Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Aku Rindu dengan Adikku yang Dulu

Aku Rindu dengan Adikku yang Dulu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Pikiranku tidak tenang, Kupacu sepeda motorku setenang mungkin agar tidak terjatuh ataupun menabrak karena pikiranku dipenuhi dengan adikku yang kupikir masih di pondok. Hari sabtu sekolah libur dan dia diizinkan pulang. Kemarin dia memberikan kabar bahwa dia akan pulang pagi ini bersama temannya sehingga saya tidak jemput tapi sampai sore ini dia belum di rumah dan tidak ada kabar sama sekali. Saya baru saja tiba dari Surabaya dan langsung menghubungi teman yang dia bilang akan pulang bersamanya tapi ternyata temannya sudah pulang dan sudah ada di rumahnya. Dan dia beri kabar bahwa ihsan masih di pondok. Kucoba untuk menghubungi ustadznya di pondok tapi tidak bisa dihubungi. Saya hanya bisa menghubungi ustadz yang sekarang diapun tidak berada di pondok. Tanpa pikir panjang, kususul dia ke pondok.

Saya tidak tenang dalam perjalanan, saya memikirkan ihsan adikku, kasihan karena dia di pondok sendirian dari tadi. Saya sudah membayangkan bagaimana ekspresi “jengkelnya” ketika saya sampai di sana. “Maafkan kakak dek, kakak benar-benar tidak tahu kalau kamu masih di pondok” kataku dalam hati meminta maaf padanya. Sesampai di sana, ustadz pondok yang tadi saya hubungi sudah menanti karena di luar dugaan saya, ternyata ihsan sudah tidak ada di pondok sejak jam 10 pagi tadi.

Ustadz: Afwan ukhti, katanya ihsan sudah pergi dari jam 10 pagi tadi, dia sama temannya Riyan dan bayu. Tapi sekarang saya sedang memanggil bayu karena rumahnya dekat sini. Tunggu sebentar ya ukhti.

Saya: Iya ustadz.

Ustadz: Ihsan tidak memberi kabar sama sekali ta ukhti?

Saya: kemarin dia bilang kalau mau pulang sama Muhammad pagi ini makanya saya tidak jemput. Tapi sampai sekarang belum sampai di rumah dan gak ada kabar.

Ustadz: Oh gitu, kalau begitu ditunggu dulu. Saya hubungi temannya dulu.

“Astaghfirullah, ihsan melakukannya lagi”, kataku dalam hati. Saya duduk di masjid pondok. Saya segera mengisi pulsaku karena biasanya saya hanya mengisi pulsa sms. Saya mencoba untuk menghubungi Muhammad lagi karena mungkin saja dia tahu sesuatu. Tapi hasilnya nihil. Muhammad tidak tahu sama sekali. Kucoba menelpon nomor yang pernah di bawah Riyan tapi ternyata nomor tersebut sudah tidak di bawah Riyan, HP-nya sudah di keluarganya di Bekasi. Saya benar-benar bingung. Seperti biasa, akal sehat saya tidak bisa berjalan ketika sedang panik. Saya memikirkan hal yang tidak2 tentang ihsan adikku. Takut dia nyasar atau kecelakaan di jalan….”Astaghfirullah, ya Allah lindungilah adikku Aamiin…” Doaku dalam hati. Kucoba untuk tenang, kulanjutkan ma’tsurat soreku yang tadi belum selesai. Setelah menyelesaikan ma’tsuratku, hatiku tetap tidak tenang dan tidak bisa membendung air mataku yang dari tadi sudah kutahan. Segera saya ke kamar mandi masjid, kutumpahkan rasa gelisahku di dalam sana dan membasahi wajahku. Setelah sedikit tenang, saya pun keluar dengan bercermin dulu sebelumnya untuk mengecek mataku sehabis menangis. Dengan sabar aku menunggu di masjid tapi tetap saja pikiranku tidak tenang .air mataku tetap tak bisa kutahan walaupun tadi sudah kutumpahkan di dalam kamar mandi. “Astaghfirullah, saya tidak boleh seperti ini, saya harus tenang” kataku dalam hati.

Kemudian saya berdoa dalam hati “Ya Allah, lindungilah adikku ihsan, saya tidak akan memarahi dia kalau memang dia melakukan kesalahan lagi seperti sebelumnya, yang penting dia baik-baik saja”. Ihsan memang sudah beberapa kali membuat saya cemas seperti ini, dulu dia pernah ke Surabaya bersama teman-temannya dan tidak memberi kabar sama sekali, membuat saya cemas setengah mati dan yang paling parah adalah saat dia berbohong kepadaku saat dia libur 4 hari. Dia hanya sehari di rumah dengan 2 orang temannya dan langsung pamit pulang ke pondok tapi ternyata dia bersama temannya ke Madura, rumah salah satu temannya tersebut. Dan sekarang pun, saya tetap berharap agar dia ke rumah temannya dan tetap dalam keadaan baik. Waktu sudah menunjukkan jam 17.25. Temannya yang dia temani pergi tadi pagi datang, mereka memang dari luar kota jadi mungkin mereka tidak pulang ke mana-mana. Mereka terkejut melihat saya, kemudian segera saya menghampiri mereka.

Riyan: Ihsan sudah pulang kak. Tadi saya ajak kembali ke sini tapi dia menolak.

Saya: Kalian pisah di mana?

Riyan: di Balongbendo

Saya: hm..Kalian ke mana aja sih?

Riyan: Ke Surabaya jalan-jalan.

Saya: hm…..jam berapa tadi kalian pisah?

Riyan: sekitar jam 5 lebih kak.

Aku kembali duduk di teras masjid, “Alhamdulillah…”tahmid sempat terucap dari mulutku. Bersyukur sekaligus kecewa yang kurasakan. “ Lagi, dan lagi…ihsan membuatku seperti ini”. Mataku kembali kabur karena adanya genangan air mata memaksa keluar. Kemudian ku mencoba kuatkan hatiku. “Aisyah, bukankah kamu sudah berkata tadi bahwa kamu tidak akan marah kalau memang dia melakukan itu lagi, kamu hanya ingin adikmu selamat”…kucoba kuatkan hatiku dengan berkata seperti itu pada diriku sendiri. Kemudian saya pamit karena memang saya kebetulan tidak Shalat saat itu.

Tidak diragukan lagi, air mataku segera keluar tak terbendung setelah kujalankan sepeda motorku. Aku terisak dalam kemudiku. Kucoba untuk menguatkan hati dan mengingatkan diriku sendiri bahwa aku sedang berkendara dan tidak boleh menangis tapi aku masih tetap terisak. Kurasakan beberapa kali aku hampir jatuh karena tidak fokus berkendara. Kemudian saya teringat keluargaku. Ibu dan adik-adikku serta orang lain yang berkendara di sekitarku. Iya, saya tidak mau mencelakakan orang lain karena kelalaian saya berkendara. Tangiskupun berhenti sejenak. Saya beristighfar sepanjang jalan berharap bisa membuatku lebih tenang. Tapi tetap saja pandanganku kabur akibat genangan air mata yang memaksa keluar, kecewa…..iya, saya pasti kecewa, Sedih, pasti saya bersedih. Tapi yang paling membuat saya bersedih adalah saya merindukan adikku yang dulu… Saya merindukan saat mengunjungi dia di pondok, saat dia bercerita walaupun saya tahu bahwa lebih banyak bohongnya dari pada benarnya hanya untuk membuatku senang. Saya rindu ketika saya bisa bertanya tentang masalah pondoknya yang sebenarnya saya sudah tahu ceritanya. Saya rindu keakraban itu. Saya sadar bahwa ihsan sudah beranjak Remaja dan ternyata saya tidak bisa mendampingi ia dalam perkembangannya. Saya benar-benar merasa menjadi kakak yang sangat menyedihkan, tidak bisa menjadi tempat ia bersandar. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah kapan saya bisa kembali seperti itu bersama ihsan adikku? Bisakah keakraban dan keterbukaan itu kembali kepada kami? Kapankah canda tawa itu kembali mewarnai kami di tempat perantauan ini? Hanya Allah yang tahu dan saya hanya bisa mencoba yang terbaik yang saya bisa karena saya hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari salah dan khilaf.

Redaktur: Aisyah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Bekerja di Bank Syariah. Aktif di Iqro' Club di salah satu kota Jawa Timur.

Lihat Juga

Pernyataan Sikap PP Pemuda PUI Tentang Insiden Pembakaran Bendera Tauhid di Garut

Figure
Organization