Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Cinta di Ujung Kehidupan

Cinta di Ujung Kehidupan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (mungkasmks.blogspot.com)
Ilustrasi. (mungkasmks.blogspot.com)

dakwatuna.com – Sayup-sayup terdengar suara tadarusan di Masjid depan rumah selepas subuh. Angin berhembus menggoyangkan pepohonan penuh dengan irama. Seperti biasanya, Ara setiap ba’da subuh merutinkan tilawah dan dzikir al-Ma’tsurat. Begitupun dengan pagi ini. Setelah tilawah dan dzikir, sejenak Ara merebahkan badan. Dibawanya hp yang dia simpan di samping kanan bantal. Terlihat Ara mengetik sms kemudian dikirimnya. Tak lama, Ara pun kembali mengetik sms, tapi kali ini dia simpan di draft hp. Sejenak, Ara terdiam. Pikirannya melayang memasuki lorong-lorong memori beberapa bulan yang lalu.

***

“Ra, dah siap nikah belum?” Tanya Siska sahabatnya di serambi Masjid kampus

“Kok tiba-tiba tanya gitu? Emangnya kenapa, Ka?” Jawab Ara

“Pokoknya jawab dulu!” Paksa Siska

“Emm… ya siap ga siap kalo memang sudah waktunya dan sudah ada jodohnya ya harus siap dong.” Tegas Ara

“Emangnya apaan sih?” Lanjut Ara penasaran

“Okey. Jadi gini, Ra. To the point aja ya. Aku kan punya kakak kelas sewaktu di SMA. Saudara jauh juga sih. Nah, dia lagi nyari calon istri. Menurutmu gimana? Tanya Siska

“Ya cariin atuh, Ka. Kok ribet amat sih? Tawarin diri sendiri aja. Walaupun saudara jauh kan masih bisa nikah” Goda Ara dengan tawa kecil

“Eeehh… masalahnya dia maunya sama kamu, Ara.” Jelas Siska dengan mimik wajah serius

“Loh, kok ke Ara? Emangnya dia kenal Ara? Kan kita juga dulu beda SMA.” Tanya Ara penasaran

“Dia katanya pernah liat Ara saat acara silaturahim aktivis antara kampus sebulan kemarin. Percaya ga, Ra? Dia itu sudah tanya sana sini tentang kamu. Termasuk aku sebagai sahabatmu.”

***

Malam semakin larut, suara jangkrik seolah saling bersahutan. Memang, rumah Ara tepat bersebelahan dengan sawah. Tapi irama jangkrik itu tidak mampu memecah ruang pikirannya yang masih mengingat percakapannya dengan Siska siang tadi di Masjid kampus.

Ara gelisah, membayangkan kuliahnya yang masih akan dia jalani 2 tahun lagi harus terbagi dengan ikatan pernikahan. Ara gelisah karena target menikah dia rancang dalam mind mapping kehidupannya setelah lulus kuliah nanti. Ara meyakini bahwa komitmen itu harus dia pegang teguh. Sehingga dengan segera Ara putuskan untuk menolak orang yang kini berstatus dosen muda di kampusnya.

***

Pagi itu Ara duduk santai ditemani buku yang baru dibelinya seminggu yang lalu. Dosen Ilmu Faal yang seharusnya masuk pagi itu tidak datang karena menjalankan tugasnya ke luar kota. Ara yang berkuliah di Fakultas Psikologi memang belajar pula ilmu dasar kedokteran seperti Faal dan Genetika, karena itu berhubungan dengan masalah Psikologi Klinis.

“Cieee khusyu banget nih bacanya. Buku apaan sih?” Tanya Siska sambil menempelken tangannya di bahu Ara

“Ini novel Cleopatra.” Jawab Ara singkat tanpa memalingkan wajahnya pada Siska

“Oh yang Raihana itu y? Eh gimana Fadil? Kamu terima kan? Dia bilang kalau kamu terima, dia akan langsung ke rumah. Gimana? Mau ya?” Cecar Siska

Ara hanya menatap Siska sambil menarik nafas panjang dan menghembuskannya disertai senyuman. “Sudah Tanya nya?” Tanya Ara tertawa lepas

“Loh kok ketawa?” Siska bertanya sambil mengernyitkan dahi

“Kamu sih Tanya ya satu-satu” Jawab Ara

Di tengah candaan, tiba-tiba Siska terdiam karena menangkap sosok yang lewat di depan fakultasnya.

“Ra, itu Fadil. Aku panggil ya biar dia ke sini.”

“Jangan Ka. Jangan.” Cegah Ara

“Kenapa? Kan itu calon suamimu.” Tegas Siska

“Tidak, Ka. Aku belum siap.” Jawab Ara singkatembangunkan

“Kok plin plan sih, seminggu yang lalu kamu bilang kalau sudah datang jodohnya siap ga siap harus siap. Kok sekarang malah bilang gitu? Apa sudah ada calon lain?” Tanya Siska penuh curiga

“Tidak, Ka. Maksudku…” Ara seolah tidak mampu menjelaskan mengenai keputusannya itu.

***

Deringan panggilan telepon membangunkan Ara di tengah istirahat siangnya.

“Wa’alaikumsalam… Iya Ka, ada apa?” sahabatnya yang menelepon

“Aku udah bilang sama Kak Fadil tentang keputusanmu itu. Dia menerimanya dan masih akan menunggumu sampe kamu siap, Ra.” Jelas Siska. Ara hanya bisa terdiam dan menolak jika Kak Fadil menunggunya sampe siap.

“Tolong sampaikan ke Kak Fadil ya, Ka. Ara ga mau bebankan dia. Ara ga mau jadi penghalang jika dia memang sudah siap untuk menikah. Lagipula kan belum tentu juga jodoh, jadi kenapa mesti nunggu Ara?”

“Iya Ra, aku paham maksudmu. Iya nanti aku sampaikan.”

Kantuknya kini hilang, berganti dengan degupan kencang di dadanya. Tapi komitmennya untuk fokus kuliah kembali menguatkannya. Insya Allah, jika kita berjodoh pasti akan kembali dipertemukan. Batinnya.

***

Akan tetapi, komitmen itu seolah runtuh ketika tawaran untuk menikah datang uh. dari sosok Fadil melalui Siska.

Masih terngiang di benak Ara ketika Siska mempromosikan Fadil.

“Ra, Fadil itu sosok yang shalih, serba berkecukupan. Cukup rumah satu, mobil satu, anak ke satu dan adiknya pun satu. Insya Allah istrinya pun nanti cukup satu.” Jelas Siska sambil menggoda disertai tawa lepas.

Tapi bagi Ara, bukan itu yang jadi patokan. Yang penting shalih. Selebihnya hanyalah hadiah. Ara pun menggenapkan keyakinan itu dengan melakukan istikharah dan meminta pendapat dari orangtua lalu segera menyampaikan jawabannya pada Siska setelah dua pekan berlalu.

***

“Insya Allah Ara sudah mantap, Ka.” Ucap Ara dengan tegas

“Alhamdulillah, semoga Allah memudahkan prosesnya ya, Ra.” Sambut Siska dengan penuh semangat

Ara pun hanya bisa mengamini

***

Semua persiapan sebelum pernikahan sudah di tangani kedua keluarga mempelai. Hanya tinggal menunggu hari pernikahan pekan depan. Pertemuan antara Ara dan Fadil pun hanya dilakukan saat perkenalan dan lamaran saja. Jadi saat akad nikah mereka nanti, itulah pertemuannya yang ketiga. Pertemuan dalam ikatan yang suci.

Perasaan bahagia sekaligus cemas dirasakan Ara. Sosok calon suami yang Ara idamkan, akan benar-benar terwujud dalam hitungan hari. Naungan cinta pun menyelimuti hati Ara dan hanya bisa Ara lampiaskan dengan mengungkapkannya pada yang Maha Mendengar.

***

Mentari pagi menyapa dengan hangatnya, sehangat perasaan Ara. Saat menikmati teh hangatnya di serambi rumah, tiba-tiba terdengar bunyi sms masuk. “Ra, sehat? Sedang apa?”

Alhamdulillah. Sedang menikmati hangatnya pagi nih, Ka ^_^.” Balas Ara

Tak lama, Siska menelepon Ara dan mengabarkan tentang Fadil.

“Ra, Kak Fadil terkena serangan jantung” Ucap Siska mengabarkan dengan hati-hati

“Innalillah.. Kok bisa kena serangan jantung? Terus sekarang gimana? Di Rumah Sakit mana, Ka? Kak Fadil ditemani siapa?” Dengan nada panik, Ara mencecar pertanyaan yang membuat Siska menangis

“Ka, kok nangis?” Tanya Ara penasaran

***

Mentari itu kehilangan hangatnya. Kehangatannya berganti duka. Allah ternyata memiliki rencana yang lebih indah. Jauh lebih indah dari rencana hamba-Nya. Allah ternyata lebih mencintai Fadil hingga diambilnya tanpa sempat Ara miliki. Fadil meninggal karena serangan jantung sesaat sebelum berangkat kerja.

***

Hembusan angin masih menggoyangkan pepohonan penuh irama. Lamunan Ara pun terbuyarkan dengan bunyi sms masuk dari Siska. Siska membalas sms yang Ara kirimkan setelah tilawah dan dzikir tadi. Sedangkan sms Ara yang dia simpan di draft hp adalah sms yang ditujukan untuk Fadil. “Calon suamiku yang lebih Allah cintai, Ara mencintaimu hingga ujung kehidupanmu karena Allah… T_T”. Pesan yang tidak akan pernah sampai pada pemiliknya…

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Pengajar di Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa Angkatan 4.

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization