Topic
Home / Berita / Opini / Salafy Di Muhammadiyah, Ketika Kebersamaan Teruji

Salafy Di Muhammadiyah, Ketika Kebersamaan Teruji

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Ramadhan dan Hari Raya telah berlalu, namun ada sesuatu yang masih mengganjal pada komunitas Salafy dalam tubuh Muhammadiyah tentang perbedaan pandangan mengenai penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya. Komunitas Salafy yang agak moderat, yang selama ini relatif bisa nyambung dan bersinergi bersama komunitas lain di Muhammadiyah, bahkan keduanya lebih tampak identik dilihat dari luar. Hubungan yang terjalin lebih cenderung saling melengkapi, banyak merangkai suatu harmoni sekalipun sebenarnya juga terdapat perbedaan corak yang mendasar.

Pandangan keagamaan puritan keduanya dalam lingkup ibadah mahdhah memang sejalan. Namun Muhammadiyah juga mewarisi gagasan keagamaan modern dari Muhammad Abduh yang berpotensi menimbulkan friksi dengan pandangan Salafy yang tekstual. Dan potensi terjadinya friksi inilah yang mulai terkuak dari momentum dalam penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya.

Muhammadiyah mengetahui bahwa penentuan tanggal pada masa Rasulullah dengan memakai cara rukyatul hilal yang sangat sederhana. Namun Muhammadiyah memaknai melihat bulan dengan mata telanjang hanyalah sebuah sarana untuk menentukan tanggal, sesuai dengan kondisi umat waktu itu. Nilai-nilai modernitas yang diadopsi Muhammadiyah cenderung pada penggunaan hisab untuk penentuan kalender sesuai pada kondisi zaman sekarang. Sebagai analogi sederhana, fiqih sejak masa klasik menentukan status hukum khunsa melalui tempat keluarnya air kencing, sedang pada masa sekarang ketika ilmu kedokteran semakin maju, kasus khunsa ditentukan dengan tes DNA, hormon dan organ reproduksi, yang terkadang hasilnya berkebalikan dengan metode tempat keluarnya air kencing.

Seiring berlalunya zaman, persoalan penentuan kalender umat ini semakin komplek. Persoalan ini tidak sesederhana terlihatnya hilal atau sebatas ada saksi yang mengaku melihatnya, sebagaimana adanya pada masa Rasulullah. Ketika di zaman ini ilmu astronomi sudah sedemikian maju, tidak bisa menafikkan begitu saja ilmu hisab untuk menguji validitas terlihatnya hilal.

Juga tidak semudah menentukan definisi ulil amri yang berhak memutuskannya, tidak sesederhana ketika ada orang melihat hilal, otomatis tanggal ditetapkan. Di antara pemahaman seburuk apapun suatu pemerintahan zhalim, kaum muslimin tetap harus taat sepenuhnya selagi bukan diperintah untuk maksiat, dengan pandangan yang mendefinisikan ulil amri sebagai otoritas dalam bidangnya masing-masing termasuk ulama atau ormas, bukan monopoli pemerintah. Umat ini tidak lagi berada pada satu kepemimpinan yang otoritasnya diakui seluruh Umat Islam, termasuk persoalan memposisikan keberadaan ormas, persyarikatan, jamiyyah atau majelis keagamaan di antara beragamnya aliran, manhaj atau mazhab yang belum bisa dipertemukan. Juga sikap pada sebaik atau seburuk apapun suatu pemerintahan yang notabene adalah muslim, namun bagaimana bila menyangkut rezim boneka kaum kuffar sekalipun banyak memakai simbol-simbol Islam.

Ketika dahulu Umat Islam berada hanya dalam satu Daulah, terjadi perbedaan penentuan tanggal antara wilayah yang berbeda, antara Damaskus dan Madinah. Apakah sekarang dalam satu negara yang luas, penduduknya harus menentukan tanggal secara bersamaan, meski satu negara terdiri dari berbagai wilayah dengan kondisi astronomis, mathla’, dan zona waktu yang berbeda, perbedaan antara Papua dengan Aceh lebih besar dari perbedaan antara Damaskus dan Madinah. Atau dalam sebuah kawasan sempit yang terbagi menjadi banyak negara kecil seperti di kawasan Teluk, apakah akan menentukan tanggal sendiri-sendiri sementara kondisi astronomisnya hampir sama. Apakah terlihatnya hilal mengikat pada satu negara saja, atau wilayah lokal sejauh jarak qoshor shalat saja, ataukah berlaku bagi seluruh dunia di era teknologi informasi yang mengglobal ini.

Banyak lagi persoalan lain seperti pemahaman mengikuti waktu rangkaian pelaksanaan haji, dengan pemahaman mengikuti tanggal di negeri masing-masing. Misalnya apakah Negeri-negeri di Afrika harus menunda penetapan tanggal meski hilal telah terlihat dikarenakan di negeri tempat pelaksanaan haji hilal belum tampak dan tanggal belum ditetapkan. Ataukah sebaliknya, penetapan rangkaian ibadah haji menunggu penampakan hilal di negeri-negeri Afrika atau sebelah baratnya, jika di Arab Saudi hilal belum tampak.

Pilihan pada metode hisab hanyalah bagian kecil dari paradigma penerimaan nilai-nilai modernisme dalam keberagamaan. Dan ketika paradigma ini bersinggungan dengan berbagai paradigma lain, seperti konsep ulil amri atau umat sebagai satu kesatuan yang tidak semestinya saling mendahului, maka semestinya diperlukan sikap arif dalam menentukan keputusan, terkait apa yang menjadi prioritas dan lebih bermanfaat.

Dalam kondisi yang begitu komplek, tidak semestinya kita terbelenggu pada permasalahan yang masih sulit dipertemukan. Jika selama ini kalangan Muhammadiyah mendapat manfaat dari sisi keilmuan, tsaqafah dan sumber daya dari interaksinya dengan kalangan Salafy, sementara kalangan Salafy mendapat akses menjangkau masyarakat yang lebih luas melalui Muhammadiyah, semoga sisi positif ini tidak rusak oleh memperuncing masalah-masalah yang tidak begitu bermanfaat.

Persoalan perbedaan pemahaman ini senantiasa ada, bukan sekadar persoalan tingkat keilmuan atau penguasaan kitab semata. Di antara upaya pencarian kebenaran yang mulia ini, semoga tidak terganggu oleh hal-hal yang tidak kontraproduktif bagi kedua belah pihak.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Seorang petani di kaki Gunung Ungaran. Mengikuti kegiatan di Muhammadiyah dan halaqah. Meski minim mendapatkan pendidikan formal, pelajaran hidup banyak didapat dari lorong-lorong rumah sakit.

Lihat Juga

Pernyataan Sikap PP Muhamamdiyah Jelang Hari Pencoblosan

Figure
Organization