Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Presidenku, Ajari Aku Menaikkan Bendera Setengah Tiang!

Presidenku, Ajari Aku Menaikkan Bendera Setengah Tiang!

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (yahoo.com)
Ilustrasi. (yahoo.com)

dakwatuna.com – Selamat pagi, Bapak yang berjas rapi di Istana Negaraku hari ini. Tujuh belas Agustus kata Almarhum Bapakku dulu, adalah hari kemerdekaan Negeriku. Aku masih ragu meski hanya sekadar menyebutnya, Indonesia. Khawatir salah sebut dan akhirnya masuk penjara. Biasanya, anak dungu seperti aku, tak pandai betul mengeja; kalau tak Indonesa – EndonesaIndosia, ah apatah sulit melafalkannya. Tapi mohon ya Pak, jangan siksa aku seperti yang pernah dirasa Bapakku. Aku hanya anak ingusan yang sudah tidak bertuan.

Bapak, yang berdasi bersih. Senyum manis tersungging indah di sudut bawah wajah manis. Ah, tampak gagah sungguh penampilanmu. Kata kakekku, engkau adalah presidenku. Apalagi maksud presiden itu? Aku hanya sebatang jiwa yang ditemani kakek renta. Tak pernah dikenalkan baca apalagi definisi kata-kata. Aku anak jelata yang hanya punya nama.

Presiden itu pimpinannya para pemimpin, itu tebakanku. Kalau di kampungku ada namanya kepala Desa, mungkin bapak adalah kepala-kepalanya Kepala Desa. Kepala Desa di kampungku orangnya sangat sibuk, mungkin bapak punya kesibukan di atas kesibukannya. Di kampungku, yang jadi Kepala Desa adalah orang shalih, gemar baca kitab suci di surau, gemar ikut kerja bakti, giat bersambang ke rumah-rumah kami meski di seberang lautan. Mungkin engkau jauh lebih sempurna ya pak Presiden?

Ah, Bapak. Aku lupa belum menyapakan diri dengan nama. Aku adalah Alit. Kakekku yang memberi nama. Aku masih sepuluh tahun di 68 Tahun Indonesia merdeka ini. Tapi jangan salah pak Presiden, kecil-kecil gini aku sudah bisa mandiri, bisa mencari uang sendiri, tidak mengandalkan belas kasihan dari negeri, terlebih dengan jalan korupsi. Mengemis dan mengamen pun sudah aku syukuri, setidaknya aku masih punya nurani untuk tidak menzhalimi.

Pak Presidenku, di seberang jalan itu ada jembatan bukan? Di kolong kecil yang tak meneduhkan itulah kini aku tinggal. Di pangkalan seberang itu biasa aku mangkal. Tapi tolong ya pak, jangan usir aku dan kawananku dari jalan penghidupan ini. Aku tak seberuntung keponakan ataupun cucu bapak. Yang bisa hidup dengan senyum merekah bungah. Mengais rezeki di jalanan bukanlah keinginan tapi menjadi kewajiban. Karena negeriku baru mencari jalan menuju kesejahteraan rakyat katanya.

Jabatan kecil ini tak sanggup menggapaimu di sana presiden. Bertandang di istana saja aku tidak pernah bisa. Lagi-lagi seruan sadis dan galak yang aku dengar “Sudah pergi sana!”. Waktu aku belajar ngaji di gubung ustadz Mahmud, khalifah Umar sangat santun dan dermawan. Ternyata aku salah, presidenku bukanlah Umar.

Pak presiden, beberapa jam lagi katanya ada upacara penaikan bendera. Memperingati kemerdekaan Republik Endonesa, Indonesa, eh Indonesia. Tapi pak Presiden, barusan aku diberi cerita oleh teman. Enam puluh delapan tahun yang lalu, secara diplomatik pendukung pertama kemerdekaan Indonesia itu katanya Negara Mesir, tapi sekarang Mesir sedang berkabung. Apakah benar kita akan merdeka di atas penjajahan?

Temanku juga bilang, kemarin Gubernurnya di lapangan depan Gedung Sate juga menyampaikan “Mesir bukan hanya mendukung kemerdekaan, tapi juga turut serta memperjuangkan kemerdekaan dengan menghadang sekutu penjajahan”. Presidenku, gelar pendidikan tinggi sudah engkau miliki. Tidaklah mungkin etika balas budi aku ajarkan pada pimpinan sepertimu.

Meski sebatang kara, aku tahu etika menjunjung tata krama. Menata rapi budi pekerti dan membersihkan sungguh arti unggah – ungguh (pola perilaku). Kalau engkau tak mau bersikap balas budi dalam dilema dunia kali ini, ke sinilah Presidenku. Temani kami menikmati dunia jalanan, kenalkan kami  pada prosesi upacara kemerdekaan. Biar tidak menjadi negara yang lupa etika dan tata krama, ajarkan padaku bagaimana menaikkan bendera setengah tiang. Karena aku malu pada Tuhan.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Alumni Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung. Pekerja Sosial (Pemerhati Anak Jalanan)

Lihat Juga

Konflik Air Antara Ethiopia, Sudan, dan Mesir

Figure
Organization