Topic
Home / Berita / Nasional / CIR: Buruh itu Aset Bukan Sekadar Pelengkap Perusahaan

CIR: Buruh itu Aset Bukan Sekadar Pelengkap Perusahaan

dakwatuna.com – Jakarta. Buruh dalam bahasa penjajahan adalah Kuli. Eufimisme “Kuli” menjadi Buruh tetap tak mengubah nasib mereka. Konon meski penjajah telah dihapuskan dan Reformasi melampaui pekik euforianya. Kapitalisme justru kokoh menancapkan kukunya.

Mengapa buruh masih terus termarjinalkan, menurut Sapto Waluyo, Direktur Eksekutif Centre for Indonesian Reform (CIR), Posisi pekerja selama ini terpinggirkan karena tenaga/pikiran dan keahlian mereka hanya dipersepsi sebagai faktor pelengkap dari sebuah industri.

“Padahal, perusahaan modern mestinya menempatkan pekerja sebagai human capital, salah satu aset penting di samping uang, mesin dan kantor,” jelasnya kepada dakwatuna.com, yang mewawancarainya langsung di kesempatan Mayday, Rabu (1/5/2013).

Pengusaha, masih kata Sapto, merasa sebagai pemilik saham tunggal dengan investasinya, sehingga tenaga atau keahlian —bahkan nyawa yang dipertaruhkan pekerja dalam menggerakkan roda industri— tak dinilai sebagai saham.

“Padahal beberapa negara seperti Jepang atau Skandinavia telah menempatkan pekerja sebagai pemegang saham bersama,” ungkapnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Dalam kacapandang Sapto Waluyo, saham yang dimiliki bersama seperti koperasi, biasanya berskala kecil dan cenderung diremehkan. Ironisnya, pekerja di sektor BUMN pun mengalami penindasan (sebagaimana pegawai swasta), padahal sahamnya kan milik rakyat dan para direksi/komisarisnya juga digaji rakyat.

“Di sini perlu kebijakan yang menghormati hak pekerja secara komprehensif dan konsisten diterapkan,” tegasnya.

Dari fenomena demo yang mereka tuntut, para Buruh dalam aksinya kebanyakan memperjuangkan upah dan menuntut untuk menghapuskan sistem outsourcing. Tuntutannya itu dan itu lagi, jadi kesannya seperti tuntutan yang pragmatis sekali. Menurut Sapto, Upah adalah hak dasar pekerja atas pengorbanan tenaga, pikiran dan keahliannya. “Itu wajar jadi tuntutan utama,” ucap Sapto.

Lebih lanjut Sapto menjelaskan, hak lain ialah libur dan rekreasi, sehingga jika waktu liburnya dipakai untuk bekerja, dia berhak dapat kompensasi. Dalam konferensi Menteri-menteri Sosial ASEAN di Brunei Darussalam tahun 2012, terungkap bahwa di negeri jiran para pekerja berhak mengambil cuti tahunan untuk rekreasi ke mana saja dibiayai perusahaan. Untuk pekerja bermasa tugas lebih dari 10 tahun berhak untuk pergi haji/umrah atau wisata luar negeri dengan biaya perusahaan. Fasilitas itu jadi bonus di luar jaminan kesehatan keluarga dan pendidikan anak-anak.

“Tanggung jawab Serikat Pekerja untuk merumuskan dan memperjuangkan hak apa yang layak. Namun, pengurus SP harus berintegritas, jangan memperjuangkan kepentingan pribadinya semata. Pengurus SP ada yang perlente, meski anggotanya tetap merana,” kata Sapto.

Bagi Sapto, masalah outsourcing memang dilematis. Pekerja perlu kepastian statusnya, sementara pengusaha perlu efisiensi dan keberlanjutan usaha. Tugas pemerintah sebagai regulator untuk mengawasi. “Agar semua pihak mendapatkan hak dan melakukan kewajiban sesuai UU berlaku,” jelasnya. (dakwatuna.com/syamil/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lihat Juga

Mesir Umumkan Penyitaan Aset Presiden Mursi dan Pimpinan IM

Figure
Organization