Topic
Home / Berita / Opini / Mencari Caleg Berkualitas

Mencari Caleg Berkualitas

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi - Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. (kpu.go.id)
Ilustrasi – Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. (kpu.go.id)

dakwatuna.com – Pemilihan Umum Legislatif 2014 yang menjadi ritual lima tahunan segera bergulir dengan ditandainya penjaringan calon anggota legislatif yang dimulai dari penjaringan Daftar Caleg Sementara (DCS) dan diikuti Daftar Caleg Tetap (DCT). Bukan pekerjaan yang mudah buat partai politik dalam menyusun calonnya yang akan bertarung di pemilu 2014, karna pemilu legislatif kali ini lebih ketat dibanding sebelumnya. Calon-calon ini nantinya akan menjadi ujung tombak utama dalam ajang kompetisi pemilu legislatif guna meraup suara sebanyak mungkin. Calon-calon ini pun harus bekerja ekstra keras guna meraup kursi bagi partainya dan tentunya bagi dirinya sendiri. Hal inilah yang menjadi indikasi banyaknya kecurangan dan manipulasi calon yang dilakukan parpol dalam proses rekruitmen legislatif ini. Jadi tidak aneh bila ada strategi akal-akalan partai politik guna mendapatkan caleg yang mampu berjaya di ajang liga demokrasi nanti.

Seperti diberitakan dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU) pemilu kali ini akan diikuti sekitar 245.000 calon anggota legislatif yang tersebar di 12 partai politik untuk memperebutkan kursi DPR dan DPRD. Ada 6.720 caleg dari 12 partai politik di 77 daerah pemilihan (Dapil) untuk anggota DPR dan 240.000 caleg dari 12 parpol untuk kursi DPRD. Pengajuan calon anggota legislatif ini bagi parpol merupakan bagian dari pelaksanaan pasal 54 UU Nomor 8 tahun 2012 tentang pemilihan umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Partai politik pun telah berlomba-lomba melakukan penerimaan caleg baik itu yang dipublikasikan di media massa maupun dengan strategi “jemput bola” pada tokoh-tokoh populer di mata masyarakat. Partai pun dengan genjarnya melakukan rekruitmen politik secara besar-besaran baik itu dengan cara konvensional maupun persuasif dengan cara mendekati simpul-simpul suara di tengah-tengah masyarakat. Dengan harapan dapat menemukan tokoh-tokoh alternatif populer yang mampu menjadi pendulang suara sebanyak mungkin. Proses rekruitmen politik ini pun juga meliputi caleg perempuan, karna pemilu kali ini mewajibkan keterwakilan perempuan minimal 30 persen.

Membaca Calon Anggota Legislatif

Partai politik pun berlomba untuk mendapatkan tokoh-tokoh populer baik itu dari kalangan artis, olahragawan, pemuka agama dan tokoh masyarakat yang sekiranya dapat meraup suara sebanyak mungkin. Parpol pun banyak yang melakukan penyimpangan dalam proses rekruitmen politik. Ada partai yang secara makro mempunyai karakter partai massa akan tetapi bila dilihat dari dimensi rekruitmen politik ternyata tidak menunjukkan karakater partai massa. Tidak aneh bila parpol saat ini tidak lagi menunjukkan bagaimana pengorganisasian parati politik dalam rekruitmen politik dengan baik. Ada empat menurut proses rekruitmen (Rahat dan Hazan, 2001; Hazan, 2006: Norris dalam Katz dan Crotty, 2006), yaitu: 1) Siapa kandidat yang dapat dinomikasikan? (candidacy), 2) Siapa yang menyeleksi ?, 3) dimana kandidat diseleksi?, 3) Bagaimana kandidat diputuskan? Banyak parpol telah menampilkan keempat model pengelolaan partai tersebut dan lebih menyukai proses yang top down.

Dari beberapa caleg yang maju dalam pemilu 2014 terlihat dengan jelas parpol melakukan rekruitmen terkesan setengah hati, kurang transparan dan top down. Ini terlihat di beberapa partai banyak kader yang potensial harus tersingkir dari daftar caleg. Bisa saja kader ini kurang modal ataukah kurang mempunyai kedekatan dengan elit-elit partai. Ini membuktikan  proses perekrutan caleg yang lebih mengutamakan kentalnya politik kekerabatan dan transaksional. Hal ini terlihat dari banyaknya caleg yang mempunyai hubungan kekerabatan baik itu keluarga maupun pertemanan tanpa memperhatikan track record sebagai seorang pekerja politik dapat maju di sebuah daerah pemilihan. Ada partai yang kebanjiran caleg yang mendaftar, dan sebaliknya ada pula partai yang sampai tidak mampu mendaftarkan caleg sampai hari penutupan. Seperti yang terjadi di Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) tidak mampu mendaftar satupun caleg ke KPU Sleman.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah benar partai politik melakukan seleksi yang ketat dalam proses rekruitmen legislatif?. Dengan ketentuan Undang-undang Pemilu yang menyatakan daerah pemilihan (Dapil) anggota DPR memperebutkan 3-10 kursi, sementara dapil anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota memperebutkan 3-12 kursi. Dan jumlah calon yang diajukan maksimal sebanyak kursi yang diperebutkan artinya parpol boleh mengajukan caleg sebanyak 100 persen dari kursi legislatif. Kebijakan ini pun otomatis membuat partai berlomba-lomba memajukan caleg dengan angka maksimal hanya untuk sekedar menambah perolehan suara ataupun berharap menjadi lotre hitung-hitung berhadiah. Dengan memasukkan sebanyak-banyaknya calon, parpol pun berharap dapat dihinggapi keberuntungan pada para caleg tersebut walau elektabilitas caleg tersebut sangat lemah. Asumsinya semakin banyak calon yang maju bersaing akan semakin banyak tim yang bekerja untuk mendulang suara. Bila hal ini tetap dipertahankan otomotis partai politik telah gagal dalam melakukan proses pendidikan politik pada rakyat. Parpol jelas gagal dalam proses regenerasi kader. Seharusnya parpol harus mampu mencalonkan kader-kader partainya dengan tujuan uji potensi kader untuk pencalonan pada masa mendatang dan juga untuk menguji loyalitas kader pada partainya. Belum lagi ditambah dengan UU Pemilu yang menyatakan daftar bakal calon pada setiap tiga bakal calon harus terdapat minimal satu perempuan. Ini jelas akan mengakibatkan parpol berusaha memaksakan diri mengisi sembarang calon hanya untuk sekedar memenuhi kuota terpenuhi. Bila hal ini terus terjadi dalam ritual pemilu jelas sebuah langkah mundur bagi pelembagaan partai politik di Indonesia.

Rekam Jejak Caleg

Mencari caleg yang dapat menjadi penyambung aspirasi rakyat adalah dengan membuka rekam jejak caleg dengan transparan. Setuju atau tidak setuju sudah saatnya publikasi rekam jejak para caleg mutlak diperlukan. Rakyat harus dituntut mampu mengetahui bakal caleg yang diusung. Ini semua tidak terlepas dari peran institusi demokrasi agar tetap selalu mengkritisi lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU, Panwaslu, dan media massa untuk dapat membuka rekam jejak caleg. Pembukaan rekam jejak caleg ini menjadi salah satu langkah mencari politisi yang memiliki integritas dan membuka borok-borok caleg bermasalah. Apalagi fenomena saat ini banyaknya partai politik yang menarik artis atau “pesohor” sebagai caleg menjadikan kita sebagai rakyat harus cermat dan lebih akurat dalam memilh caleg yang berasal dari artis maupun tokoh olahragawan. Apalagi caleg artis sebagian besar tidak tumbuh di habitat politik, melainkan habitat hiburan. Mereka hanya mengandalkan popularitas dan kemampuan finasial semata. Bila nantinya kita menemukan ada parpol yang berusaha menutupi rekam jejak caleg itu berarti telah terjadi persoalan dalam tubuh partai. Bisa jadi telah terjadi politik transaksional dan ujung-ujungnya akan membebani parpol itu sendiri. Dengan dibukanya rekam jejak para caleg akan menumbuhkan indikator demokrasi partisipatoris ditengah-tengah masyarakat. Dan tentunya akan mendorong lahirnya pemlih kritis yang notabene adalah pemilih pemula.

Caleg Berkualitas versus Calo Legislatif

Popularitas menjadi kunci utama dalam perhelatan demokrasi di Indonesia. Popularitas menjadi modal sosial dan itu bukan hal yang negatif. Namun dalam politik, popularitas juga harus disertai dengan kualitas agar tidak tertinggal dalam merespon isu dan memberi gagasan baru. Inilah yang diharapkan masyarakat terhadap para caleg yang akan berlaga di pemilu nantinya. Rakyat pun pada posisi disini harus tampil kritis dalam mengkritisi para caleg yang tertera di Daftar Caleg Sementara (DCS). Walau Undang-undang pemilu tidak mengatur persoalan etika terhadap gugurnya caleg yang terdaftar di DCS, akan tetapi langkah masyarakat untuk tetap mengkritisi caleg bermasalah merupakan langkah maju agar kita dapat melihat siapa wakil rakyat kita dan bukan malah memilih para “calo legislatif”. Karena caleg adalah representasi dari proses demokrasi. Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi bagi para caleg yang akan berlaga yaitu integritas, komitmen, kemampuan intelektual (visi, misi) dan tentunya kecakapan secara teknis. Yang menjadi pertanyaan sekarang mampu dan beranikah partai politik menjadi penyaring caleg-caleg yang terbukti mempunyai rekam jejak bermasalah. Apalagi KPU tidak bisa memaksakan diri untuk mengeluarkan caleg yang terbukti bermasalah dari ajang pemilu, karena aturan main yang dibuat tidak mengarah ke sana. Padahal seperti dilansir Prof. Saldi Isra, Kompas, 26 April 2013, parpol harus mampu memposisikan diri menjadi penyaring awal sebelum disaring oleh pemilih dan parpol pun harus dituntut untuk mampu merangkap secara benar kegelisahan publik atas calon yang bermasalah. Sehingga fungsi agregasi dan artikulasi norma-norma yang diutarakan banyak parpol dapat diterapkan dengan baik.

Siapapun caleg yang akan berlaga, rakyat harus cerdas dalam memilih anggota legislatif yang mampu menjadi wakil rakyat untuk membawa gerbong demokrasi dengan baik, karena calon anggota legislatif yang terpilih dalam pemilu 2014 nanti tentunya akan mencerminkan kinerja parlemen. Di sini kita akan menilai apakah kualitas pemilu 2014 akan mampu menghasilkan para pemimpin yang berkualitas ataukah sama saja dengan pemilu tahun-tahun sebelumnya memilih calo-calo legislatif.

Redaktur: Aisyah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...
Peneliti Partai Politik di Bulaksumur Empat Research dan Consulting (BERC) Yogyakarta, Penganjur Sholat Dhuha.Twitter :@Bimotry dan Pendiri Penerbit BIMOTRY

Lihat Juga

Kemenangan Erdogan Dinilai Bekukan Rencana Turki Gabung Uni Eropa

Figure
Organization