Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Kapitalisme Zaman Nabi Syu’aib

Kapitalisme Zaman Nabi Syu’aib

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Mengenal Kapitalisme

Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Rasanya tidak asing lagi kata kapitalisme ini bagi kita. Sudah sering sekali kita mendengar kata itu bahkan serasa mengganggu di telinga. Betapa tidak, paham yang melegalkan para pemilik modal untuk terus mengembangkan usahanya dalam rangka meraup untung sebesar-besarnya ini telah membuat banyak jurang perbedaan kelas ekonomi di dalam masyarakat. Keuntungan yang diperoleh murni untuk kepentingan pribadi. Ini berakibat yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin tak tertolong. Sehingga keadilan yang menjadi janji bangsa Indonesia seakan menjadi utopia belaka. Tidak hanya di negara Indonesia, di hampir berbagai belahan dunia, kapitalisme seolah menjadi raja yang mengatur segala interaksi ekonomi negara baik ke dalam maupun ke luar.

Seakan-akan dunia Internasional sudah mengagungkan paham ini sebagai sistem terbaik untuk mengurusi masalah perekonomian. Dan kini sistem ekonomi kapitalisme menjadi alat bagi bangsa barat untuk menjerat negara-negara kecil. Kepentingan bangsa barat ini bertambah lancar semenjak dunia internasional menyepakati adanya pasar bebas. Kebebasan dalam bertransaksi jual-beli tanpa adanya batasan perbedaan negara. Artinya negara sah-sah saja untuk membuka lapaknya di negara lain. Ini semakin membuka lebar pintu masuk bagi para pemodal untuk terus meraup keuntungan yang besar. Bagaimana dengan negara-negara yang masih berkembang, seperti Indonesia? Sudah barang tentu negara-negara dunia ketiga ini harus berjuang keras untuk dapat menyaingi para penguasa keuangan dunia. Kalau kita lihat kondisi sekarang ini, bangsa Indonesia belum siap untuk bersaing.

Justru sebaliknya, Indonesia menjadi pasar yang sangat strategis bagi bangsa-bangsa maju. Hal ini telah menyandera masyarakat Indonesia dalam jerat konsumerisme. Tingkat konsumsi masyarakat Indonesia kian hari kian meningkat.

Ironi memang, tetapi itulah kenyataannya. Kalau kita membuka kembali cerita sejarah zaman para Nabi, kita akan menemukan sebuah kemiripan kisah kapitalisme ini. Lebih tepatnya pada zaman Nabi Syu’aib. Al Qur’an telah merekam kisahnya dengan baik dan penuh pelajaran untuk kita semua tentang bobroknya sistem kapitalisme ini. Memang kisah kapitalisme zaman Nabi Syu’aib tidak serumit zaman sekarang. Dahulu belum mengenal sistem keuangan internasional, juga belum ada lembaga pendonor seperti IMF, World Bank atau ADB yang terus menyebar ranjau utangnya ke negara-negara berkembang. Akan tetapi secara substansi nilai sosial yang terjadi tidak berbeda.

Kaum Nabi Syu’aib

Negeri itu bernama Madyan. Di situlah Nabi Syu’aib diutus untuk memberikan peringatan kepada seluruh kaumnya untuk kembali ke jalan Allah SWT.

Dan kepada penduduk Madyan, (Kami telah mengutus) saudara mereka Syu’aib, dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, harapkanlah (pahala) hari akhir, dan jangan kamu berkeliaran di bumi berbuat kerusakan.” (QS. Al Ankabut: 36)

Nabi Syu’aib menyeru akan sebuah kesalahan sistem sosial yang terjadi dengan kaumnya, Madyan. Ya, negeri itu memang memiliki tingkat perekonomian yang tinggi. Kota ini terkenal dengan iklim perdagangannya yang sudah mapan. Namun ada satu hal yang membuat ganjal dan menjadi perhatian penuh bagi Nabi Syu’aib. Ialah kecurangan para pedagang kota itu yang mengakibatkan sistem ekonomi yang tercipta tidak sehat. Al Qur’an kembali menegaskan kelalaian penduduk Madyan yang notabene telah Allah SWT beri karunia lebih. Kesejahteraan yang tercipta di kota itu bukanlah melalui jalan yang benar. Allah tidak meridhai kebiasaan para pedagang Madyan, sehingga diutuslah Nabi Syu’aib. Dalam Firman-Nya:

Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syu’aib. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan baik (makmur). Dan sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab pada hari yang membinasakan (kiamat).” (QS. Hud: 84)

Bagaimana bisa kita menganggap tindakan kaum Madyan yang mengurangi takaran dan timbangan sebagai sebuah tindakan kapitalis? Memang dari segi wujud memang kita tidak menemukan kesamaan definisi kapitalisme itu sendiri. Toh sampai sekarang tindakan mengurangi berat timbangan masih marak dilakukan orang dan itu bukan bentuk kapitalisme sesungguhnya yang saat ini tersistematis. Namun jika kita analisis lebih dalam lagi bahwa hal kecil yang sudah terjadi pada zaman Nabi Syu’aib ini menjadi bibit tumbuhnya konsep kapitalisme modern. Negeri makmur yang tidak berdiri pada asas keadilan. Itulah titik poin kesamaan dari apa yang terjadi pada kota Madyan dengan konsep kapitalisme modern. Bibit itu sudah muncul sejak dahulu, dan Allah telah memperingatkan mereka melalui Nabi Syu’aib.

Takaran dan timbangan bisa mengacu pada dua hal berikut; perbuatan dan alat produksi. Takaran merupakan buah dari perilaku seorang pedagang. Sedangkan timbangan bisa kita arahkan kepada alat produksi. Dan kedua hal ini sangat bergantung pada pedagangnya. Ketika motivasi utama yang dipegang oleh para pelakunya hanyalah keuntungan semata, maka tidak mustahil peluang kecurangan itu hadir dan terwujudkan. Asas keadilan dan kebenaran diabaikan demi kepentingan individu. Inilah yang mengilhami Adam Smith (1723-1790) dengan teorinya “setiap individu secara terus-menerus senantiasa mencari pekerjaan yang paling menguntungkan dirinya.” Teori tersebut melupakan unsur moralitas bahwa kehidupan bersosial juga perlu memperhatikan asas keadilan, meskipun memang kenyataannya kemampuan tiap individu berbeda-beda.

Kembali kepada pedagang Madyan yang terus memelihara sifat tamaknya akan materi sehingga membutakan mata hati mereka akan jalan kebenaran. Bibit kapitalisme yang terus tumbuh dalam diri mereka membuat Allah semakin murka. Ditambah dengan dicampakkannya seruan utusan-Nya seperti yang diterangkan dalam Al Qur’an.

Mereka berkata: “Hai Syu’aib! Apakah agamamu yang menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang disembah nenek moyang kami atau melarang kami mengelola harta kami menurut cara yang kami kehendaki? Sesungguhnya engkau benar-benar orang yang sangat penyantun dan pandai.” (QS Hud: 87)

Seruan kebenaran ditolaknya. Sistem kapitalisme yang telah membuat kaum Madyan lalai akan agama Allah, tenggelam dalam kenikmatan duniawi. Sehingga tak pelak Allah kemudian mendatangkan azab bagi mereka. Seperti yang tercantum dalam Al Qur’an.

“Mereka mendustakannya (Syu’aib), maka mereka ditimpa gempa yang dahsyat, lalu jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka.” (QS. Al Ankabut: 37)

Begitulah akhir kisah tragis penduduk yang memuja sistem ekonomi kapitalisme. Perdagangan yang tidak dilandaskan pada asas kejujuran dan keadilan telah membuat orang-orang terjerumus ke lembah hitam azab Allah SWT. Dan semoga bangsa Indonesia bisa belajar dari kisah ini bagaimana menciptakan iklim perekonomian yang sehat, yang telah diatur di dalam agama. Wallahualam bishowab.

Disarikan dari: Prasetyo, Eko: Kisah-Kisah Pembebasan dalam Al Qur’an: Pusham UII: 2012

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (6 votes, average: 8.50 out of 5)
Loading...

Tentang

Pemuda kelahiran Batang, Februari 1993 ini sekarang aktif sebagai mahasiswa Statistika-Universitas Gadjah Mada angkatan 2010. Selama menempuh pendidikan terutama semenjak duduk di bangku SMA, hamid �panggilan akrabnya- tak pernah absen untuk berkontribusi dan berkarya melalui organisasi sekolah. Pun ketika mengenyam pendidikan tinggi, aktivitas organisasinya tidak terhenti. Terbukti dia pernah bergabung ke dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Statistika (Himasta) FMIPA UGM dan menjadi ketua BEM KM FMIPA UGM periode 2012. Pemuda yang begitu menggemari olahraga sepak bola dan futsal ini sekarang aktif di DPM KM FMIPA UGM dan BEM KM UGM. Banyak prestasi yang sudah ditorehkan, salah satunya sekarang dia menjadi peserta Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis (PPSDMS) Nurul Fikri angkatan VI bersama 29 mahasiswa lainnya. Beberapa kali menjadi finalis lomba dan sudah banyak mengisi acara-acara pelatihan mahasiswa baru merupakan aktivitas lainnya di luar kuliah dan organisasi.

Lihat Juga

Seminar Nasional Kemasjidan, Masjid di Era Milenial

Figure
Organization