Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Sang Mahaguru

Sang Mahaguru

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Kali Ini, aku akan menyampaikan sebuah kisah masa lalu tentang seorang maha guru yang menurut penilaianku telah berhasil dalam menanamkan filosofi hidup dan memberikan keteladanan kepada generasi penerusnya.

Beliau bukanlah lulusan pendidikan tinggi, pendidikan terakhir yang ditempuhnya hanyalah sampai tingkat Sekolah Pendidikan Guru (SPG), namun karena tak ada jodoh beliau tak sampai menjadi seorang guru. Akan tetapi, semangat juangnya lebih dari seorang sarjana. Strategi pendidikannya dalam menanamkan filosofi hidup lebih dari seorang guru. Tekadnya dalam memegang komitmen dapat dibilang luar biasa. Kekuatan spiritualnya memberikan dorongan yang dahsyat dalam mengubah setiap keadaan yang dialami. Beliau adalah ayahku, seorang anak desa yang telah diberi beban menanggung kehidupan ibu dan adik-adiknya, ketika beliau masih berusia 12 tahun.

Sejak usia 12 tahun, ayahku memulai meniti kehidupan untuk menafkahi ibu dan adik-adiknya yang belum memiliki keterampilan bekerja. Beliau memulai dengan membangun bisnis kecil-kecilan, berjualan di pasar pada pagi hari dan pada sore harinya mencari kayu bakar ke hutan. Kayu-kayu bakar yang beliau cari itu dikumpulkan, dan jika telah banyak dijualnya ke pasar. Dari hasil usahanya itu sebagian dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sementara sebagian lainnya digunakan untuk keperluan sekolah dirinya dan adik-adiknya. Hal ini beliau lakukan sampai usianya menginjak 18 tahun.

Pada usia 18 tahun, sebagai pemuda desa, ayahku menikahi seorang gadis yang baru berumur 14 tahun. Gadis itu baru tamat Sekolah Menengah Atas (SMA). Tidak memiliki keterampilan juga sangat lugu dan polos. Pola hidupnya sangat berbeda dengan ayahku, ia berasal dari keluarga yang dibilang berkecukupan, sehingga cara berpikir dan sikapnya dalam menghadapi kehidupan sangat berbeda jauh.

Ayahku seorang pekerja keras, gemar berpuasa, hemat dan pantang menyerah. Sementara ibuku di awal pernikahannya dengan ayahku adalah seorang gadis yang manja, mudah berputus asa dan sangat sensitif perasaannya, maklum beliau adalah anak bungsu dari saudara-saudaranya. Seringkali ibuku merasa tertekan batinnya ketika harus mengimbangi pola hidup ayahku. Akan tetapi, kekuatan motivasi yang diembuskan ayahku padanya membuat ibuku akhirnya dapat mengimbangi pola hidupnya sebagai pekerja keras, melaksanakan shalat dengan tepat waktu, dan pantang menyerah.

Ada satu hal yang menarik perhatianku saat aku masih berusia kurang lebih 5 tahun. Saat itu, ibuku dilatih oleh ayahku berkeliling desa membeli beras-beras warga desa dengan menggunakan sepeda, kemudian setelah berasnya terkumpul ayahku menjualnya ke pengumpul-pengumpul besar dan juga bertani di sawah. Ibuku bingung harus bagaimana, karena saat itu baru pertama kali melakukan hal yang sama sekali tidak pernah dialaminya. Aku dapat melihat kegelisahan di wajah ibuku. Namun akhirnya beliau berangkat juga berkeliling desa, membeli beras-beras warga yang berniat menjual berasnya. Tantangan paling besar yang dirasakan ibuku saat itu adalah rasa MALU. Inilah tantangan terbesar yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan seseorang gagal dalam melangkah.

Pagi sampai siang hari, ibuku berkeliling membeli beras-beras warga pada waktu itu. Selepas pukul 11.00 ibuku pulang ke rumah. Namun beliau tidak berhasil mengumpulkan beras dalam jumlah yang banyak. Ibuku hampir berputus asa, beliau berkata tidak mau lagi berkeliling desa esok harinya. Ayahku menghiburnya dengan bercanda bersama dan memasakkan makanan yang lezat untuk kami. Oh iya satu lagi keterampilan yang dimiliki oleh ayahku yaitu beliau sangat ahli dalam memasak. Demikianlah strategi yang dilakukan ayahku pada ibuku saat awal-awal menanamkan jiwa-jiwa kewirausahaan.

Lama-lama, ibuku mulai merasakan kebahagiaan mendapat keuntungan dari hasil usahanya itu, dan lagi-lagi ayahku tidak meminta hasil kerja ibu. Hanya saja beliau menyarankan kepada ibu, agar sebagian dari hasil usahanya itu digunakan untuk menambah modal usaha. Pemenuhan kebutuhan keluarga tetap ditanggung oleh ayah.

Karena filosofi yang dipegang oleh ayahku adalah, bahwa kerja keras itu harus di imbangi dengan kekuatan doa, dan doa itu akan mustajab jika kita tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Ibuku merasakan hal yang baru lagi, kadang beliau harus meninggalkan urusan niaganya untuk melaksanakan shalat lima waktu. Begitupun jika beliau sedang berada dijalan maka beliau akan segera menyegerakan melaksanakan shalat lima waktu di masjid-masjid terdekat. Setelah beberapa tahun kemudian, ayahku memutuskan untuk berdagang di rumah saja, karena kasihan pada ibu yang kadang lelah mengayuh sepedanya untuk membeli beras-beras warga. Kini ibuku diajari untuk menjual beras yang berhasil dikumpulkannya itu dan menata beras-beras itu di rumah. Apalagi saat itu, ibuku mulai mengandung adikku.

Suatu hari ayahku menguji ibu untuk tidak berdagang beras lagi. Akan tetapi, ibu terlanjur mencintai pekerjaannya. Ayahku telah berhasil mengubah sikap dan pola pikir seorang gadis manja, yang tak mempunyai keterampilan, dan pemalu menjadi wiraniaga yang mencintai pekerjaannya. Mengapa demikian? Karena ibuku telah merasakan dan mengenyam manisnya hasil kerja keras dari keringatnya sendiri.

Kepada anak-anaknya, ayahku juga mendidik jiwa kewirausahaan ini. Ya, karena memang kami kebetulan bernasib kurang baik secara ekonomi pada saat itu. Meskipun demikian ayahku tak pernah benar-benar menyuruh kami bekerja, karena ayah sadar bahwa tugas kami adalah sekolah. Ayahku selalu memberikan barang-barang monumental, seperti sepeda, lemari dan benda-benda lain yang tampak setiap harinya jika aku berhasil mendapat juara. Tujuannya adalah untuk memberikan motivasi agar lebih berprestasi baik untukku juga adikku. Ternyata benar apa yang dilakukan ayahku, adikku pun terpacu semangatnya mengikuti jejakku dengan melihat benda-benda monumental itu.

Ketika aku masuk SMA, ayahku membangun warung kelontongan untuk mengembangkan usaha ibuku. Kali ini warung yang ayah bangun agak lebih besar karena sudah mulai dipercaya oleh para pemasok barang. Ayahku menggunakan sistem konsinyasi sehingga kerugian dapat ditekan. Aku dan adikku secara bergantian mengelola warung ibu sepulang dari sekolah. Sementara itu, selain membuka warung, ayahku juga mengelola sawah yang beliau beli dari hasil usaha bisnisnya itu. Hasil sawah digunakan untuk membiayai sekolah kami dan memupuk modal, sementara hasil dagang digunakan untuk biaya operasional hidup harian kami.

Demikianlah yang kami lakukan sambil bersekolah. Kadang aku harus mengorbankan waktu bermain bersama teman-temanku hanya untuk membantu pekerjaan ibuku. Dalam hati ada juga perasaan jengkel dan kesal. Tapi situasi ini harus aku jalani. Ternyata, setelah dewasa aku menyadari bahwa ayahku sedang membuat aku menjadi makhluk yang mandiri.

Meskipun usaha ayahku semakin maju, prinsip mengencangkan ikat pinggang tetap dipertahankan. Sambil bekerja keras, kami juga tetap diajarkan nilai-nilai agama. Hal ini disebabkan oleh filosofi ayahku, bahwa untuk berhasil kita harus bekerja keras secara material dan bekerja keras secara spiritual. Yang aku saluti adalah kepemimpinan beliau diikuti oleh seluruh anggota keluarganya, tak ada yang protes secara membabi buta atau mencuri-curi kelalaian ayah untuk tidak melaksanakan apa yang diajarkan oleh ayah.

Ayahku memberikan kebebasan kepada anak-anaknya dalam menggunakan uang. Uang tidak pernah ditakar dan dialas, kami bebas mengambil uang sendiri dari laci yang tidak suka dikunci dari jangkauan anak-anaknya, tetapi kami diberi rambu-rambu. Uang hanya dapat digunakan untuk urusan sekolah, lain dari itu tidak bisa. ”Bila kamu menggunakan uang untuk urusan-urusan lain yang bukan urusan sekolah, bukan dari situ. Kamu harus mencari sendiri kalau untuk urusan sekolah, ambillah seperlunya, ”demikian kata ayahku. Beliau juga menambahkan, ”Bila kamu boros dan tidak jujur dalam menggunakan uang yang kamu ambil dari laci, berarti kamu mengajak kita semua bangkrut dan menjadi orang yang menderita bersama.” kata-kata itu selalu terngiang di telinga kami, anak-anak beliau. Dengan demikian kami tidak pernah berani menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan ayah.

Ayahku memiliki komitmen yang kuat ketika akan mencapai suatu cita-cita. Jika cita-cita itu belum terlaksana, beliau selalu mengerahkan berbagai potensi yang ada, termasuk yang di dalamnya kekuatan spiritual kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Selain itu, beliau juga mengesampingkan keinginan-keinginan lainnya mendukung terhadap pencapaian cita-cita. Semua itu didukung oleh ibuku secara total.

Satu prinsip lain yang dipegang ayahku adalah anti berbelanja barang konsumtif semata. Bila ia membeli barang, selalu dipikirkan produktivitasnya. Bila tidak memiliki nilai produktivitas, barang itu tidak akan dibelinya. Ayahku juga tidak hanya berbicara dan menyuruh, tetapi beliau menjadi model langsung, sehingga kami dapat mengikuti gagasan-gagasan yang dilontarkannya dengan mudah.

Kini ayahku dapat mencapai tujuannya, menyekolahkan kedua anaknya menjadi sarjana dan tidak menggantungkan dirinya pada anak, meskipun anaknya telah bekerja. Pesan yang selalu dinasihatkan kepada kami adalah selalu menjaga persatuan di antara saudara, sebab hanya dengan bersatu kekuatan dan kesejahteraan bersama dapat dibangun. Jangan sampai ada yang merasa terkalahkan atau ada yang merasa dirugikan. Hal ini akan menyebabkan semangat kebersamaan.

Sebagai anak yang dibesarkan dalam lembaga pendidikan hidup, yang cukup menantang itu, tentu aku sangat bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada sang mahaguru, ayahku sendiri. Semoga Allah menempatkan beliau kelak di Surga yang penuh kenikmatan. Semoga proses pendidikan yang dilakukannya menjadi spirit bagi siapa pun yang terilhami dengan kisah ini.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Guru Model SGI Dompet Dhuafa.
Figure
Organization