Topic
Home / Berita / Opini / Otoritas Ulama dalam Kontes Ratu Sejagat

Otoritas Ulama dalam Kontes Ratu Sejagat

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Malam puncak kontes ratu sejagat memang masih jauh, sekitar dua minggu lagi. Namun sejak rencana pengadaan kontes sampai hari ini, ajang Miss World menyisakan banyak sekali kontroversi. Kontroversi yang dimunculkan tentu saja terkait dengan konten kontes ratu sejagat itu di negeri timur. Sebagian kalangan merasa bangga karena Indonesia menjadi negara Asia Tenggara pertama yang mendapat kehormatan untuk menyelenggarakan kontes Miss World, namun kalangan lain merasa ‘risih’ dengan adanya kontes ini karena dianggap bertentangan dengan norma-norma ketimuran dan agama, khususnya Islam.

Reaksi atas kontes ini memunculkan pendapat sejumlah kalangan termasuk pejabat, budayawan hingga agamawan. Tulisan Putu Setia di media masa memberikan informasi yang begitu berharga bahwasanya Ketua Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) siap mengamankan kontes Miss World dengan semangat “perang puputan”. Selain itu Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, pun mendukung acara ini.

Dukungan terhadap kontes Miss World ternyata bertolak belakang dengan pendapat para ulama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) suatu lembaga independen yang mewadahi aspirasi para ulama sudah menyatakan penolakannya terhadap kontes ratu sejagat ini. Selain itu beberapa ormas Islam pun menyatakan penolakannya terhadap kontes Miss World. Penolakan dari MUI disayangkan oleh beberapa pihak. Ada pihak yang menyatakan bahwa kontes Miss World adalah urusan dunia, bukan urusan agama. Bahkan Putu Setia dengan tegas menyatakan “kalau kita menekuni spiritual dan setiap hari bergelut dengan ayat-ayat suci, rasanya aneh jika masih mengurusi atau tergiur atau tergoda oleh kecantikan visual, ini ranah budaya”. Begitulah kutipan yang saya ambil dari tulisan beliau.

Dari pernyataan Putu Setia nampaknya kita akan berpikir, bagaimana sebenarnya batasan ranah budaya dan agama? Apakah ulama tidak boleh tergoda untuk mengurusi masalah-masalah dunia? Lalu di manakah posisi ulama dalam kehidupan bernegara dan apa otoritasnya dalam kontes Miss World ini?

Indonesia memang negeri yang majemuk. Kemajemukan Indonesia tentu tidaklah lepas dari proses historis yang melingkupinya hingga masa kini. Indonesia telah banyak mendapat pengaruh dari berbagai budaya dan agama seperti Hindu, Buddha, Islam, Kristen dan Konghucu. Dari beberapa agama tersebut Hindu-Buddha nampaknya lebih dahulu mencapai daratan Nusantara yang kemudian menjelma menjadi otoritas politik. Artinya penguasa lokal di Indonesia menjadikan Hindu Buddha sebagai agama resmi kerajaan seperti yang terjadi pada Kerajaan Sriwijaya, Mataram Kuno, Blambangan, Mengwi dan lain-lain. Setelah melalui proses sejarah yang panjang, masuklah Islam yang kemudian menggantikan Hindu-Buddha sebagai agama resmi kerajaan. Islam pada masa itu dijadikan agama alternatif atau kalau boleh dibilang sebagai agama tandingan para penguasa yang saat itu memeluk Hindu Buddha. Dengan segala kelebihannya Islam berhasil menarik penguasa lokal maupun penduduk untuk kemudian menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan sehingga muncullah kerajaan bercorak Islam seperti Samudera Pasai, Aceh, Demak, Mataram Islam, Gowa-Tallo, Ternate-Tidore dan lain-lain.

Sejak Islam menjadi agama resmi kerajaan maka penguasa harus mengambil konsekuensinya. Konsekuensi itu adalah menjadikan para ulama sebagai panutan dalam menjalankan pemerintahan. Ulama menerima kedudukan istimewa dalam suatu kerajaan. Para ulama Islam yang umumnya memahami Bahasa Arab, Fiqih, Aqidah-Tauhid menjadi kelas lain yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Mereka menjadi kadi atau penghulu yang kemudian dapat memutuskan hukum. Di Aceh, para kadi berhasil menerapkan hukum Islam seperti meminum alkohol, hubungan di luar nikah, pencurian, dan uang haram. Di Jawa, kelas penghulu menjadi penasihat bagi para raja dalam menjalankan pemerintahannya.

Peran ulama semakin lama menjadi semakin penting, namun penetrasi politik dari VOC menyebabkan sebagian ulama harus mundur dari lingkaran kerajaan dan pindah ke desa-desa. Di pedesaan mereka membentuk lembaga pendidikan keagamaan tradisional seperti pesantren. Hal ini lebih nyata di Pulau Jawa karena penetrasi asing terasa sangat kuat ketimbang di Aceh. Di Aceh mereka masih sangat kuat memegang kekuasaan baik itu kekuasaan politik maupun sosial. Oleh Harry J Benda, mereka dinamakan sebagai “intelektual lama” yakni kaum intelektual yang didasarkan oleh kemampuan agama.

Peran ulama ternyata tidak hanya sebatas memberikan nasihat saja tetapi juga memberikan saran-saran sosial dan politik. Di Aceh para ulama mengambil tempat dalam mempropagandakan perang melawan kolonialisme. Sementara itu di Jawa golongan ulama memainkan peran penting dalam ranah politik. Hal itu terlihat bagaimana perjuangan KH Hasyim Asyari untuk mengobarkan semangat nasionalisme menentang imperialisme. Namun sayangnya Harry J Benda melihat ini sebagai pengkhianatan intelektual karena ulama telah keluar dari ranah agama dan keilmuan menuju ranah politik. Para ulama seperti KH. Wahid Hasyim kemudian mengambil tempat dalam birokrasi pemerintah.

Jadi jelas ulama sebagai cendekiawan di Indonesia mengambil tempat penting dalam kehidupan sosial politik. Mereka berani turun ke bawah. Jangankan ranah budaya, ranah sosial politik pun dimainkannya dengan lihai bagaikan belut. Jadi sangatlah aneh jika ada seseorang yang menyatakan keanehannya jika ulama memainkan peran dalam ranah budaya.  Lebih jauh para ulama sudah memainkan perannya dalam ranah politik sampai-sampai KH Abdurachman Wahid sudah berhasil menjadi Presiden RI.

Ulama dalam Islam tidak sama dengan para resi. Para resi yang digolongkan juga sebagai cendekiawan lawas memang memiliki peran penting di luar lingkaran pemerintahan. Mereka merupakan para petapa yang hidup jauh dari hiruk pikuk. Meskipun demikian mereka sering dimintai pendapat mengenai permasalahan politik oleh para penguasa, tak jarang mereka berani melancarkan kritik untuk istana. Begitu juga dengan para pendeta yang ada di luar pemerintahan. Pandam Guritno, menyebutkan beberapa pendeta seperti Pendeta Abiyasa dan Begawan Anoman adalah contoh cendekiawan yang hidup di luar istana, sedangkan Durna dan Ronggowarsito adalah contoh cendekiawan yang hidup dalam lingkaran kekuasaan. Dalam Islam, ulama memiliki fungsi sosial. Mereka tidak bisa hidup mengasingkan diri begitu saja namun harus ikut campur dalam urusan sosial politik karena Islam bukan agama yang hanya mengurusi akhirat tetapi juga mengurus masalah dunia. Jadi aneh jika ada pernyataan bahwa tidak seharusnya ulama mengurusi masalah non agama.

Campur tangan ulama dalam urusan duniawi bukan berarti ulama tergiur atau tergoda nafsu duniawi. Memang ada ulama-ulama yang memiliki ambisi politik untuk berkuasa sehingga dapat di golongan sebagai ulama yang bernafsu dunia. Namun tidak semua ulama seperti itu karena pada dasarnya kelas ulama tercipta sebagai pengawal kehidupan manusia di dunia. Mereka dapat digolongkan sebagai kelas cendekiawan yang terus menerus mencari kebenaran dan tidak pernah puas atas keadaan yang ada. Selalu ada celah untuk dikritisi karena kehidupan dunia tidaklah sempurna. Untuk itu tentu saja tidak ada salahnya jika ulama memberikan pandangan terhadap kontes Miss World. Dalam masalah politik saja, seperti yang ada di Dewa Syura, ulama sering dimintai pendapat, mengapa dalam masalah budaya seperti di Miss World tidak boleh?

Apa yang dilakukan oleh ulama tentu saja bukan semata-mata ulama sangat bernafsu merebut kehidupan duniawi yang biasa dipegang oleh para birokrat, teknokrat dan kelas pedagang tetapi ulama ingin memberikan pandangan mengenai kehidupan yang baik dan ideal bagi masyarakat. Ulama diberikan kelebihan lewat hasratnya yang tidak pernah berhenti untuk mengawasi, berpikir dan mengkritisi suatu fenomena sosial, politik maupun budaya.

Namun tentu saja posisi ulama pada masa kejayaan kerajaan Islam berbeda dengan masa sekarang. Dulu Islam merupakan agama resmi dari kerajaan sehingga ulama memiliki fungsi yang sangat penting untuk memutuskan hukum. Sekarang Indonesia bukanlah negara Islam tetapi negara majemuk yang memperhatikan aspirasi semua agama sehingga ulama Islam tidak berhak berlaku seperti masa-masa kejayaan Islam dulu. Hukum ditetapkan secara adil, merata dan rasional, tidak berpihak pada mayoritas seperti Islam. Namun bukan berarti nilai-nilai Islam mati. Nilai Islam yang universal tetap hidup dalam hukum yang sekular bahkan Pancasila pun sudah merangkul nilai-nilai Islam universal itu.

Bentuk negara Indonesia yang lebih sekular bukan berarti menyingkirkan peran ulama. Ulama harus tetap diperhatikan sebagai golongan atau kelas tersendiri dalam masyarakat karena kelebihan mereka untuk terus berpikir kritis. Untuk itu ulama berkumpul dalam satu wadah yakni MUI. MUI memang tidak memiliki hak untuk menetapkan hukum sekular. Ia tidak bisa melarang pilkada dengan satu atau sepuluh partai, ia pun tidak dapat menghukum seorang pengendara motor yang tidak menggunakan helm. Namun ulama memiliki hak untuk memberikan saran dan nasihat.

Jadi secara otoritas, MUI hanya dapat memberikan pandangan atau fatwa. Namun ada baiknya pemerintah memperhatikan pandangan itu. Dalam konteks Miss World seharusnya pemerintah duduk bersama dengan para ulama agar kontroversi Miss World cepat selesai. Dan masyarakat pun tidak dibuat resah dengan berita-berita yang miring. Kalau pendapat MUI diabaikan, maka sama saja diibaratkan seperti seorang raja yang mengabaikan nasihat orang tua, cendekiawan, orang-orang alim, para resi, pendeta, ataupun begawan. Sah namun tidak dapat restu secara moral kultural ketimuran.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Alumnus Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.

Lihat Juga

Di Mauritania, Ratusan Tokoh Agama Mendesak Pusat Pendidikan Ulama Dibuka Kembali

Figure
Organization