Topic
Home / Berita / Opini / Kenaikan BBM, Mengapa Presiden Kurang Tegas?

Kenaikan BBM, Mengapa Presiden Kurang Tegas?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Oleh Ridwansyah Yusuf Achmad

sby bbmJakarta – “Tunggu saja, tanggal sudah disiapkan,” begitulah petikan Menteri ESDM Jero Wacik pada pertengahan April 2013 ketika di wawancara oleh media massa tentang rencana kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintah.

Seperti yang telah ramai diberitakan, pemerintah berencana mengurangi subsidi BBM yang beredar di pasar. Rencana kenaikan untuk BBM jenis Premium dan Solar untuk mobil pribadi adalah dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000-Rp 7.000. Melalui beragam kampanye, pernyataan media massa dan sosialisasi ke daerah-daerah; pemerintah mencoba meyakinkan publik bahwa kenaikan BBM tahun 2013 ini dapat menyelamatkan 77% subsidi BBM yang dinilai salah sasaran.

Media massa sudah ramai memberitakan, masyarakat tampak sudah mulai bersiap-siap, dan pelaku ekonomi pun sudah membuat rencana mitigasi dampak untuk bisnisnya. Sebagian harga barang sudah mulai bergejolak seakan memanfaatkan isu kenaikan BBM ini sebagai alasan. Tak ketinggalan, Setgab pemerintah koalisi pun beberapa kali melakukan koordinasi untuk ‘mempersiapkan’ kenaikan BBM ini.

Tapi apa daya, wacana kenaikan BBM ini masih lah sebuah wacana tanpa kejelasan kapan keputusan akan diambil. Pernyataan pemerintah pada pertengahan April 2013 tentang ‘tanggalnya sudah ada’ pun tak juga terwujud. Entah memang tanggalnya belum tiba ataukah memang tanggalnya terus berubah karena belum ada keyakinan diri untuk memutuskan?

Sejatinya, pemerintah punya ruang untuk menaikkan harga BBM tanpa konsultasi dengan DPR, hal ini termaktubkan dalam UU APBN 2013. Logika ekonomi yang digunakan pemerintah juga sebenarnya sudah masuk rasio ilmiah dan kewajaran.

Pengurangan subsidi terhadap BBM adalah akibat adanya deviasi asumsi makro APBN dengan realisasinya. Pemerintah menetapkan harga minyak mentah Indonesia adalah USD 100 per barel pada APBN 2013, sedangkan faktanya harga minyak mentah Indonesia terus meningkat hingga pada April 2013 mencapai USD 109 per barel. Asumsi kurs Rupiah ke Dollar Amerika pun berubah, asumsi pemerintah pada APBN 2013 adalah USD 1 adalah Rp 9.300 sedangkan saat ini, USD sudah menembus Rp 9.971.

Pemerintah berdalih, tanggal kenaikan BBM serta berapa kenaikannya tak kunjung ditetapkan karena pemerintah belum memiliki paket kebijakan kompensasi perlindungan sosial untuk masyarakat miskin.

Menurut Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan, adanya kombinasi antara pengurangan subsidi BBM dengan kompensasi perlindungan sosial ini bertujuan untuk menyelamatkan fiskal dan mengurangi dampak sosial. Dengan kompensasi perlindungan sosial ini pemerintah berdalih dapat mengurangi risiko kenaikan jumlah masyarakat miskin hingga 2% atau setara dengan sekitar 7,5 juta rakyat.

Pemerintah kembali mencoba meyakinkan publik bahwa kebijakan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) merupakan bentuk cinta, empati dan kepedulian pemerintah kepada rakyatnya. Setidaknya mereka mengatakan demikian. Lantas mengapa BBM tak kunjung dinaikkan?

Saya melihat bila kenaikan BBM dilakukan, tidak ada pelanggaran konstitusional dan kegagalan logika ilmiah yang dilakukan pemerintah. Bahasa lainnya, pemerintah dapat kapan saja menaikkan harga BBM, tinggal Presiden mengatakan ‘tanggalnya’ maka BBM dapat naik. Tetapi menarik untuk dicermati, terkadang ‘tinggal atau tergantung Presiden’ inilah yang kerap membuat kebijakan menjadi terkatung-katung.

Ada apa dengan seorang Presiden Yudhoyono yang dipilih langsung oleh 60% rakyatnya, memimpin koalisi partai-partai politik, dan juga memiliki kewenangan konstitusional? Saya melihat ada tiga faktor yang mempengaruhi Presiden hingga membuat dia menghadapi dilema dalam mengambil keputusan kenaikan harga BBM.

Faktor pertama adalah ‘kebutuhan menjaga stabilitas politik jangka pendek’. Presiden berupaya me-mitigasi dampak politik dari kenaikan harga BBM ini. Dia mencoba memastikan setidaknya partai-partai yang berada dalam koalisinya mendukung penuh kebijakan ini agar tidak terjadi turbulensi politik akibat manuver yang dilakukan.

Presiden tentu belajar dari proses kenaikan BBM tahun lalu, dia tak ingin ‘ditikam dari depan’ oleh koalisi politiknya sendiri. Presiden percaya, bila Setgab setuju dan satu suara, maka kenaikan BBM ini akan lancar. Namun di sini sebenarnya, pertanyaan muncul tentang di mana kekuatan seorang Presiden bila untuk mengambil keputusan yang mendesak saja perlu saling menunggu dengan para tandem politik?

Faktor kedua adalah ‘membangun citra tentang kenaikan harga BBM adalah upaya menyelamatkan bangsa’. Presiden adalah jabatan hasil rekonstruksi politik, wajar bila kebijakan yang diambil memiliki ketidakpastian politis bersamanya. Memperhatikan berbagai pernyataan oleh Ring 1 Presiden, mereka kerap mengeluarkan kalimat ‘ini kebijakan tidak populis yang perlu diambil untuk menyelamatkan negara’, atau ‘kalau mau berbicara pencitraan, justru kebijakan kenaikan BBM ini bisa menjatuhkan citra, tetapi akan kami lakukan agar negara tak terbebani’. Saya memprediksi, Presiden akan menunggu waktu yang tepat hingga publik sudah teryakinkan kalau kebijakan kenaikan BBM ini adalah upaya Presiden untuk menyelamatkan negara.

Faktor ketiga adalah ‘kalkulasi pemilu 2014’. Presiden dikenal cermat dan penuh pertimbangan dalam melangkah. Selain stabilitas politik jangka pendek, tentu dia akan berpikir tentang dampak politik janga panjang. Ya! Pentas politik nasional akan tiba tahun depan. Bagaimana kenaikan BBM ini berdampak pada popularitas partai dan juga elektabilitas calon Presiden yang akan diusung tentu menjadi pertimbangan. Faktor ini juga membuat Presiden terus menarik ulur kebijakan kenaikan harga BBM ini. Itu mengapa, pemerintah seakan mencoba menggulirkan ‘bola panas’ kenaikan harga BBM ke DPR sebagai upaya mengurangi dampak politik jangka panjang.

Tak pelak, ketiga faktor ini membuat Presiden seolah-olah menghadapi dilema dalam membuat kebijakan yang sebenarnya sudah jelas dan masuk akal. Akibat lambatnya keputusan ini, pergolakan di masyarakat sudah terjadi, friksi politik juga menguat, serta debat tidak produktif semakin berkembang. Memang sulit untuk mengeluarkan sebuah kebijakan yang menyenangkan semua pihak. Terkadang bila pun bisa menyenangkan semua pihak, bisa jadi pribadi kita yang dirugikan.

Terlepas dari itu semua, Presiden harus tegas segera memutuskan kebijakan harga BBM ini, naik atau tidak jadi naik itu hak prerogatif Presiden. Tidak perlu menunggu lebih lama lagi, dan lebih baik segera memikirkan kebijakan komplemen dari kebijakan harga BBM ini.

Saya mengakhiri tulisan ini dengan mengutip perkataan Cinta di film Ada Apa Dengan Cinta?…. “Basi, Madingnya Keburu Terbit!” Jangan sampai rakyat mengatakan ini kepada Presidennya. (sbb/dtk)

Redaktur: Saiful Bahri

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (3 votes, average: 9.67 out of 5)
Loading...
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana pada International Institute of Social Studies of Erasmus University Rotterdam dan Sekretaris Jenderal PPI Belanda. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili lembaga.

Lihat Juga

Rusia: Turki Maju sejak Erdogan Memimpin

Figure
Organization