Topic
Home / Pemuda / Essay / Agar “Pacaran” Terasa Lebih Bermakna

Agar “Pacaran” Terasa Lebih Bermakna

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (kawanimut / inet)
Ilustrasi. (kawanimut / inet)

dakwatuna.com –  “Adikku, seandainya agama kita membolehkan kita pacaran maka kakak akan carikan seorang pacar yang shalih untukmu. Namun agama kita melarang kita pacaran sebelum menikah. Makanya adik melihat kakak tidak pacaran hingga masa itu tiba. Alangkah lebih baik kita manfaatkan waktu yang tersedia untuk berkarya daripada sibuk memikirkan si dia yang belum halal menjadi milik kita.” Salah satu cuplikan status Facebook saya beberapa waktu lalu.

Menariknya, ada beberapa teman yang menanggapi begini: “Iya, memang saya sedang dekat dengan seseorang, tapi kami tidak pacaran (Wah, jujur sekali ya, padahal tidak bermaksud menyenggol).” Seorang teman yang lain juga berkomentar: “Pacaran tu hanya status aja bang. Ada juga orang gak mau dibilang pacaran, tapi tingkahnya bahkan bisa dibilang sama dengan orang yang pacaran, gak ada bedanya doooong?”. (Dalam hati saya, pacaran hanya demi sebuah status?)

Lalu saya jawab: “Dekat dengan seseorang atau bahkan dengan banyak orang sih tidak apa-apa. Malahan kita disuruh untuk berteman dengan banyak orang. Tapi niatnya harus benar dan tata cara komunikasinya juga diatur di dalam Islam. Tidak boleh berdua-duaan, menundukkan pandangan, menjaga aurat dengan lawan jenis, tidak boleh ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita), menjaga kemaluan, dll. Jangan sampai niat kita berteman, tapi bukannya manfaat yang kita dapat tapi laknat Allah yang kita terima.” Kemudian saya lanjutkan menanggapi komentar kedua:”Relakah kita menggadaikan apa yang kita pahami selama ini hanya demi sebuah status? Ironis sekali hanya agar dibilang kerenz karena memiliki pacar, kita rela untuk melanggar aturan dan norma-norma adat bahkan norma agama kita? Bukankah di dalam agama kita berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan muhrim itu dilarang? Lalu pacaran seperti apa yang islami itu?” Yakinkah kita bahwa orang yang kita pacari saat ini akan menjadi suami/istri kita di kemudian hari? Relakah kita menduakan Allah dengan seorang yang belum halal bagi kita? Relakah kita membagi hati kita sekarang, dan sisanya baru kita berikan kepada suami/istri kita yang sah ketika sudah menikah nantinya? Relakah seandainya nanti kita memiliki seorang suami/istri yang sudah gonta-ganti pacar hingga beberapa kali? Bukankah agama kita mengatakan bahwa laki-laki yang baik-baik itu untuk wanita yang baik-baik dan wanita yang baik-baik untuk laki-laki yang baik-baik pula (Q.S. An-Nur: 26)? Bukankah kalau boleh kita terjemahkan ayat itu menjadi: “Lelaki yang pacaran itu untuk wanita yang pacaran dan wanita yang pacaran untuk laki-laki yang pacaran pula?”

Sekilas dari fenomena di atas tampak bahwa kecenderungan kepada lawan jenis memang tidak bisa dihindari. Itu adalah fitrah manusia. Kalau dilanggar maka akan fatal juga akibatnya. Sebagaimana Allah juga sudah mensinyalir di dalam Al-Qur’an: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. 3:14).”

Itulah indahnya Islam. Ternyata Islam tidak menampik akan semua itu, bahwa manusia memiliki perasaan kecenderungan kepada lawan jenis itu wajar. Maka Islam memberikan sebuah solusi berupa jalan menikah bagi yang sudah mampu, untuk menghalalkan hubungan yang pada awalnya haram itu. Dan bagi yang belum mampu, hendaknya berpuasa karena puasa dapat membetenginya (HR Bukhari dan Muslim).

Ada sebuah kutipan menarik, seperti apa yang ditulis oleh Salim A Fillah di dalam bukunya “Indahnya Pacaran Setelah Menikah,” berbunyi: “Inilah puasa panjang syahwatku, kekuatan ada pada menahan dan rasa nikmat itu terasa, di waktu buka yang penuh kejutan.” Maksudnya biarkan kesabaran membaluti rasa penasaran itu hingga datang waktu pernikahan agar kenikmatan yang kita rasakan full di masa yang indah itu. Maka di sanalah pacaran itu akan terasa lebih bermakna ketika berkumpulnya dua orang anak manusia dalam sebuah ikatan cinta yang diridhai oleh Allah SWT dan dinaungi oleh para malaikatNya (Sebut: Indahnya Pacaran Setelah Menikah).

 

Begitu pentingnya pernikahan, sehingga sering kita saksikan aktivitas-aktivitas yang layaknya dilakukan oleh orang yang sudah menikah, namun juga dilakukan oleh orang-orang yang belum menikah. Berapa banyak kita saksikan, seorang pemuda dan pemudi yang nyatanya masih sebagai pelajar dan belum menikah, namun sudah berani pergi ke mana-mana berdua, berboncengan berdua, pegang-pegangan tangan, pelukan, ciuman bahkan sudah berani melakukan hubungan layaknya suami istri. Na’udzubillah. Tidak sedikit kasus-kasus asusila dan hamil di luar nikah bermula dari status pacaran yang ada. Nah kalau sudah hamil, yang rugi ya wanita juga. Kalau buat pria si hidung belang mata keranjang sih enjoy-enjoy saja, (Ya, maksudnya enjoynya di dunia, kalau di akhirat ya sama-sama celakalah).

Peran berbagai pihak dituntut di sini, agar para muda-mudi yang seharusnya menuntut ilmu dan membekali dirinya dengan berbagai keterampilan, tidak menjerumuskan dirinya kepada aktivitas-aktivitas yang akan menghancurkan masa depannya itu. Kedua orangtua memiliki peran sentral dalam mendidik dan mengawasi anak-anaknya, seorang mamak berperan mengayomi kemenakannya, masyarakat dan lingkungan turut memiliki peran sebagai social kontrol, bukannya bersikap (itu anak si anu, itu kemenakan si anu, bukan anak saya bukan kemenakan saya), pemerintah dengan kekuasaannya menelurkan kebijakan-kebijakan strategis dalam rangka menyelamatkan masa depan generasi penerus bangsa ini. Tanpa sokongan dan dukungan dari berbagai elemen tadi, mustahil akan lahir para penerus bangsa yang bermoral, bermartabat dan berakhlak mulia di masa yang akan datang. Bukankah mencegah jauh lebih baik daripada mengobati??

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (8 votes, average: 9.50 out of 5)
Loading...

Tentang

Pegawai Swasta. Anggota Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia.

Lihat Juga

Bukan Mau tapi Siap, Inilah 4 Hal yang Wajib Dilakukan Muslimah Sebelum Menikah

Figure
Organization