Topic
Home / Narasi Islam / Politik / Islam, Politik, dan Kepemimpinan: Senyawa tak Terpisahkan (Bagian ke-2, Selesai)

Islam, Politik, dan Kepemimpinan: Senyawa tak Terpisahkan (Bagian ke-2, Selesai)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Urgensitas Kekuasaan Menurut Islam

Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Kekuasaan dan kekayaan adalah dua hal yang berpotensi mendatangkan fitnah bagi pemiliknya. Sejarah manusia menunjukkan hal itu, maka lahirlah Fir’aun, Qarun, Hamman, Abu Jahal, George W. Bush, dan lainnya. Tetapi, sejarah juga menceritakan bahwa kekuasaan dan kekayaan juga bisa mendatangkan kemaslahatan, kekuatan, dan rahmat bagi manusia yakni ketika dia dimiliki oleh orang yang shalih dan amanah, maka lahirlah Nabi Sulaiman dan Nabi Yusuf ‘Alaihimassalam, Khadijah, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin’Auf, Umar bin Abdul Aziz Radhiallahu ‘Anhum, dan lainnya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada Amr bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu:

يَا عَمْرُو نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ

“Wahai Amr, sebaik-sebaik harta adalah harta yang ada pada orang shalih.” (HR. Ahmad No. 17096, Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No.1241, Abu Nu’aim, Ma’rifatush Shahabah, No. 4455. Ibnu Hiban No. 3210. Imam Al ‘Iraqi mengatakan: sanadnya shahih. Lihat Takrij Ahadits Al Ihya No. 3234. Juga dishahihkan oleh Abu ‘Awanah, Ibnu Hibban dan Al Hakim. Lihat Fathul Bari, 8/75)

Pernyataan Rasulullah ini menjadi jawaban atas ketakutan sebagian manusia yang mutawarri’ah (super hati-hati) terhadap harta dan kekuasaan.

Pastinya, Islam memandang kekuasaan sebagai salah satu sarana efektif untuk inkarul munkar, dan menegakkan keadilan, serta melindungi agama sebagaimana kata Imam Al Ghazali. Oleh karena itu Utsman bin Affan Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:

إن الله ليزع بالسلطان ما لا يزع بالقرآن

“Sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan wewenang kepada penguasa untuk menghilangkan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan oleh Al Quran.” (Imam Ibnu Katsir, Al Bidayah wan Nihayah, 2/12. Dar Ihya At Turats)

Kita akui dan melihat adanya manusia atau keadaan yang tidak bisa berubah menuju baik, dengan hanya petuah, nasihat, dan bimbingan Kitabullah. Mereka baru dapat dirubah dengan kekuatan dan wewenang kekuasaan, berupa aparat dan peraturan. Ketika Ahmadiyah tidak bisa diajak kompromi dengan ayat dan nasihat, akhirnya masih bisa diredam dengan SKB tiga menteri. Ini menunjukkan kebenaran ucapan Utsman bin Affan.

Perumpamaan Kitabullah dan kekuatan kekuasaan, oleh Al Quran disebut persandingan antara Kitabullah dan besi. Allah Ta’ala berfirman:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al Hadid (57): 25)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengomentari ayat ini dengan mengatakan:

فَبَيَّنَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَنَّهُ أَنْزَلَ الْكِتَابَ وَأَنْزَلَ الْعَدْلَ وَمَا بِهِ يُعْرَفُ الْعَدْلُ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلَ الْحَدِيدَ . فَمَنْ خَرَجَ عَنْ الْكِتَابِ وَالْمِيزَانِ قُوتِلَ بِالْحَدِيدِ

“Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa Dia menurunkan Al Kitab dan neraca keadilan, dan apa-apa yang dengannya keadilan itu bisa diketahui, agar manusia dapat menegakkan keadilan itu, dan Dia juga menurunkan besi. Barangsiapa yang telah keluar dari Al Quran dan Neraca, maka dia diluruskan oleh besi (pedang/kekuataan).” (Majmu’ Fatawa, 9/276. Mawqi’ Al Islam)

Pandangan Ulama Islam 

Bagi seorang muslim, pandangan ulama dan petunjuknya tidak mungkin diabaikan. Berbeda dengan kaum sekuler dan liberal yang merasa lebih pintar dibanding ulama, justru mereka silau dengan pemikiran merusak para orientalis Barat. Mereka lebih dekat dengan para perusak agama, lebih mencintai pemikirannya, lebih terpengaruh gaya hidupnya, serta menjadi pembela setiap pemikiran mereka. Mereka rela menjadi budak Barat demi kepentingan dunia.

Allah Ta’ala berfirman:

فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (QS. An nahl (16): 43)

Ibnu Abbas mengatakan tentang makna Ahludz Dzikri dalam ayat ini: yakni Ahli Al Quran, juga dikatakan: Ahli ilmu (ulama). Makna keduanya berdekatan. (Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 10/108. Dar Ihya At Turats)

Mari kita perhatikan pandangan jernih para ulama Islam, di mana mereka senantiasa memahami bahwa Islam adalah agama dan kekuasaan, akhirat dan dunia, dan Rasulullah adalah nabi, hakim, mufti, dan pemimpin negara. Kami akan kutip beberapa saja.

1. Berkata Imam Abul Wafa Ibnu ‘Aqil Al Hambali 

Berikut ini perkataannya:

السِّيَاسَةُ مَا كَانَ مِنْ الْأَفْعَالِ بِحَيْثُ يَكُونُ النَّاسُ مَعَهُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ ، وَإِنْ لَمْ يُشَرِّعْهُ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ ؛ فَإِنْ أَرَدْتَ بِقَوْلِكَ ” لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ ” أَيْ لَمْ يُخَالِفْ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَصَحِيحٌ ، وَإِنْ أَرَدْتَ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَغَلَطٌ وَتَغْلِيطٌ لِلصَّحَابَةِ ؛ فَقَدْ جَرَى مِنْ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ الْقَتْلِ وَالْمَثْلِ مَا لَا يَجْحَدُهُ عَالِمٌ بِالسِّيَرِ ، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ إلَّا تَحْرِيقُ الْمَصَاحِفِ كَانَ رَأْيًا اعْتَمَدُوا فِيهِ عَلَى مَصْلَحَةٍ ، وَكَذَلِكَ تَحْرِيقُ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ الزَّنَادِقَةَ فِي الْأَخَادِيدِ ، وَنَفْيُ عُمَرُ نَصْرَ بْنَ حَجَّاجٍ .

“As Siyaasah (politik) adalah aktivitas yang memang melahirkan maslahat bagi manusia dan menjauhkannya dari kerusakan (Al fasad), walau pun belum diatur oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan wahyu Allah pun belum membicarakannya. Jika yang Anda maksud “politik harus sesuai syariat” adalah politik tidak boleh bertentangan dengan nash (teks) syariat, maka itu benar. Tetapi jika yang dimaksud adalah politik harus selalu sesuai teks syariat, maka itu keliru dan bertentangan dengan yang dilakukan para sahabat. Para khulafa’ur rasyidin telah banyak melakukan kebijaksanaan sendiri yang tidak ditentang oleh para sahabat nabi lainnya, baik kebijakan dalam peperangan atau penentuan jenis hukuman. Pembakaran mushhaf (kecuali mushhaf Utsmani, pen) yang dilakukan oleh Utsman semata-mata pertimbangan akal demi tercapainya maslahat. Demikian pula Ali bin Abi Thalib yang membakar orang zindiq di Akhadid. Umar bin Al Khathab juga pernah mengasingkan Nashr bin Hajjaj. (I’lamul Muwaqi’in, 6/26. Syamilah)

2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Beliau berkata:

يجب أن يعرف أن ولاية أمر الناس من أعظم واجبات الدين بل لا قيام للدين ولا للدنيا إلا بها . فإن بني آدم لا تتم مصلحتهم إلا بالاجتماع لحاجة بعضهم إلى بعض ، ولا بد لهم عند الاجتماع من رأس حتى قال النبي صلى الله عليه وسلم : « إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمّروا أحدهم » . رواه أبو داود ، من حديث أبي سعيد ، وأبي هريرة .
وروى الإمام أحمد في المسند عن عبد الله بن عمرو ، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : « لا يحل لثلاثة يكونون بفلاة من الأرض إلا أمروا عليهم أحدهم » . فأوجب صلى الله عليه وسلم تأمير الواحد في الاجتماع القليل العارض في السفر ، تنبيها بذلك على سائر أنواع الاجتماع . ولأن الله تعالى أوجب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ، ولا يتم ذلك إلا بقوة وإمارة . وكذلك سائر ما أوجبه من الجهاد والعدل وإقامة الحج والجمع والأعياد ونصر المظلوم . وإقامة الحدود لا تتم إلا بالقوة والإمارة ؛ ولهذا روي : « إن السلطان ظل الله في الأرض » ويقال ” ستون سنة من إمام جائر أصلح من ليلة واحدة بلا سلطان ” . والتجربة تبين ذلك . ولهذا كان السلف – كالفضيل بن عياض وأحمد بن حنبل وغيرهما- يقولون : لو كان لنا دعوة مجابة لدعونا بها للسلطان

“Wajib diketahui bahwa kepemimpinan yang mengurus urusan manusia termasuk kewajiban agama yang paling besar, bahkan agama dan dunia tidaklah tegak kecuali dengannya. Segala kemaslahatan manusia tidaklah sempurna kecuali dengan memadukan antara keduanya, di mana satu sama lain saling menguatkan. Dalam perkumpulan seperti inilah diwajibkan adanya kepemimpinan, sampai-sampai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Jika tiga orang keluar bepergian maka hendaknya salah seorang mereka menjadi pemimpinnya.” Diriwayatkan Abu Daud dari Abu Said dan Abu Hurairah.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Abdullah bin Amru, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sebuah tempat di muka bumi ini melainkan mereka menunjuk seorang pemimpin di antara mereka.” Rasulullah mewajibkan seseorang memimpin sebuah perkumpulan kecil dalam perjalanan, demikian itu menunjukkan juga berlaku atas berbagai perkumpulan lainnya. Karena Allah Ta’ala memerintahkan amar ma’ruf dan nahi munkar, dan yang demikian itu tidaklah sempurna melainkan dengan kekuatan dan kepemimpinan. Demikian juga kewajiban Allah lainnya seperti jihad, menegakkan keadilan, haji, shalat Jumat hari raya, menolong orang tertindas, dan menegakkan hudud. Semua ini tidaklah sempurna kecuali dengan kekuatan dan imarah (kepemimpinan). Oleh karena itu diriwayatkan: “Sesungguhnya sultan adalah naungan Allah di muka bumi.” Juga dikatakan: “Enam puluh tahun bersama pemimpin zhalim masih lebih baik disbanding semalam saja tanpa pemimpin.” Pengalaman membuktikan hal itu. Oleh karena itu, para salaf – seperti Al Fudhail bin ‘Iyadh dan Ahmad bin Hambal serta yang lain- mengatakan: “Seandainya kami memiliki doa yang mustajab, niscaya akan kami doakan pemimpin.”
 (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyyah, Hal. 169. Mawqi’ Al Islam)

3. Al ‘Allamah Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah 

فَلَا يُقَالُ : إنَّ السِّيَاسَةَ الْعَادِلَةَ مُخَالِفَةٌ لِمَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ ، بَلْ هِيَ مُوَافِقَةٌ لِمَا جَاءَ بِهِ ، بَلْ هِيَ جُزْءٌ مِنْ أَجْزَائِهِ ، وَنَحْنُ نُسَمِّيهَا سِيَاسَةً تَبَعًا لِمُصْطَلَحِهِمْ ، وَإِنَّمَا هِيَ عَدْلُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، ظَهَرَ بِهَذِهِ الْأَمَارَاتِ وَالْعَلَامَاتِ .

“Maka, tidaklah dikatakan, sesungguhnya politik yang adil itu bertentangan dengan yang dibicarakan syariat, justru politik yang adil itu bersesuaian dengan syariat, bahkan dia adalah bagian dari elemen-elemen syariat itu sendiri. Kami menamakannya dengan politik karena mengikuti istilah yang mereka buat. Padahal itu adalah keadilan Allah dan RasulNya, yang ditampakkan tanda-tandanya melalui politik.” (Imam Ibnul Qayyim, Ath Thuruq Al Hukmiyah, Hal. 17. Syamilah)

4. Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Al Ghazali 

Beliau memiliki pandangan yang sangat bagus tentang keterkaitan agama (Islam) dengan negara:

فإن الدنيا مزرعة الآخرة، ولا يتم الدين إلا بالدنيا. والملك والدين توأمان؛ فالدين أصل والسلطان حارس، وما لا أصل له فمهدوم، وما لا حارس له فضائع، ولا يتم الملك والضبط إلا بالسلطان

“Sesungguhnya dunia adalah ladang bagi akhirat, tidaklah sempurna agama kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; agama merupakan pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin.” (Imam Al Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, 1/17. Mawqi’ Al Warraq)

5. Al ‘Allamah Ibnu Khaldun

Beliau mengatakan dalam Muqaddimah-nya:

والخلافة هي حمل الكافة على مقتضى النظر الشرعي في مصالحهم الأخروية والدنيوية الراجعة إليها، إذ أحوال الدنيا ترجع كلها عند الشارع إلى اعتبارها بمصالح الآخرة، فهي في الحقيقة خلافة عن صاحب الشرع في جراسة الدين وسياسة الدنيا به. فافهم ذلك واعتبره فيما نورده عليك، من بعد. والله الحكيم العليم.

“Khilafah adalah upaya langkah membawa manusia ke arah yang sesuai pandangan syariat dalam mencapai maslahat kehidupan mereka baik akhirat dan dunia. Karena seluruh maslahat dunia ini menurut syariat Islam akan bermuara pada maslahat akhirat. Pada hakikatnya khilafah itu berasal dari Pemilik Syariat dalam rangka menjaga agama dan mengatur dunia. Maka pahamilah dan ambillah pelajaran dari hal itu sepanjang yang kami sampaikan kepadamu. Dan Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Imam Ibnu Khaldun, Muqaddimah, 2/518. Lajnah Bayanil Arabi)

6. Prof. Dr. Yusuf Al Qaradhawi

Beliau termasuk ulama yang getol melucuti pemikiran kaum sekuler dan para propagandisnya. Sudah banyak karya yang dilahirkannya untuk menghalau pemikiran kaum ‘almaniyyun (sekuler) seperti: Al Islam wal ‘Almaniyah: Wajhan Li Wajhin, Al Madkhal Li Dirasah Al Islamiyah, Min Fiqhid Daulah, Ad Din was Siyasah, Nahwa Wihdah Al Fikr, dan lainnya. Beliau .menguraikan kedudukan Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam di tengah manusia pada masanya sebagai berikut:

“Sepanjang sejarah kaum muslimin tidak pernah mengenal adanya pemisahan antara agama dan dunia, agama dan politik, atau agama dan Negara seperti sekarang ini.

Dulu, Rasulullah adalah pemegang kekuasaan baik agama maupun dunia, karena itu fuqaha kemudian membagi ajaran dan sikap Rasulullah menjadi tiga. Pertama. Beliau sebagai Nabi yang menyampaikan wahyu Allah. Kedua. Beliau sebagai hakim yang membuat keputusan hukum. Ketiga. Beliau sebagai kepala Negara yang menangani persoalan bangsa.” (Meluruskan Dikotomi Agama Dan Politik, Hal. 143. Pustaka Al Kautsar)

Selain itu, dalam catatan kakinya, Beliau mengutip perkataan Imam Al Qarrafi Al Maliki yang dikutip dari kitab Al Furuq, sebagai berikut:

“Ketahuilah! Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah seorang pemimpin besar dan mufti yang paling alim. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah pemimpin para imam, pemimpin para hakim, ulama paling alim karena Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan seluruh jabatan keagamaan pada risalahnya …dst.” (Ibid)

Perlu diketahui, pandangan yang mengatakan bahwa Islam bukan sekadar agama tetapi juga tatanan peradaban Negara dan politik, bukan hanya disampaikan oleh para ulama Islam, tetapi juga para pemikir Barat yang masih objektif. Mereka adalah H.A.R Gibb, J. Nalino, Mc. Donald, Bernard Shaw, John Esposito, dan lainnya.

Tobatnya Tokoh Sekuler

Tentu kita pernah mendengar nama Syaikh Khalid Muhammad Khalid, penulis kitab Ar Rijal Haular Rasul yang telah diterbitkan oleh CV. Diponegoro, dengan judul: 60 Karakteristik Sahabat Nabi. Buku yang enak dibaca dan mengundang inspirasi.

Tahukah Anda bahwa beliau pernah terjebak dalam pemikiran sekuler? Baginya Islam dan Negara adalah dua hal yang tidak boleh dan tidak benar untuk disatukan. Islam sama sekali tidak memiliki hak mencampuri urusan pemerintahan dan Negara. Hal itu dituangkan dalam kitabnya Min Huna Nabda pada tahun 1950M. Kitabnya ini mendapat reaksi dari para ulama, di antaranya seorang alim agung, orator ulung, Syaikh Muhammad Al Ghazali Rahimahullah yang telah membantahnya dalam kitab Min Huna Na’lam. Akhirnya, Syaikh Khalid Muhammad Khalid meralat pemikirannya dan mengakui dengan jujur kekeliruannya, serta kembali kepada pangkuan Islam bahkan menjadi pembelanya. Lalu dia menyusun kitab Ad Daulah fil Islam yang merevisi pemikiran lamanya.

Beliau menceritakan sebagai berikut:

“Pada tahun 1950M, saya menerbitkan buku pertama saya yang berjudul Min Huna Nabda, buku tersebut berisi empat pasal dan pasal yang ketiga berjudul, Qaumiyah Al Hukm. Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa Islam adalah sebuah agama, bukan Negara. Islam tidak harus memiliki Negara. Agama menunjukkan jalan kita menuju Allah dan bukan kekuatan politik yang menggunakan kekuatan untuk menguasai dan mengatur manusia kepada satu arah yang sama. Agama hanya bertugas menyampaikan dan tidak berhak mengatur manusia dengan menggunakan kekerasan demi tujuan agar mereka mendapatkan hidayah dan pahala kebaikan.” (Lihat! Betapa mirip pemikiran ini dengan yang diusung oleh tokoh-tokoh sekuler berkedok ‘agama’ di Indonesia yang mencoba memisahkan agama dan politik Negara, dan betapa mirip pula dengan gagasan utama dalam buku Ilusi Negara Islam)

Beliau melanjutkan: “Jika sebuah agama berubah menjadi sebuah pemerintahan maka pemerintahan agama berubah dengan sendirinya menjadi sebuah beban yang tidak dimungkin ditanggung lagi oleh para pengikutnya. Untuk itu penulis (Syaikh Khalid) juga mulai menghitung-hitung apa yang penulis sebut sebagai naluri insting dari sebuah pemerintahan agamawan (teokrasi).” Dengan percaya diri, penulis merasa mampu membuktikan dengan beberapa argumentasi bahwa 99% benar bahwasanya pemerintahan agamawan pasti akan menjadi pemerintahan yang panas seperti neraka dan penuh kekacauan. Penulis tegaskan pula pada saat itu bahwasanya konsep tentang sebuah pemerintahan agamawan (teokratis) adalah sebuah keniscayaan sejarah yang kadaluarsa, sebuah konsep yang tidak lagi bisa menjalankan peran apa pun di masa modern.”

Setelah itu Syaikh Khalid (menyebut dirinya dengan ‘penulis’) mengakui kesalahannya: “Penulis telah melakukan kesalahan besar karena dengan sengaja melakukan generalisasi dalam pembahasan yang dilakukan penulis tersebut hingga menyamakan pemerintahan Islam dengan fenomena-fenomena pemerintahan agamawan lain yang pernah muncul dalam sejarah. Demikianlah, saat penulis menganggap bahwa konsep pemerintahan agamis telah hancur dan tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Dan saat ini tanpa maksud mendustakan diri dan menyembunyikan fakta, penulis menyadari bahwa pendapat tersebut –dan puji syukur dipanjatkan kepada Allah- bukan berasal dari tabiat penulis. Pada saat itu, penulis hanya mengemukakan apa yang ingin saya tulis dengan menganggap pendapat tersebut adalah kebenaran.” (Ibid, hal. 161)

Syaikh Khalid Muhammad Khalid juga mengoreksi pemikirannya sendiri, beserta berbagai derivatnya, yang telah menguasainya pada masa lalu. Silakan merujuk buku tersebut.

Akhirnya, terbukti sudah kebohongan yang dilontarkan kalangan sekularis dan para propagandisnya, baik yang secara gentle menyatakan dirinya sekuler atau yang malu-malu dan berlindung dibalik keterlanjuran dianggap sebagai tokoh Islam, hanya karena dia aktif di sebuah organisasi Islam. Semoga bermanfaat.

Wallahu A’lam bish Shawwab

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Anggota DPR AS: Trump Picu Kebencian pada Islam di Amerika

Figure
Organization