Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Ramadhan, Datang dan Pergi

Ramadhan, Datang dan Pergi

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi (inet)
ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Bulan Ramadhan, bulan mulia yang penuh akan rahmat dan  maghfirah. Bulan dimana dibukakan pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, dan dibelenggu semua syaitan. Segala amal kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya selama Ramadhan. Selain keistimewaan yang telah Allah janjikan atasnya, Ramadhan juga menjadi bulan yang  kehadiranya selalu kunantikan, sebab hanya saat Ramadhan sajalah, aku bisa merasakan hangatnya kebersamaan sebuah keluarga.

Saat Ramadhan tiba, kantorku memang selalu memberikan jatah libur yang lumayan panjang, hal ini membuat aku bisa pulang ke kampung halaman keluarga kecilku di Jawa Timur. Ramadhan kali ini, adikku Widya juga pulang dari rantaunya di Jakarta, karena masa perkuliahannya berakhir menjelang Ramadhan tahun ini, artinya ia akan menikmati satu bulan penuh di kampung halaman kami. Membayangkan kehangatan yang menyeruak setiap kali keluarga kecilku berkumpul membuat hatiku dirayapi perasaan bahagia luar biasa, tidak sabar rasanya ingin segera sampai di rumah. Bahagia itu sederhana, sungguh.

Aku kembali mengingat saat setiap kali kami—aku dan adikku—pulang ke rumah kecil ini, ibu selalu menyambut dengan senyum suka citanya. Aku merindukan usapan tangan halusnya itu,  kehangatan yang menyebar segera setelah ia mulai membelai lembut rambut kepalaku. Kasih sayang yang ia sampaikan melalui belaian tangannya tersebut tak pernah alpa menyambut kepulanganku ke rumah kecil ini. 4 jam menempuh perjalanan darat, dan 2 jam di udara cukup untuk membuatku bersabar dalam kerinduan yang berbuncah dalam hati, rindu ibu. Aku menjejakkan kakiku di depan rumah kami yang sederhana, ibu telah sigap menunggu kedatanganku di ruang tamu. Ibu tersenyum bahagia menyambutku, ada lapisan kaca dalam matanya yang mulai menua. Setelah mengucapkan salam, aku masuk dan langsung mencium kedua tangan ibuku yang mulai mengeriput dengan penuh keharuan. Kedua tangan yang telah mendidik, menempa dan membesarkanku hingga menjadi seperti sekarang ini. Tangan yang sejak empat tahun lalu berjuang seorang diri untuk menafkahi keluarga kami, sehingga aku dan Widya bisa terus melanjutkan pendidikan kami.  Goresan kasar di tanggannya yang mulai mengeriput adalah bukti betapa keras perjuangan ibu untuk keluarga kecil kami.

“Rizal pulang bu…” kataku sambil mengusap-usapkan tangan kanan ibuku di wajahku.

“iya, anakku. Ibu sudah sangat merindukanmu.” Jawab ibu sambil membelai lembut rambutku dengan tangan kirinya, kebiasaan yang sungguh aku rindukan sejak dalam perjalanan tadi. Aku masih tersenyum menikmati setiap belaian tangan ibu, ketika aku merasakan satu titik air mata telah jatuh ke tanganku. Aku melepaskan tangan ibuku, dan mengusap lembut air matanya.

“Ibu nangis? Kenapa bu?” tanyaku kalem.

“Tidak apa apa, ibu cuma tidak bisa menahan kebahagiaan melihat anak lanang ibu pulang dari rantaunya… jika boleh jujur, ibu kesepian di rumah sendirian le, sudah lama ibu menantikan kepulanganmu, kenapa baru pulang sekarang?”

“Maaf ya bu, kemarin Fira masuk rumah sakit…  ada sedikit masalah dengan kandungannya, jadi aku harus menunda kepulanganku.”

Innalillahi…” Ibu terdengar kaget mendengar kabar yang aku sampaikan.

“Gak ada apa apa kan dengan kandungannya? Sekarang dimana dia?  kenapa gak kamu temani istrimu sampai benar-benar sembuh dulu le? Ibu nggak apa-apa  kok kalau harus menunggumu pulang sampai beberapa hari lagi.” Sambung ibu khawatir.

“Tenang bu, tidak ada yang perlu dikhwatirkan. Fira udah baikan kok kemarin. Mungkin perlu istirahat saja dirumah, 1 atau 2 hari lagi dia akan menyusul pulang kesini, ditemani salah satu rekan kerja kami yang sama-sama mau pulang ke Jawa. InsyaAllah lancar semuanya bu, doanya..” kataku, kalem.

“Alhamdulillah, syukurlah. Kamu bentar lagi bakal jadi jadi ayah le, jaga baik-baik istri dan calon anakmu, fokuskan perhatianmu untuk mereka, jangan sibuk mikirin kerjaan terus. Ibu tidak sanggup kalau harus kehilangan anggota keluarga lagi…”

“Hussssh bu… ucapan  itu bisa jadi do’a, ibu jangan ngomong ngasal seperti itu. InsyaAllah Rizal akan selalu memfokuskan perhatian Rizal untuk mereka.”

“Yaah, ibu cuma menasehati kamu, biar gak terlalu sibuk ama kerjaan di kantor, sampai-sampai kesehatan istrimu tidak benar-benar kamu perhatikan le..”

“Iya, bu.”

“Yasudah, ayo masuk le. Ibu sudah buatkan gado-gado kesukaanmu…”

“Wah… mantap. Tapi mungkin lebih mantap lagi kalau kita bisa makan bersama seperti saat ayah belum meninggalkan kita, ya bu? Ayah pasti habis porsi yang paling banyak.” Kataku menerawang, jauh.

“Iya, ayahmu…” tiba-tiba air mata kembali meluncur disela-sela pipi ibu, saat aku tak sengaja menyebutkan kata ayah. Aku merasa bersalah karena sudah mengingatkan ibu pada mendiang ayah yang telah meninggalkan kami, empat tahun silam.

“Maaf bu, Rizal bikin ibu inget sama ayah lagi ya? Ibu sedih ya?” aku memeluk dan mengusap punggung ibuku, sayang.

“Sudahlah, ibu tidak apa-apa… ayo kita masuk. Wajarlah jika seorang istri merindukan suaminya,meskipun suaminya sudah lama meninggal dunia. Cintanya istri pada suami tidak akan terputus oleh kematian le, begitulah seharusnya orang berumah tangga.” Kata ibu menenangkanku, ia tersenyum mengingat kenangannya bersama almarhum ayah ketika beliau masih ada di antara kami dulu.

“Ibu hanya teringat betapa senangnya ayahmu, setiap kali kamu pulang kuliah apalagi bisa makan bersama seperti sekarang ini. Kalau saja dia masih ada sekarang.” Lanjut ibu, ia menghembuskan nafas panjang.

“Sudahlah bu, meratapi hanya akan mendekatkan kita kepada kekufuran.” Kataku mengingatkan.

“Astaghfirullah. Iya nak.” Ibuku tidak melanjutkan kata-katanya lagi.

***

   Aku sudah beristirahat di kamarku. Sendirian seperti ini membuatku mengingat kembali saat kami harus kehilangan ayah, Ramadhan empat tahun silam. Kesedihan yang sempat berlarut-larut tersebut akhirnya terobati sejak kehadiran Fira di tengah keluarga kecil kami, satu tahun silam, terlebih saat ini  Fira hamil 7 bulan, bayi kembar jika menurut perkiraan dokter. Fabiayyiaala irabbikuma tukaddziban—Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (Ar-Rahman)

***

Fira telah kembali sehat dan tadi pagi ia tiba di rumah kecil ini, sepertinya ia sedikit kelelahan setelah perjalanan panjang untuk sampai ke kampung halamanku. Maklum setelah lulus dari sebuah sekolah tinggi kedinasan, kami berdua di tempatkan di luar Jawa. Aku dan Fira menikah satu tahun yang lalu, tepat sebulan setelah wisuda kami berdua. Dan baru sebulan yang lalu kami diangkat menjadi pegawai negeri. Jadi wajar kalau penempatan kerja kita masih berada diluar Jawa.

Widya juga telah sampai di rumah tadi pagi, kepulangannya menambah kelengkapan dalam kebersamaan keluarga kecil ini. Hari-hari Ramadhan kami pasti akan semakin hangat, karena widya merupakan tipikal orang yang selalu menambah keceriaan dalam keluarga ini, tingkahnya yang kadang masih polos selalu membuat kami tertawa.

“Mas, punya rencana bikin kesebelasan ya?” celetuknya tiba-tiba saat kami berempat sedang berada di meja makan.

“Hah, apa dek? Kok kamu bisa ngomong gitu?”

“Iya, itu anaknya kalau kembar terus, 5 tahun lagi udah kebentuk tuh satu tim sepak bola, mas nanti jadi pelatih, Mbak Fira manajernya.” Katanya sambil tertawa cekikikan, entah apa yang dibayangkan anak itu.

“Hehehe, bisa aja kamu ini. Itu semua tidak lepas dari kuasa dan rahmat Allah dek. Mas gak pernah merencanakan apa-apa.” Kataku. Widya masih asik dengan cekikikannya sebelum akhirnya ia kembali mnegeluarkan celetukan.

“Widya juga mau cepat-cepat menikah seperti Mas Rizal ah, nanti.”

“Kamu ini widya, pikirin dulu itu kuliahmu, baru semester 1 udah mikirin anak, kemenyek kowe iki..” kataku setengah meledek Widya.

“Mas, ini syirik aja ama Widya.. Widya nanti juga pengen punya anak kembar ah… biar rumah Widyaa sama suami Widya nanti rame.” Lanjut Widya, masih asik dengan angan-angannya.

“Amin deh, semoga suami widya nanti juga punya pikiran sama kayak widya ya.” Sambung Fira, tulus.

“Sudah, sudah diakhiri dulu pembicaraanya. Itu sudah adzan Isya’, Rizal, Widya… kita berangkat bersama ke masjid buat shalat taraweh. Fira, sholat di rumah saja ya nduk, kandunganmu sudah cukup besar, kalau mau taraweh, sambil duduk saja ya?” kata ibu mewanti-wanti Fira. Fira mengangguk patuh.

Hari pertama puasa, kami mengakhiri buka bersama kami yang pertama di bulan Ramdahan tahun ini dengan kehangatan canda tawa, kami bertiga—tanpa Fira yang kondisi perutnya mulai membesar—berjalan beriringan menembus gelapnya malam menyambut panggilan suci untuk shalat Isya’ berjamaah di masjid sekaligus shalat taraweh.

***

Hari kedua Ramadhan selepas berbuka puasa Fira mengeluh sakit di perutnya. Aku serta ibu dan Widya yang panik langsung melarika Fira ke rumah sakit terdekat.

“Gimana dok, keadaan istri saya?” tanyaku pada dokter yang menangani Fira. Aku masih belum boleh masuk, Fira masuk ICU karena mengalami pendarahan dan pecah ketuban.

“Istri Anda harus segera di operasi, air ketubannya sudah pecah, dan pendarahan yang dialami Ibu Fira juga cukup parah. Meskipun ini belum waktunya untuk Ibu Fira melahirkan, tapi tindakan ini harus kita ambil, jika tidak nyawa Ibu Fira yang akan kita pertaruhkan. Tapi saya harus mengatakan bahwa hanya salah satu di antara Ibu Fira dan bayinya yang bisa kami selamatkan, Anda harus segera mengambil keputusan.” Kata doketer tersebut. Aku tegang. Ia tidak bisa memilih antara istri dan anak-anaknya.

“Apa tak bisa diselamatkan semua?”

“Bisa, tapi resikonya terlalu besar. Fifty-fifty.” Kata dokter itu semakin membuatku kalut.

“Bagaimana ini? Kok bisa? Kamu ini tidak bisa memperhatikan kondisi istri dan anakmu dengan baik.” Ibuku berteriak histeris tidak meyangka jika akan seserius ini masalah yang dihadapi Fira istriku.

“Maafkan Rizal, bu.” Kataku tertunduk, menahan tangis.

“Saat Fira terpaksa dirawat di rumah sakit kemarin sebenarnya karena ia terjatuh dari motor saat pulang dari kantor sendirian, bu.. Rizal sedang dinas keluar kota saat itu. Mungkin itu yang membuat kondisinya menjadi seperti saat ini.” Kataku jujur, aku kalut.

“Gimana kamu ini? Istrimu lagi mengandung kau biarkan naik motor sendiri, suami macam apa kamu ini le? Sudah, sudah.. dokter, selamatkan saja anaknya. Toh dia masih bisa mencari istri lagi, wong dia juga gak sayang sama istrinya. Ibu tidak mau kehilangan cucu-cucu ibu.” Kata ibu, tegas.

Astaghfirullah, ibu kok bisa ngomong begitu.” Kataku terkaget mendengar permintaan ibu.

“Dok, biar saya diskusikan dulu dengan ibu saya.” Lanjutku pada sang dokter.

“Baik, tapi jangan lama-lama. Nanti malah ketiga-tinganya tidak bisa diselamatkan.”

“Saya mengerti, dok.”

Setelah kami menjauh dari ruang ICU, aku terus membujuk ibu untuk tidak bersikap demikian. Widya membantuku untuk membujuk ibu yang saat itu masih bersikeras untuk mempertahankan bayi Fira, bukan Fira.

“Bu, hidup mati semua kehendak Allah, kita semua serahkan saja kepadaNya. Kita berdo’a saja semoga karunia dan rahmatNya selalu melindungi keluarga. Ini bulan yang penuh rahmat dan berkah. Tidak perlu ada yang dikorbankan. Istighfar bu,” kataku meyakinkan.

“Ibu gak mau kan kalau ada keluarga kita yang harus pergi lagi, mbak fira itu sudah menjadi bagian keluarga kita bu.” Widya coba menambahkan.

“Baiklah. Kita selamatkan dua-duanya, apapun resikonya.”

***

Operasi berlangsung lama, lewat tengah malam lampu kamar operasi masih menyala merah. Widya tidak khusyuk membaca mushaf, sementara ibu berdzikir sampai larut. Aku bersimpuh dalam sujud bermunajad meminta kemurahanNya.

Lima jam di kamar operasi, dokter memanggilku.

“Selamat Pak istri dan anak anda selamat.” Katanya.

“Alhamdulillah.” Ucap kami bersamaan, aku dan ibu menangis haru.

“Tapi,” kata dokter tersebut menggantung kata-katanya.

“Tapi kenapa, dok?” tanyaku gusar.

“Kami hanya bisa menyelematkan salah satu dari anak Anda. Maaf pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin.”

Kepalaku seperti dihantam oleh palu godam, detik yang lalu aku masih merasakan syukurku atas keselamatan Fira dan anakku, tapi sekarang aku harus menelan rasa sedih yang mendalam karena kehilangan salah satu dari anakku. Suasana 4 tahun yang lalu seperti kembali terulang.  Kami harus kehilangan seorang anggota keluarga lagi. Bahagia akan keselamtan istri dan anakku harus bercampur menjadi satu dengan rasa sedih akan kehilangan anakku  yang lainnya, membuat hati ini terbelah menjadi dua perasaan yang sejatinya memang tidak bisa disatukan dalam waktu yang bersamaan. Ini semua sudah menjadi Kehendak Allah, sebagai hamba aku hanya bisa bersabar dan berdo’a semoga kehendaknya ini semakin membuat kita mendekatkan diri kepadanNya.

Ramdahan bulan penuh rahmat, berkah. Aku sudah benar-benar merasakan rahmat, berkah itu. Meski harus kehilangan salah satu anakku, aku tetap bersyukur karena Allah telah meyelamatkan istri dan salah satu dari putra kembarku. Satu anggota keluarga baru datang, dan satu lagi pergi meninggalkan kami di Bulan Ramadhan. Peristiwa ini semakin mengikat hati-hati kami untuk senantiasa selalu mendekatkan diri kepadaNya. Semoga keluarga kecil ini tetap bisa terus bersama dan dan tetap bertemu dengan Ramadhan di tahun-tahun berikutnya. Amiin.

Redaktur: Aisyah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (4 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Semester 4 di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) yang sebelumnya sempat kuliah di Jurusan Geofisika UGM selama 2 semester, tahun ini dipercaya mendapat amanah sebagai Wakil Ketua Forum Kerjasama Rohani Islam Perguruan Tinggi Kedinasan (FOKRI PTK)

Lihat Juga

Kemuliaan Wanita, Sang Pengukir Peradaban

Figure
Organization