Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Bentuk Kasih Sayang dalam Solidaritas

Bentuk Kasih Sayang dalam Solidaritas

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (123rf.com/Jasmin Merdan)
Ilustrasi (123rf.com/Jasmin Merdan)

dakwatuna.com – Saya mengawali tulisan kali ini dengan sebuah kisah yang terjadi di bumi Allah Tangier, beberapa abad yang lalu.
Kisah ini berlatar belakang seorang janda yang mempunyai seorang bayi yang baru berumur tiga bulan. Suaminya gugur sebagai syuhada ketika harus menjawab panggilan cinta dari Allah SWT ke bumi entah berantah yang akhirnya bumi tersebut diberi nama Andalusia. Sang suami termasuk salah satu prajurit yang berada di bawah komando panglima Tariq bin Ziyad atas instruksi Gubernur Tangier, Musa bin Nushair. Dan sekali lagi, bukan hendak membahas suami wanita tersebut atau tentang Tariq bin Ziyad. Ada hal menarik dari kisah Janda dan anaknya yang masih bayi tersebut.

Seperti kebanyakan seorang ibu atau wanita muslimah lain, tentunya ia mendidik dan merawat sang bayi dengan penuh kasih sayang, menjaga dan mencintainya sepenuh hati. Tetapi entah mengapa, ada hubungannya atau tidak, sejak kabar syahid-nya sang suami dan berita kemenangan kaum muslimin di mantan wilayah roderick tersebut, bayi janda tersebut berubah menjadi sangat rewel di malam hari. Tangisannya sulit diredam, membutuhkan waktu berjam-jam atau bahkan semalaman suntuk untuk menenangkannya. Sang ibu harus rela kedua matanya menahan kantuk semalaman dan hal tersebut berlangsung terus-menerus hingga sang anak berumur hampir setahun. Anehnya, Sang janda tidak atau enggan membawa anaknya ke tabib atau dokter pada masa itu.

Pada suatu malam yang dingin, di mana sang ibu terlelap tidur, seperti malam-malam sebelumnya anak tersebut menangis, bahkan kali ini tangisannya lebih dahsyat dari malam-malam sebelumnya. Sang ibu yang kelelahan dengan aktivitas seharian dan juga diserang rasa kantuk yang hebat, mendengar tangisan anaknya ia mengumpat, meski hanya mengumpat dalam hati. Memperbaiki posisi tidurnya dan menutup telinganya dengan selimut dan bantal. Tidak berapa lama kemudian, tangisan anaknya pun berhenti. Iapun berucap dalam hati: “ah, seandainya setiap malam yang berlalu dulu kubiarkan sejenak tangisannya, tentu tangisannya tidak merepotkanku selama hampir setahun” ia berkata seperti itu dalam hati seraya menyunggingkan senyum gembira.

Pagi harinya menjelang shalat fajr, ketika janda itu terbangun, betapa terkejutnya janda tersebut saat lentera yang dibawanya menerangi kamar tersebut, cahayanya mengenai tempat di mana bayi tersebut terlelap. Buah hatinya tersebut sudah tidak bernyawa lagi, tubuh dan alas tidurnya bersimbah darah, bahkan bagian bawah tubuh bayinya tercabik-cabik. Ini mungkin sebab tangisannya tadi malam yang dahsyat dari biasanya. Alangkah menyesalnya janda tersebut, alangkah sesalnya senyum yang ia sunggingkan, alangkah menyesalnya umpatan yang ia lontarkan. Seandainya ia bisa membayar tebusan demi bayinya kembali hidup, tentu akan ia tebus. Tetapi penyesalan hanya penyesalan, seperti air yang sudah tumpah ke tanah tidak mungkin akan kembali ke wadahnya. Peristiwa ini sempat dibawa ke ranah hukum pada masa itu, Hingga akhirnya Qodhi pada masa itu hanya memutuskan bahwa bayi itu meninggal karena diterkam hewan buas, meski qodhi pun tidak mengerti hewan berjenis apa.

Satu hikmah yang bisa dipetik untuk di qiyas-kan, bukan maksud untuk mengambil istimbat hukum dari cerita tadi, tetapi hanya sebagai tamsil atau sedikit pelajaran. Pada kondisi umat saat ini, di mana kaum muslimin di suatu tempat terzhalimi, misalnya yang terjadi saat ini di Syam (Palestine dan Suriah), Iraq, Checnya, Somalia, Arakan dan bumi Allah lainnya. Umat Islam Indonesia masih menampakkan solidaritasnya, menggalang dana, berunjuk rasa, berdoa, bahkan sebagiannya berangkat untuk membantu saudara seiman yang madzlum.

Ketika ada hal khotiir yang menimpa umat muslim Indonesia seperti adanya pornoaksi, perjudian, kesyirikan, dan hal-hal yang keji lainnya penolakan masih keras digaungkan. Umat Muslim Indonesia masih seperti seorang ibu yang mengayomi, menghibur “bayi” di kala tangisannya meledak meskipun harus rela mengorbankan waktu istirahatnya, seperti kisah di atas. Adalah tidak mungkin seorang ibu rela anaknya diterkam serigala seperti halnya saudara muslim yang tidak rela saudaranya terancam, baik terancam nyawa ataupun aqidahnya.

Bisa jadi sedikit kelengahan, bisa jadi satu kesalahan “sepele” yang dilakukan, akan berakibat fatal. Mungkin akan punahnya kaum muslimin ditempat tersebut, karena kita lupa sejenak atau mengacuhkan. Menganggap remeh bahkan menyatakan hal yang lumrah terjadi saat anak-anak kaum muslimin dibantai, bayi-bayi yang tidak berdosa disembelih, dan para wanita muslimah dilecehkan kehormatannya. Adalah menganggap enteng kekejian tidak masuk akal dalam kamus sejarah emas Islam.

Kepunahan kaum Muslimin itu bukan hal yang mustahil terjadi, seperti halnya yang banyak terjadi di berbagai tempat. Di luar dugaan, menyangka adem-ayem saja karena tidak ada raungan atau tangisan di suatu tempat tertentu yang terdapat kaum muslimin padahal kondisinya sama seperti janda tersebut yang menyangka bayinya telah tenang karena tangisannya sudah hilang, tetapi sebaliknya bayi itu tidak bisa menangis bukan karena tenang, tetapi karena nyawanya telah dicabut.

Solidaritas memang terlihat seperti hal sepele, tetapi tidak mungkin sepele jika Allah SWT banyak menyebutnya di dalam al-Quran? Hal yang remeh (di mata manusia) jika disepelekan dan ditinggalkan bukan tidak mungkin akan membuahkan kehancuran. Bukankah kita sudah banyak mengetahui tentang Ayat-ayat dan Hadits bahkan Maqolah para ulama tentang muhim-nya persaudaraan sesama muslimin?

Kadangkala kehancuran, kepunahan, penyesalan itu didapat dari hal-hal yang tidak terkira, yang di luar dugaan manusia.

Siapa yang mengira?

Abbas As-Saffaah mungkin tidak pernah berpikir bahwa dinasti Abbasiyah yang dibangunnya dihancurkan tentara tartar yang tidak pernah dikenalnya pada masa itu!

Tariq bin Ziyad mungkin tidak pernah terlintas bahwa pengorbanan yang ia tempuh dengan berdarah-darah menaklukkan Andalus akhirnya harus direbut dan di bumi hanguskan oleh kaum kafirin!

Dan, Bani Utsman pendiri kekhalifahan Turki Utsmani yang tidak mengira sebab keruntuhannya dihancurkan dari dalam dari seorang Yahudi bernama Mustafa kemal?!

Kita hanya berharap dengan secuil kepedulian, sepatah doa, setitik tangis peduli dan prihatin, Allah SWT akan menjadikan saudara-saudara seiman yang madzlum (didzolimi, terzhalimi) menjadi hujjah di hari kiamat kelak.

Alangkah indahnya perkataan yang keluar dari ‘izzah Khalifah Al-Mu’tashim:

“Sesungguhnya darah kalian adalah darahku, harta kalian adalah hartaku, kehormatan kalian adalah kehormatanku. Seandainya mereka (kaum kafirin) melecehkan saudari (saudara seiman kami) maka akan kugempur dengan gempuran yang takkan pernah dilihatnya dalam lembaran sejarah.”

Subhanallah…

Perkataan al Mu’tashim billah ini terucap tatkala seorang muslimah dilecehkan oleh salah seorang tentara Romawi, bukan hanya sekadar berucap, tetapi beliau menjawab panggilan tersebut dengan menaklukkan Amuriah, daerah romawi tempat muslimah yang dilecehkan tersebut.

Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita meneladani kebaikan-kebaikan beliau sebagaimana Allah memudahkan banyak rahmat-Nya untuk kita setiap harinya.

Wallahu ta’ala a’lam bis showaab.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (3 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...
Mahasiswa Ma�had Hasan bin Ali Samarinda & Pengajar di Ma�had Tahfidzul Quran Subulana Bontang, Kalimantan Timur.

Lihat Juga

Bukan Mau tapi Siap, Inilah 4 Hal yang Wajib Dilakukan Muslimah Sebelum Menikah

Figure
Organization