Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Membangun Integritas Pribadi

Membangun Integritas Pribadi

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (donialsiraj.wordpress.com)
Ilustrasi (donialsiraj.wordpress.com)

 

dakwatuna.com – Islam merupakan sebuah kebaikan, intisari dari kebaikan dan hal yang paling baik yang pernah ada. Sedangkan dakwah merupakan proses menyampaikan kebaikan itu sendiri kepada seluruh manusia. Dan manusia sebagai objek kebaikan tersebut memiliki fitrah kecondongan kepada hal-hal yang baik. Manusia secara alamiahnya akan lebih memilih hal-hal yang baik untuk dirinya. Oleh karena itulah seharusnya manusia mau menerima apa yang dibawa oleh para penyeru dakwah, apa yang disampaikan oleh aktivis dakwah. Yaitu nilai-nilai kebaikan yang terkandung di dalam Islam.

Tetapi kenyataannya ternyata tidak semua manusia mau menerima dakwah Islam. Bahkan lebih dari itu ada orang-orang yang berbalik membenci dakwah ini. Pertanyaannya apakah dakwah Islam yang menyebabkan penolakan? Atau kah nilai-nilai Islam itu sendiri yang membuat mereka benci? Sangat tidak logis menyalahkan dakwah karena dakwah adalah proses kerja untuk menuju kebaikan. Apalagi jika kita menunjuk nilai-nilai Islam yang menjadi muatan dakwah, karena ia turun langsung dari Sang pemilik kebaikan di seluruh alam semesta. Oleh karena itu yang paling logis untuk dikoreksi ketika terjadi penolakan terhadap dakwah dan Islam adalah pelaku dakwah atau subjek dakwah yang lebih dikenal dengan aktivis dakwah itu sendiri.

Penolakan dan rasa benci yang muncul terhadap dakwah itu sendiri seringkali disebabkan karena si aktivis dakwah tersebut. Baik karena kesalahan dalam proses yang dijalankan ataupun faktor internal pribadi dari aktivis dakwah tersebut. Salah satu kesalahan yang dilakukan oleh aktivis dakwah adalah gagal dalam membangun integritas pribadi di tengah-tengah objek dakwahnya. Kegagalan membangun citra dan nilai-nilai positif yang tampak dan terasa di tengah-tengah objek dakwah kita. Sehingga dakwah yang disampaikan, nilai-nilai Islam yang disyiarkan terasa “hambar” tanpa ruh.

Membangun integritas pribadi berarti mampu membangun citra dan nilai-nilai positif yang ada dalam dirinya. Menampakkan hal-hal positif tersebut sehingga kebaikan-kebaikan yang ada dalam diri kita mampu dirasakannya kebermanfaatan di tengah-tengah objek dakwah.  Atau dengan kata lain integritas pribadi seorang aktivis dakwah adalah sebuah bentuk keteladanan yang diberikan di tengah-tengah objek dakwah. Di sinilah sebagian aktivis dakwah tidak mampu melakukannya dengan baik. Sehingga kebaikan yang ada di dalam dirinya hanya terasa untuk pribadi aktivis dakwah tersebut.

Muhammad saw sebelum menjadi Rasul, sebelum menyampaikan kalimat tauhid dan sebelum mengajak kepada Islam telah mampu dan berhasil membangun integritas pribadi serta keteladanan di tengah-tengah penduduk Quraisy di kota mekah. Tidak ada penduduk mekah yang tidak mengenal nama Muhammad bin Abdullah. Dan tidak ada yang diketahui oleh masyarakat mekah dari seorang Muhammad kecuali hal-hal baik yang ada dalam diri pemuda tersebut. Puncaknya Muhammad saw diberikan gelar Al Amin (yang paling dipercaya) karena sikap dan kepribadian beliau yang begitu mempesona orang-orang mekah.

Bisa kita bayangkan dengan begitu luar biasanya integritas pribadi yang telah dibangun oleh Rasul. Begitu baiknya citra Rasul di mata masyarakat mekah. Bahkan tidak ada satu pun orang di kota mekah yang tidak mempercayai kata-kata yang dikeluarkan oleh Rasul. Dakwah yang dilakukan oleh Rasul masih sangat berat. Sepuluh tahun di kota mekah, Rasul pernah merasa begitu sedih karena sedikitnya jumlah orang yang bergabung dengan Islam. Pertanyaan sekarang bagaimana dengan kita? Wajar saja jika dakwah yang kita lakukan belum menghasilkan apa-apa, belum menyentuh siapa-siapa. Karena diri kita ini pun belum pantas mendapatkannya.

Setidaknya ada tiga hal yang bisa kita lakukan dalam membangun integritas pribadi. Yang saya menyebutnya “3 keshalihan”. Yang jika seorang aktivis memiliki tiga keshalihan ini maka ia telah berhasil membangun integritas pribadi yang baik di tengah masyarakat. Dan ia telah mampu menjadikan dirinya sebagai teladan di tengah-tengah objek dakwahnya.

Pertama, keshalihan ibadah. Artinya seorang aktivis dakwah harus baik dari sisi ibadah. Baik dari sisi kuantitas (jumlah) ibadah yang dilakukan dan kualitas ibadahnya. Termasuk juga dalam keshalihan ibadah ini adalah apa yang disampaikan imam syahid Hasan Al Banna dalam muwashafat yaitu “shahihul Ibadah”. Atau dengan kata lain ibadah yang benar. Benar dalam tata cara pelaksanaan yang terbebas dari segala bid’ah. Dan juga benar dari sisi niat yang hanya tertuju kepada Allah swt. Membangun keshalihan ibadah merupakan hal penting, sebab intisari dari dakwah adalah mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah swt. Sehingga dalam prinsipnya seorang aktivis harus mampu melakukan ibadah sebelum mengajak orang lain. Hal ini diperlukan agar terhindar dari cap negatif dari objek dakwah dan azab Allah swt.

Yang kedua, adalah keshalihan secara sosial. Artinya seorang aktivis dakwah harus baik secara sosial. Mampu bersosialisasi di tengah-tengah objek dakwahnya serta mampu berkomunikasi dengan baik kepada seluruh objek dakwahnya. Termasuk juga dalam keshalihan pribadi adalah memiliki simpati dan empati kepada seluruh objek dakwah. Kedua hal itulah yang diperlukan untuk membangun dan menciptakan hubungan sosial yang baik dengan seluruh objek dakwah.

Sebagai yang pernah dicontohkan oleh Rasul adalah bagaimana rasul memiliki rasa empati yang begitu besar dengan berkunjung ke rumah orang yang sering menghina dan meludahinya ketika orang tersebut jatuh sakit. Dan jelas dampak dari empati yang diberikan Rasul adalah keberislaman orang tersebut. Keshalihan pribadi ini bertujuan untuk mengkomunikasikan dan mensyiarkan keshalihan ibadah seorang aktivis dakwah kepada seluruh objek dakwahnya. Oleh karena itulah, setelah seorang aktivis dakwah mampu membangun keshalihan dalam hal ibadah yang harus dilakukannya adalah membangun keshalihan sosial. Atau dengan kata lain bagaimana menjadi pribadi yang menyenangkan dan diterima di tengah-tengah objek dakwah.

Yang terakhir adalah keshalihan politik atau keshalihan kepemimpinan. Maksudnya adalah seorang aktivis dakwah harus memiliki kecakapan atau kemampuan dalam hal memimpin. Memimpin dalam artian bagaimana kehadiran seorang aktivis dakwah di tengah-tengah objek dakwahnya harus memberikan manfaat yang besar. Kehadirannya harus mampu memimpin rekan-rekannya menuju perbaikan diri. Jangan sampai kehadiran seorang aktivis dakwah di tengah objek dakwahnya tidak memberikan dampak apa-apa. Atau dengan kata lain hadir atau tidaknya dia dalam komunitas tersebut sama saja. Maka jika itu yang terjadi maka kita gagal memiliki keshalihan dalam hal kepemimpinan.

Keshalihan dalam hal kepemimpinan juga dapat didefinisikan sebagai kemampuan yang baik seorang aktivis dakwah untuk menjadi problem solver untuk setiap masalah yang dialami oleh orang-orang yang menjadi objek dakwahnya. Keshalihan kepemimpinan bisa diartikan sebagai kebijaksanaan dalam memberikan masukkan dan solusi atas setiap permasalahan yang terjadi. Hal yang sama yang pernah dilakukan oleh Rasul ketika Rasul memberikan solusi yang brilian untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara kabilah yang ada di Mekah dalam masalah peletakan hajar aswad.

Tiga hal itulah yang harus dimiliki oleh setiap aktivis dakwah untuk membangun integritas pribadi dan memberikan keteladanan di tengah-tengah objek dakwah. Dan ketiga hal tersebut akan mampu kita dapatkan dengan menjalani proses tarbiyah dengan baik.

Wallahu a’lam bisshawwab.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 9.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya. Aktif dalam Lembaga Dakwah Kampus NADWAH UNSRI sebagai kepala departemen PPSDM. Mantan ketua Umum Lembaga Dakwah Fakultas Teknik KALAM FT.

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization