Topic
Home / Pemuda / Essay / Bekal untuk Hari Depan

Bekal untuk Hari Depan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Hampir setiap saya pulang ke rumah, kami sekeluarga sering menyempatkan diri untuk rehat bersama berkeliling Wonosobo, nyaris selalu mendung dan hujan. Di sela-sela perjalanan saya terbiasa mendengar setelan lagu Ebiet G.Ade, musisi legendaris yang lagunya penuh kemanusiaan, menawan ribuan sastra , terangkum begitu cerdas, tersususn begitu lugas, hebat.

Baik, disini saya tidak ingin membahas tentang jalan-jalannya, tapi penuturan Sang Ayah ketika kami berdua menunggu ibu dan adik berbelanja di sebuah pasar, saya dan ayah terlarut dalam sebuah perbincangan, hematnya, saat-saat itu adalah waktu luang ayah untuk menyampaikan bekal, bekal besar untuk saya di kemudian hari. Ketika mobil parkir, disela hujan, diiringi instrument Nicholas Hooper,nasihat-nasihat itu tertutur.

Tak pernah luput bagi Ayah untuk memberiku inspirasi untuk menjadi dosen,

“Betapa indahnya kalau kamu jadi dosen, kita bisa memformat fikrah ummat”, kata beliau. Ya, pada hari ini dunia kemahasiswaan diwarnai persekongkolan iblis yang kejam, pemikiran rusak menyeruak, ganas. Entah itu Sekularisme, Pluralisme, Liberal, komunisme, dan kawan-kawannya ,yang justru digagas dosen-dosen mereka, dosen ilmu islam yang belajar agama pada missionaris di Wisconsin, Leiden, atau Canada. Mengenaskan.

Malangnya, begitu banyak dosen nyleneh yang membuat bingung generasi ini, guru yang bukan menunjukkan ,justru membuat generasi ini berpaling dari kebenaran. Walaupun saya belum jadi mahasiswa, namun Pak Adian Husaini -aktivis anti-liberal- menuturkannya dengan tegas dalam setiap paragraf di buku-bukunya.

“Kurikulum Universitas Islam Negeri membuat orang bergeleng”, kata beliau. Masalahnya, hari ini Al-Qur’an ditafsirkan dengan metode hermeneutika (yang dijadikan kurikulum hampir di setiap Universitas Islam Negeri) , metode studi kritis Bibel yang membuat otak hilang arah, hilang tuhan pula. Bangsa yang besar ini seolah sedang mengkader guru-guru agama yang rusak aqidah dan fikrah, beware! Karena itulah ayah membuat kebijakan bagiku : kewajiban menjadi dosen. Kewajiban yang nantinya membawaku menjadi dosen, lalu rektor, kemudian menggagas kurikulum nasional, dan akhirnya, memukul mundur Liberalisasi Islam di negeri ini.

Ya Allah, dengarkanlah….

Mereka ingin hendak memadamkan cahaya Allah dengan segala ucapan mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. (As-Shaf: 8)

“Juga”,kata beliau, “kita harus jadi tokoh , agar dakwah ini semakin lancar. Bayangkan, jika ada tukang Bakso bilang ‘dilarang makan bakso babi’, yang mendengar mungkin hanya segelintir orang saja, lalu berlalu. Tapi, jika presiden bilang, ‘dilarang makan bakso babi’, maka perkataannya menyebar di seluruh media, didengarkan Asosiasi Tukang Bakso Indonesia, dan bakso babi akhirnya tamat riwayat, begitulah”.

Aku dihadapkan pada beberapa pilihan,

“jika kamu ke madinah dengan beasiswa Muhammadiyah, disana kamu ikut IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), lalu kamu jadi pimpinannya, kamu pulang ke negeri ini sebagai tokoh muda Muhammadiyah, jalan terang menuju pimpinan tertinggi Muhammadiyah”,

atau,

“bergabung dengan kawan-kawan NU, masuk ke strukturalnya, tetaplah berilah manfaat, jadilah yang paling bersinar, dan dengan cepat kamu menjadi tokoh muda NU, lalu ada jalan lurus menuju pimpinan tertinggi NU”,

juga,

“Lanjutkan halaqah, gunakan semua keahlian kita, bergabung di KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), mencuat seperti Didik Hermawan, atau Fahri Hamzah, atau Mahfudz Shiddiq dan teman-temannya, cerahkan lagi gerakan Tarbiyah, apapun posisimu”,

dan beberapa pilihan lain yang cerdas, hebat bukan main, mindset menggetarkan yang sistematis.

Akan ku coba semua jalan.

Dan, seringkali dalam sebuah diskusi di ruang tamu rumah, di samping lemari kecil berisi buku dan majalah Keluarga, beliau memberi saya majalah Sabili, saat itu bertema ‘jihad journalism’, bagaimana kita meraih pahala jihad dengan menulis. Beliau memberi contoh, DR Abdullah Azzam, yang mewarnai hidupnya dengan dua warna, hitam dan merah. Hitam adalah tinta yang tertulis demi mengajak manusia menuju kebenaran, tinta yang menggetarkan iman dan mengokohkan barisan, tinta yang mencerdaskan dan me-revolusi sebuah gerakan, tinta, tinta, tinta, sekali lagi tinta.

Dan merah, merah darah tertetes dalam medan jihad yang gersang di badan sejuk di hati, merah darah mengalir dalam memukul mundur thaghut yang tidak karuan menjajah negeri muslimin, merah darah tanda semangat menggetarkan langkah musuh yang barisannya rusak, hengkang dari medan perang, hina.

Memiliki 2 warna itu adalah pilihan cerdas, dan aku harus mencobanya, seperti yang dilakukan Abdullah Azzam, Hasan Al-Banna dan saudara-saudara beliau.

Tapi menulis saja yang sekarang sedang saya giatkan, menulis artikel, essay, renungan, cerpen ,hitung-hitung inilah latihan yang kemudian hari akan membuat kemampuan ini melejit. Beliau seringkali memberikan contoh menulis yang mengubah peradaban,

“The Common Sense, bulletin 40 halaman yang membuat amerika berdiri, Das Capital yang menginspirasi Lenin mendirikan USSR, Soviet yang besar…juga Sayyid Quthb, Ma’aalim fi Thariq-nya menyadarkan rakyat Mesir bahwa mereka sedang dijajah para thaghut, sampai Der Judenstaat, buku saku Theodor Hertzl yang menyebabkan Israel berdiri di muka bumi, 1948 lalu.

Nasehat yang kupegang gigih, ketika ayah memberiku penjelasan tentang mengumpamakan keragaman gerakan islam hari ini.

“Islam itu satu, tidak terpisah oleh gerakan apapun, bukan jadi hak satu kaum saja, islam milik semua, namun cara memperjuangkannya berbeda… seperti bangunan, ada bata, pasir, semen, batu, besi, beton dan rekan-rekannya, kesemuanya berbeda, bukan berarti harus sama, namun tujuannya satu: membangun rumah kebangkitan”,

“Muhammadiyah”, kata beliau,”fokus membuat rumah sakit dan sekolah-sekolah modern, NU masih istiqomah membangun pesantren dan menggerakkan desa-desa untuk selalu mengingat Allah dalam pengajian malam jum’at, FPI gigih memberantas kemungkaran, Gerakan Salafi giat menumbuhkan sunnah yang hampir dilupakan kaum muslimin, Jama’a Tabligh sebagai simbol pengajakan ke masjid, gigihnya bukan main, Hizbut Tahrir yang cita-citanya besar mendirikan Khilafah,teguh. PKS dengan cinta ,kerja dan harmoni mengarungi samudera politik yang kian memanas, salut.”

“begitulah kita menyikapinya, kesemuanya memiliki nilai istimewa dihadapan sejarah , kesemuanya memiliki medan juang yang mewarnai rintisan peradaban, pelangi ukhuwah yang menawan bukan?”

Dosen, menulis, : 2 patah kata itu menjadi kesimpulan bagi saya : bahwa saya harus bangkit dan belajar sungguh-sungguh. Jujur, pernah saya menganggap sekolah itu tidak penting. Penting sih? Kenapa penting? Karena dengan sekolah kita bisa tahu bahwa sekolah itu tak penting.

Baiklah, itu statement menyesatkan, jangan ditiru ‘-_-.

Keduanya bisa dimiliki dengan ilmu yang memadai, begitulah singkatnya. Bagaimana mungkin jadi dosen kalau gelar saja tak punya. Yah, dulu saya pernah mengelak, dengan mengambil sampel Buya Hamka dan Adam Malik, manusia otodidak yang menjadi petinggi negeri. Tapi itu dulu. Kini semua jabatan harus dilalui dengan strata dan level keilmuan, begitulah kata seorang teman.

Tapi, sekali lagi saya ingin mengelak, bukankah dengan banyak uang, tidak usah sekolah, kita sudah bisa memengaruhi banyak orang? Karena uang kita begitu menggiurkan bagi orang lain. Tapi…

Itu cara yang kurang bijak.

Beberapa bulan lalu saya bertemu kawan dan mendiskusikan perihal ini.

“Jujur kenapa saya nggak mentingin sekolah ya?, yang saya pikirkan sekarang adalahgimana nyari uang, biar jadi orang kaya. Apa itu benar?”

“Ilmu mas… ilmu itu menentramkan hati, ilmu bakal ngisi hati kita dengan ketawadhu’an, kamu boleh punya harta banyak, tapi kalo nggak sebanding dengan ilmunya, hidup bakal gelisah, bukannya mempengaruhi eh malah jatuh!, dipengaruhi orang, jadi boneka pula akhirnya..”

Begitulah ilmu.

Kini saya bertekad untuk menuju Timur Tengah, entah mau menuju King Saud University, Islamic University of Madinah, Universitas Ummul Qura, Al-Azhar? Atau ditakdirkan Allah menuju Eropa? Yang jelas, saya berharap S3 bisa selesai dengan cepat dan pulang ke nusantara sebagai Tokoh baru, dosen baru, rektor baru, pencerah baru bagi gelombang pemikiran yang semakin menantang.

Menulis harus jadi prioritas, bekal besar menuju surga, bekal besar untuk ‘mem-format fikrah ummat’– seperti kata ayah-, dan target itu harus tercapai…

Amin.

Itu bekal saya. Anda?

Redaktur: Aisyah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir | Alumni SMPIT Ihsanul Fikri Mungkid Magelang | Alumni Ponpes Husnul Khotimah Kuningan

Lihat Juga

Duet Bersama Sang Anak, Doktor Penciptaan Seni Teater Terbitkan Buku ‘Rembulan dan Matahari’

Figure
Organization