Topic
Home / Berita / Internasional / Afrika / Pengamat: Penangkapan Petinggi IM Kontra produktif Dengan Cita-Cita Demokratisasi Mesir

Pengamat: Penangkapan Petinggi IM Kontra produktif Dengan Cita-Cita Demokratisasi Mesir

Muhammad Beltagi saat ditangkap (twsela.com)
Muhammad Beltagi saat ditangkap (twsela.com)

dakwatuna.com – Jakarta.    Pengamat politik Timur Tengah Ibrahim Rantau meyakini keputusan pemerintah hasil kudeta Mesir menahan para petinggi Ikhwanul Muslimin (IM) dan menjadikan organisasi ini kembali menjadi kelompok terlarang, bertentangan dengan cita-cita revolusi Mesir untuk memulai proses demokratisasi.

“Keputusan ini akan kontra produktif dengan upaya demokratisasi yang sedang diupayakan pada fase transisi pasca revolusi, seharusnya semua entitas politik, termasuk Ikhwanul Muslimin  diberi kesempatan untuk terlibat dan berpartisipasi dalam wilayah politik,” kata Ibrahim, Kamis (29/8).

Menurut pria yang pernah tinggal lama di Kairo ini, penangkapan elit politik Ikhwanul Muslimin yang waktunya bersamaan dengan pembebasan Husni Mubarak merupakan salah satu indikator menguatnya kroni rezim lama dalam pemerintahan kudeta Mesir.

Bahkan disela-sela kebijakan represif terhadap elit-elit Ikhwan, Jaksa Agung Mesir justru meninjau kembali dakwaan terhadap Mubarak terkait dengan tuduhan korupsi ketika dirinya berkuasa, kecuali dakwaan tanggung jawab atas pembunuhan sekitar 800 warga Mesir yang berdemonstrasi menuntut penggulingannya.

Nampaknya Mesir sedang mundur ke belakang, di mana apa yang terjadi belakangan ini juga pernah terjadi dalam sejarah relasi antara IM dan militer Mesir.  Upaya pemerintah yang  berusaha ‘menyingkirkan’ IM dari pentas politik dianggap merupakan cara lama yang juga pernah dilakukan oleh rezim Gamal Abdel Nasser pasca revolusi tahun 1952, namun kali ini militer menunjukkan “tangan besi” nya melalui pemerintahan sipil, tambah Ibrahim.

Perkiraan ini  diyakini, setelah pemerintahan kudeta Mesir merancang undang-undang yang melarang partai religius ikut andil dalam pemerintahan pertengahan Agustus lalu, aksi ini menyusul pernyataan pemerintah yang menyatakan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris, di mana pemerintah nampaknya berusaha mengembalikan Ikhwan sebagai organisasi terlarang seperti masa di era Mubarak.

Lebih jauh lagi Ibrahim juga mengkhawatirkan bahwa kebijakan menempatkan Ikhwanul Muslimin kembali menjadi organisasi terlarang setelah diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam politik dan memenangkan pemilu justru akan memancing radikalisasi dalam tubuh Ikhwanul Muslimin itu sendiri. “Sebelum terjadinya kudeta militer terhadap pemerintahan Muhammad Mursi, tampak terjadi pergeseran paradigma politik dalam tubuh IM.

Organisasi ini semakin bergeser ke tengah menjadi lebih kompromis dan moderat. Maka menutup pintu partisipasi politik bagi IM justru akan memancing potensi IM untuk menjadi lebih radikal. “Salah satu pemicu dari munculnya gerakan radikal adalah ditutupnya pintu bagi aspirasi politik,” tambahnya.

Terpecah belahnya internal oposisi pemerintah Mursi

Ibrahim juga melihat bahwa oposisi yang selama ini menentang  pemerintahan presiden Muhamad Mursi yang tergabung dalam gerakan 30 Juni mulai menyadari bahwa kebijakan represif terhadap elit-elit IM dan aksi kekerasan yang dilakukan terhadap para demonstran sangat bertentangan dengan cita kebebasan yang diperjuangkan dalam revolusi 25 januari.

Kelompok ini merasa dimanfaatkan oleh rezim militer untuk kembali berkuasa, yang mana hal ini bertentangan dengan tuntutan mereka ketika menggulingkan pemerintahan Mursi, yaitu rekonsiliasi nasional. Gerakan 30 Juni menganggap bahwa pemerintahan Mursi gagal dalam mengakomodasi beragamnya kepentingan politik yang terlibat dalam fase transisi. “Kekerasan terhadap para demonstran dan menutup partisipasi politik bagi entitas politik tertentu adalah tindakan counter-revolution,” ungkap ibrahim.

Terpecahnya oposisi terlihat sejak Muhamad El Baradei dari Font Penyelamatan Nasional mengundurkan diri sebagai wakil presiden sementara Mesir  setelah aksi pembubaran paksa yang dianggap pembantaian itu membuat ribuan demonstran aksi duduk meninggal dunia. Pengunduran diri ini juga didukung dan dimaklumi oleh beberapa elit Front Penyelamatan Nasional.

Tidak hanya itu, gerakan 6 Oktober yang menentang Mursi juga terpecah belah dan mulai menyadari penggulingan presiden Mursi dimanfaatkan untuk kepentingan militer sendiri, bukan kepentingan rakyat.  Di samping itu, isu yang beredar menyebutkan gerakan Tamarrud yang memimpin aksi protes menentang Mursi pada Juni lalu juga ikut terpecah dan berselisih pendapat.

Pada 3 Juli 2013, militer Mesir mengumumkan kudeta atas pemerintahan Mursi yang dianggap tidak mampu meredam protes oposisi yang menuntut penggulingannya. Setelah Mursi di kudeta, para pendukungnya mulai melakukan aksi duduk bersama melawan kudeta dan menuntut pembebasan Mursi yang ditahan aparat keamanan hingga hari ini.

Terkait konflik yang kian rumit ini, Ibrahim menyerukan pemerintah kudeta untuk bisa merangkul IM dan menerima aspirasi mereka di pemerintahan sebagai bagian dari rekonsiliasi nasional dan tujuan demokrasi bersama jika pemerintah benar-benar berniat membawa Mesir kembali stabil.

Mengakhiri pembicaraan, Ibrahim juga menyerukan agar partai-partai lainnya di Mesir, termasuk partai Salafi an-Nur, untuk terus mengontrol proses persidangan Husni Mubarak dan elit politik IM yang waktunya digelar hampir bersamaan, sehingga akan dapat dilihat bagaimana motif politik pemerintahan ad interim saat ini dalam upayanya menyelesaikan konflik politik di Mesir.(ra/ba/mina).

Redaktur: Saiful Bahri

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Tim dakwatuna adalah tim redaksi yang mengelola dakwatuna.com. Mereka terdiri dari dewan redaksi dan redaktur pelaksana dakwatuna.com

Lihat Juga

Konflik Air Antara Ethiopia, Sudan, dan Mesir

Figure
Organization