Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Puasa Pertama Kori

Puasa Pertama Kori

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (klinik fotografi Kompas)
Ilustrasi (klinik fotografi Kompas)

dakwatuna.com – “inda,inda” teriak Kori pada ku, “napelah kita,kalu keh da’an nulis. Usahlah nak ganggu kawannye yih” rayuku sembari menjauhkan dirinya dari meja Saturi. Tanpa mendengarkan ku, ia pun beranjak meninggalkan kelas. Aku yang belum lagi usai menjelaskan pelajaran, dikejutkan kembali dengan sikap Kori yang tiba-tiba membawa satu bungkus mie instan ditangannya dan memakannya di depan pintu ruang kelas. “Darimanelah kita?, da’an puase keh?” tanyaku lagi padanya. “inda,inda” jawabnya lagi masih dengan mengunyah mie dimulutnya. “isuk latihan puase yih, kan udah kelas III”, rayuku padanya. “inda,inda” begitu terus jawabannya. Entah mengapa Kori selalu mengatakan tidak.

“Simpanlah dolo, mienye. Kawan-kawannye kan puase” pintaku padanya. Serentak kelaspun ramai dengan suara sorakan.”eyyy, RESPECT” teriakku menenangkan seisi kelas. RESPECT ini seperti kata ajaib bagiku, sebelum memulai mengajar mereka aku lebih dulu memberikan kesepakatan agar kelas dapat berjalan dengan baik. Walaupun terkadang agak sulit menenangkan mereka tetapi setidaknya kata ajaib ini lumayan ampuh. Sebenarnya hari ini, aku tidak memiliki jadwal mengajar kelas ini. Kesekian kali aku harus mengelus dada dengan ketidakhadiran wali kelas mereka.

Suatu Pagi, baru saja aku memasuki gerbang sekolah. Mereka, para laskar borneoku yang duduk di kelas III menyerbu dan merayuku lagi untuk masuk ke kelasnya. Aku yang memang ada jadwal mengajar di kelas lain terpaksa tidak meluluskan keinginan mereka. “bu,ajari kami yih kelak”pinta salah seorang siswi yang sedang menggelayuti tanganku. “ibu, hari tok ade ngajar kelas lain. Isuklah yih ibu masuknye” kataku pada mereka. wajah-wajah kecewa pun tergambar di wajah mereka karena hari inipun tak ada guru yang akan mengajar mereka lagi.

Kamis pagi ini, aku masuk ke kelas II. Siswa-siswa kelas III yang tidak ada gurunya berkumpul di depan ruang kelas kami dan melihatku mengajar. Sesekali mereka mengikuti instruksi yang aku berikan saat mengajar seperti tepuk semangat, tepuk keren, ataupun ice breaking yang ku berikan pada kelas II. Namun perhatian dari kelas rendah ini teralihkan pada kakak kelas mereka yang sedang melihat ku mengajar. Terkadang aku merasa heran, setiap aku mengajar ada saja siswa yang meliha tku mengajar. Tidak dengan jumlah sedikit tapi juga dengan jumlah yang hampir separuh kelas mereka.

Aku pun pada akhirnya harus mengunci pintu, seolah tidak mau tertinggal apa yang aku ajarkan pada kelas II. Mereka kini justru mengintip dari jendela, aku pun ke luar kelas untuk menegur mereka .“ayolah kita usah no gok di sitok” tegurku. “kame nak belajar bu tapi sian gurunye” kata Kori. Aku pun keluar kelas dan meminta siswa-siswaku untuk mengerjakan tugas yang ada di papan tulis. “ayo sekarang masuk kelas” ajakku, “ibu nak masuk kelas kami keh?” tanya mereka padaku. “Aoklah” jawabku singkat. Sontak merekapun bergembira dan berteriak “ibu epong masuk, ibu epong masuk”. Siswa yang berhamburan di luar kelas kini saling berkejaran untuk memasuki kelas.

“ape pelajaran hari itok?” tanyaku. “Bahasa Indonesia, IPA, IPS”  teriak mereka serentak dengan gembira. “oke sekarang keluarkan buku tulis ngan buku paketnye” seruku. Setelah mempelajari sebentar pelajaran Bahasa Indonesia pada buku paket, aku bertanya pada seisi kelas “liburan sekolah kalian pergi kemana?”. Beragam jawaban yang aku terima, namun jawaban dari Kori membuatku tersentak. “Aku da’an kemane-mane bu, aku ngan acong ngadu ayam” jawabnya dengan polos.

Aku yang terkejut dengan jawaban polosnya bertanya kembali padanya “ngadu ayam untuk apelah kita?”. “untuk masang undilah bu” jawabnya lagi tanpa mengerti undi yang dikatakan mereka merupakan praktik judi. “libur sekolah, kami adu ayam sampai mati bu” jelas Kori lagi. “da’an kasihan keh ngan ayamnye? Memang kalu undi kita dapat ape?” dua pertanyaan sekaligus aku tanyakan. “dapat uanglah bu, kalu ayamnye mati kan bisa dimasak” jawabnya dengan mudah.

“usah nak geye lagi yih, sekarangkan bulan puase da’an baik nak ngadu ayam apelagi undi untuk dapat uang. Ngundi tok termasuk judi, nak keh kita dapat dosa?” jelas ku walaupun aku tahu persis mereka tidak memahami apa itu judi. “tapi bu, aku lihat orang di dekat rumahku ngadu ayam, dapat uang ba….nya….k inyan” jelasnya. “tadi apelah kate ibu, usah nak adu ayam age. Da’an nak kan kita dapat dosa? Kita nak keh da’an kalu jadi ayam diadu sampai mati” jelasku kembali. “inda bu” jawab Kori singkat.

Sore harinya, bersama kelas VI kami berbuka puasa bersama. Kori dan kawannya memandang kami dari luar pintu. “puase keh da’an? Masuklah kita buke puase bersama di sitok”. “inda” dan Kori pun raib dari pandanganku. Keesokkannya, aku masuk ke kelas Kori dan mengajar Matematika. Kori menghampiri meja ku dan berkata “ibu aku hari itok puase, bile kelas kami buke puase bersame?”tanyanya padaku. Dengan senyum ku katakan padanya “kelak lah ibu padahkan age”.

Hampir tiap hari Kori bertanya pada ku “kapan akan berbuka puasa bersama?”. sebenarnya aku agak khawatir mengadakan buka puasa bersama untuk kelas III karena mereka yang masih kecil dan rumah yang jauh dari sekolah. “ibu boleh keh da’an, aku ikut kelas IV buke puase? Ade kawanku di kelas IV” tanyanya lagi masih berharap bisa berbuka puasa bersama di sekolah. Aku yang merasa tidak tega dengan keinginannya itu, akhirnya “baiklah untuk kelas III rabu itok buke puase bersame ngan kelas IV yih. Bawa cat warna ngan buku gambarnye, jangan lupa bawe makanan berbuka masing-masing” kataku mengabarkan untuk seisi kelas.

Esoknya, “bu jadikan kami buke puase bersame?”.tanya Kori lagi memastikan. “Aoklah jadi” kembali aku meyakinkannya. “kumpul kelak jam empat setengah yih, kita puase keh da’an?” kembali aku mengingatkannya. “Aoklah bu, kalu da’an puase kan da’an berbuke puase jua”dengan mantap Kori mengatakannya. “bagus, gitu dong. Kan udah kelas III”. Sembari menepuk pundak dan melempar senyum padanya. “Aok bu, bu benarkeh kalu kite da’an puase masuk neraka?”. Tanyanya polos. “Setiap muslim itu wajib berpuasa di bulan ramadhan karena itu adalah perintah Allah” kataku mengingatkannya.

“tapi ngapelah bu, orang di umah ku da’an puase?” tanyanya. “sape emangnye yang da’an puase? Tanyaku menyelidik. “ade lah bu” jawabnya tanpa memberitahuku. Setiap orang dewasa memang akan menjadi cermin bagi anaknya. Banyak hal yang dilihat Kori dari orang dewasa disekitar rumahnya. Menyabung ayam, berkata kasar, memukul, bahkan makan di depan orang yang berpuasa. Hal ini juga yang aku temui, terdapat pemuda dan para bapak yang tidak berpuasa di rumahnya tanpa malu justru makan siang di depan anak-anak.

“tahu keh da’an bu, baru tok lah aku puase. Kan aku nak ikut buke puase bareng ibu ngan kawanku” ceritanya dengan polos. “Hebat itu namanya Kori mau belajar, ayo besok kite puase age” kataku mencoba untuk menguatkannya. Satu hal yang aku pahami dari Kori, kata ajakkan dan sesuatu yang bisa membesarkan hatinya jauh lebih bisa mengajaknya untuk melakukan dibandingkan aku harus berkata jangan dan kalimat-kalimat perintah yang sering terlontar dari mulutku. Puasa pertama untuk Kori, seperti sesuatu hal yang begitu ia banggakan dengan kata yang ia ucapkan “Aku puase hari tok bu”. Perkataan yang begitu dengan bangganya ia katakan padaku.

Redaktur: Aisyah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Alumni Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa angkatan IV. sekarang menjadi volunteer sebagai Sekretaris KLIPNUS (Klinik Pendidikan Nusantara) menangani Training untuk Guru dan Siswa. serta KLIPNUS memiliki rumah baca yang disebut Kolong Ilmu. beberapa kegiatan kami diantaranya Indonesia Ceria dan Training for Teacher. Semoga Kami senantiasa bermanfaat. Klipnus : Build Better Indonesian Education

Lihat Juga

Sambut Ramadhan dengan Belajar Quran Bersama BisaQuran

Figure
Organization