Topic
Home / Keluarga / Pendidikan Keluarga / Walau Bagaimanapun, Beliau Adalah Ibu Kita

Walau Bagaimanapun, Beliau Adalah Ibu Kita

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

tangisan ibudakwatuna.com – Kisah Al-Qomah dengan ibunya cukuplah menjadi pelajaran, betapa berharganya ridha kedua orangtua bagi kita. Dikisahkan pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ada seorang anak bernama Al-Qomah. Di saat sakaratul maut ia begitu susah mengucapkan kalimat tauhid, padahal dia seorang yang sangat taat beribadah semasa hidupnya. Ternyata murka ibunya telah menyebabkan lidahnya begitu berat untuk mengucapkan kalimat tauhid itu. Sampai akhirnya ibunya memaafkan kesalahannya, sehingga kalimat tauhid “Laa ilaaha illallah” bisa ia lafadzkan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.

Siang itu saya bersama istri pergi melihat neneknya (dari pihak ayah) yang sedang sakaratul maut, tidak sadar lagi. Sudah lebih 4 bulan beliau tidak makan, sehingga tidak ada lagi daging yang membungkus tulang. Kondisi beliau begitu memprihatinkan. Semua orang yang melihat pasti akan merasa iba. Namun ada satu hal yang lebih memprihatinkan lagi, dan membuat kami mengurut dada karenanya. Salah satu anak beliau tidak mau menjenguk beliau. Lebih empat bulan terbujur sakit dan tidak makan, hanya sekali waktu saja datang menjenguk, meskipun tinggalnya hanya berbatasan dinding saja. Bahkan di saat beliau dalam kondisi sakaratul maut, tidak juga terbuka hatinya untuk menjenguk ibunya itu untuk yang terakhir kalinya. “Begitu tebalkah kabut yang menyelimuti hati?” pikir kami ketika itu.

Kabar yang kami dengar, ketika nenek ini masih sehat ada permasalahan yang tidak kunjung selesai dengan anak sulungnya itu. Bahkan tidak hanya ibunya, seluruh saudaranya pun tidak sepaham dengannya. Ketika itu kami tidak mau mencampuri terlalu jauh, takut akan memperkeruh suasana. Namun melihat kondisi sang nenek yang semakin parah, hati sayapun tersentak. Meski posisi saya hanya sebagai menantu, sayapun merasa bertanggung jawab untuk sedikit memberi solusi. Maka saya menemui kakak tertua di keluarga beliau ini. Saya memanggil beliau bapak. “Pak, apa tidak sebaiknya kita mengalah sedikit, meminta etek (panggilan kami kepada beliau) untuk menjenguk nenek yang sedang sekarat ini. Mudah-mudahan dengan begitu akan terbuka hatinya. Beliau menjawab, “tidak perlu, dia kan tau ini ibunya, dia sudah besar, sudah bisa berpikir logis. Jadi bukan urusan kita lagi untuk membujuknya, apalagi memaksanya”. Jawaban beliau sangat tidak mengenakkan bagi saya. Sebagai kakak yang paling besar semestinya beliau lebih bijaksana memandang persoalan. Dalam kondisi seperti ini bukan saatnya lagi mempertahankan ego masing-masing. Sekarang yang dipikirkan adalah bagaimana nasib orangtua yang sedang sekarat ini. Akankah tetap dibiarkan beliau kesusahan saat sakaratul maut ini. Kalau tetap dengan ego masing-masing, berarti tidak sayang kepada orangtua yang sedang menghadapi salah satu masa terberatnya. “Haruskah api dilawan dengan api? Haruskah kebencian ditanggapi dengan kebencian?” batin saya.

Mengapa saya mengatakan masa terberat? Karena Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan bahwa sakitnya saat sakaratul maut itu bagaikan sakitnya kambing yang dikuliti hidup-hidup. Dalam riwayat lain dikatakan seperti burung yang digoreng hidup-hidup.

Melihat kondisi itu, sayapun bilang ke istri, “Dek, bagaimana kalau kita mencoba membujuk etek, mudah-mudahan Allah melunakkan hati beliau,” ujar saya. Awalnya istri saya agak urung juga karena kurang yakin akan mampu. Namun setelah saya yakinkan akhirnya ia mau juga. Maka kami minta izin untuk pergi menemui etek yang rumahnya hanya berbatasan dinding saja dengan rumah nenek. Sesampai di sana, kami dipersilakan masuk. Melihat dari aura wajah beliau, sepertinya beliau terkejut juga. Barangkali di hati beliau bertanya-tanya juga apa tujuan kami mendatangi beliau dalam kondisi seperti itu. Awalnya kami hanya bercerita-cerita ringan saja. Bertanya kabar, tentang anak kami, dan juga keluarga.

Di tengah pembicaraan, beliau berkata: “Etek bukannya tidak mau melihat nenek. Ketika etek ke sana beberapa bulan yang lalu saat nenek masih sadar, beliau ngomel-ngomel. Beliau tidak menganggap etek anak beliau lagi. Bermacam-macam omelan nenek yang tidak mengenakkan dilontarkan kepada etek. Tidak hanya nenek, lanjut beliau, bahkan saudara-saudara etek yang lainpun bersikap yang sama kepada etek. Pernah juga suatu ketika pada acara keluarga, etek datang namun etek tidak diacuhkan. Tidak seorang pun yang menyapa etek. Jadi semenjak saat itu etek putuskan, bahwa mulai hari ini saya tidak akan ke sini lagi. Anggap saja kita tidak ada pertalian darah lagi,” ucap etek menerangkan dengan nada agak tinggi kepada kami. Saya tersentak dengan apa yang beliau ucapkan itu. “Dan terus terang etek tidak ingin menjadi anak durhaka,” tambah beliau. Ucapan itu beliau ulangi hingga beberapa kali. Dalam hati saya, kalau tidak ingin menjadi anak durhaka bukan seperti ini caranya.

Hingga beberapa saat kami hanya mendengar saja penuturan etek. Kami pun tidak terlalu tahu bagaimana duduk persoalan yang sebenarnya, sehingga begitu panas perang dingin antara orangtua, anak dan mereka bersaudara itu. Namun kami tidak mau mengungkit persoalan yang mereka hadapi. Toh tidak ada gunanya juga. Yang penting bagaimana ke depannya dan bagaimana agar hati etek ini dibukakan oleh Allah Subahanahu Wa Ta’ala untuk menjenguk ibunya yang lagi sekarat itu.

Setelah beliau selesai menumpahkan segala unek-unek, sayapun mulai menanggapi. “Tek, kalau seandainya apa yang etek katakan benar, barangkali nenek khilaf. Bisa jadi ketika itu nenek juga dalam keadaan emosi sehingga apa yang beliau lontarkan tidak berdasarkan pertimbangan akal sehat. Manusia tidak ada yang sempurna. Dan bagaimanapun, hubungan antara anak dengan orangtua tidak bisa dipisahkan,” jelas saya. Kemudian saya menceritakan seorang teman Cina muallaf (baru masuk Islam). Dulu beliau dan keluarga beragama Konghucu. Alhamdulillah beliau mendapat hidayah dan masuk Islam. Namun keluarga besarnya tidak menyetujui jalan hidupnya itu. Akhirnya beliau dikucilkan dan bahkan diusir dari keluarganya. Melihat kondisi seperti itu beliau pun memilih hijrah dan dengan perasaan terpaksa meninggalkan keluarga tercinta demi menyelamatkan aqidahnya. Meskipun begitu beliau tidak hentinya berusaha dan berdoa agar keluarganya, terutama kedua orang tuanya juga Allah berikan hidayah. Namun sepertinya Allah belum berkehendak.

Setelah beberapa waktu tidak berkumpul, beliau mendapat kabar bahwa ibunya telah meninggal dunia. Mendengar kabar tersebut beliau sangat sedih, karena ibunya terlalu cepat dipanggil sebelum hidayah Allah datang kepada beliau. Saat itu beliau langsung pulang kampung dan menemui jasad ibunya untuk yang terakhir kalinya. Begitu pedih terasa, terlebih mendengar ibunya akan dibakar sesuai kebiasaan agama Konghucu. Beliau tidak mampu berbuat apa-apa. Satu hal yang menjadi pelajaran bagi kita, meskipun sudah diusir dan berbeda keyakinan sekalipun, beliau masih tetap berbuat baik kepada orang tuanya.” Saya begitu panjang lebar bercerita.

“Iya, etek tahu itu. Etek juga ada belajar agama meskipun sedikit,” jawab beliau. Tanggapan beliau itu seolah menampar kami. Seolah kami merasa telah menggurui beliau. Kami tak enak hati juga jadinya. Tapi dalam hati saya minimal kami sudah mencoba, karena tugas manusia hanya berusaha, dan Allah jugalah yang membukakan pintu hati manusia. Seketika terdengar suara adzan Ashar dan saya langsung pamitan kepada etek, karena mau menunaikan shalat Ashar di masjid. Sementara istri saya tetap di sana karena lagi tidak shalat.

Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun, ternyata sore itu Allah berkehendak lain. Nenek dipanggil Allah SWT pada pukul 17.30 sore itu. Semua keluarga sibuk mempersiapkan semuanya. Ada yang membersihkan rumah karena akan banyak yang datang ta’ziyah, ada yang sibuk mengabari keluarga-keluarga mereka yang jauh. Keluarga berencana untuk menyelenggarakan jenazah esok harinya karena masih menunggu beberapa anak beliau yang merantau di berbagai daerah. Meskipun begitu hingga malam tiba kami tidak juga melihat etek datang melihat ibunya untuk terakhir kalinya. Sayapun jadi teringat Firman Allah di dalam Al-Qur’an: Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS.2:7). “Na’udzubillah,” saya cepat-cepat beristighfar. “Mudah-mudahan tidak sampai seperti itu,” batin saya.

Alhamdulillah, keesokan paginya kami mendengar kabar bahwa etek sudah datang melihat jasad ibunya, meskipun sudah tidak bernyawa lagi. Mendengar kabar itu seakan ada rasa puas dan bahagia yang menyeruak dari balik hati ini. Minimal kami telah menjadi bagian dari orang-orang yang menyampaikan kebaikan meskipun dalam kondisi yang cukup sulit seperti itu. Semoga kita bisa mengambil pelajaran berharga dari kisah ini, Aamiin.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (13 votes, average: 8.31 out of 5)
Loading...

Tentang

Pegawai Swasta. Anggota Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia.

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization