz, mie dingin dan mie kocok kaki sapi di tengah terik panas dan perut lapar. Jangan tanya, mengapa?

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan ringan maupun berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (At Taubah: 41).

Akhirnya aku berjalan cukup jauh hingga perkiraan uang Rp. 1.700 mencukupiku tiba di kampus. Aku berjalan sampai Griya Ujung Berung. Lumayan oge, gempooor. hehe…

Kelompok yang ke-3 ini unik, karena hampir semua bukan rekomendasi dari jamaah tapi mereka-mereka yang terkadang menyengaja curhat dan akhirnya ”kepincut” insya Allah dalam kebaikan. Sore itu yang hadir hanya 2 dari 7 orang, ada yang mudik, ppl dan urusan keluarga. Tapi semangat dua orang ini jugalah yang membuat aku kembali bersemangat.

Ya, jangan tanya mengapa? Karena ini adalah duniaku. Aku menikmati dan mensyukurinya. Dibina dan membina adalah sebuah keniscayaan. Aku menyadari, sebagai manusia aku memiliki banyak dosa yang tak terbayar bertumpuk-tumpuk; kemaksiatan, dusta, hasad, dan penyakit hati lainnya. Aku menyadari betul hal itu, di tengah bertumpuknya dosa itulah aku belajar untuk memperbaiki diri. Perlahan aku semakin menemukan titik-titik lemah yang membuatku melakukan dosa. Titik-titik itu aku temukan seringkali dari curhatan-curhatan mutarabbi. Dan aku menyadari lewat sanalah Allah mengingatkan akan dosa-dosa yang aku lakukan. Curhatan-curhatan mutarabbi adalah cermin dan juga tamparan yang mengharuskan aku mengikis sedikit demi sedikit dosa yang menggunung “di sini”.

Semoga apa yang terjadi merupakan kesempatan yang Allah berikan agar aku semakin memperbaiki diri. “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling Baik.” (QS. Al. Mu’minuun: 109). Aamiin.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Aktif di Lembaga Dakwah Mahasiswa UIN SGD Bandung dan KAMMI UIN SGD Bandung, Lembaga Pers Mahasiswa, kuliah Jurusan Jurnalistik 2009, aktif menulis juga di koran nasional Media Indonesia, anak ketiga dari tiga bersaudara, asal Ciamis Jawa Barat.

Lihat Juga

Liqa Itu Penting

Figure
Organization