Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Plural(itas)(isme) ?!

Plural(itas)(isme) ?!

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (donialsiraj.wordpress.com)
Ilustrasi (donialsiraj.wordpress.com)

dakwatuna.com – Pluralisme (agama) merupakan menu baru dan menjadi santapan harian bagi masyarakat kampus kekinian. Terlebih bagi aktivis (dakwah)nya. Bagi penikmat, tentunya menu baru menjadi atraktif untuk ‘mencicipi’ kemudian diberikan penilaian sebagai menu idaman atau tidak. Ironisnya, menu baru ini lebih banyak dicoba oleh para pihak yang bukan penikmat. Pluralisme (agama) digandrungi oleh kalangan ‘newbie’. Seperti apa menu baru ini? Apa yang menarik darinya dan bagaimana tindakan kita sebagai umat yang beragama (Islam)?

Merujuk pada jargon Jas Merah[1], yang berarti jangan sekali-kali meninggalkan sejarah! Hal ini senada dengan perintah untuk membaca ‘sesuatu’ secara kontekstual. Pembacaan kontekstual pada hakikatnya bermakna menganalisa ruang dan waktu tetapi tanpa meninggalkan teksnya. Konteks itu berasal dari frasa co dan text sehingga pembacaan kontekstual berimplikasi pada kebersamaan dengan ‘teks’ itu sendiri. Pluralisme menurut sejarahnya lahir dari rahim ibunya, liberalisme, yang notabene merupakan trauma masyarakat Barat[2] atas praktek ber-agama, tekanan kelompok agamawan yang bersekutu erat dengan pihak penguasa (baca: politisasi agama). Rakyat diwajibkan untuk memeluk dan melakukan praktek agama sebagaimana penguasa politik saat itu hingga melahirkan adagium Cuius regio illius et religio[3], di samping beragam problem teologis lainnya terutama terhadap teks agama. Munculnya gelombang renaissance (era pencerahan) berdampak pada rasionalitas masyarakat Barat. Maka menyeruaklah gugatan atas tafsir konvensional kitab suci yang dinilai tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Hermeunitika dan semiotika menjadi ‘senjata’ tafsir baru atas teks-teks agama. Ini dapat dimaklumi mengingat masyarakat Barat menganut credo ut intellegam yang terjemahan bebasnya beriman akibat ketidakmengertian. Renaissance merupakan babak baru dalam sejarah peradaban karena kemunculannya, toleransi dalam praktek ber-agama menjadi tumbuh dan berkembang.

Apakah kita – umat Islam – memiliki problematika sama sebagaimana dialami masyarakat Barat? Pluralisme (agama) oleh sebagian masyarakat (Islam) mencari radix-nya dalam konteks sosiologis umat hingga ajarannya dalam Kitab Suci. Hal ini menjadi terkesan ‘lucu’ dan membuat umat (Islam) terjebak pada kebingungan sehingga tak mampu membedakan pluralitas dengan pluralisme. Pertama disebut merupakan realitas kemajemukan agama-agama sedangkan yang kedua adalah sebuah paham atau ideologi tersendiri. Tentu berbeda antara fakta kemajemukan agama sebagai sesuatu yang given dengan isme yang dalam hal ini adalah paham atau ideologi yang dibuat karena dan untuk tujuan ‘tertentu’[4]. Bahwa dalam Kitab Suci umat mengenai realitas kemajemukan termaktub dalam Surah Al-Hujurat ayat 13 adalah fakta memang tak dapat dinafikan. Problemnya kemudian merujuk pada ayat tersebut kemudian ‘menyamakan’ antara pluralitas dengan pluralisme jelas kekeliruan besar! Islam melalui Muhammad Ibnu Abdillah bahkan memberikan contoh bagaimana hidup dalam realitas kemajemukan dan penuh toleransi melalui city-state Madinatul Munawwaroh. Penganut agama Islam, Yahudi, Nasrani bahkan penganut keyakinan bisa hidup tenteram dan harmonis dalam aturan yang disepakati bersama[5]. Bahkan sebelum dunia mengenal terma pluralisme, peradaban Andalusia (sekarang Spanyol) mampu menyuguhkan realitas sosiologis masyarakat pluralistik yang harmonis[6]. Kaidah lakum dinukum waliyadin[7]sebagai ajaran transcendental dalam konteks antar umat beragama dan lana a’maluna walakum a’malukum[8] dalam konteks antar muslim berjalan nyaris ‘sempurna’.

Pluralisme setidaknya memiliki 2 aliran utama yakni global theology yang merupakan bentuk ‘perlawanan’ terhadap arus globalisasi dan transcendent unity of religion sebagai kepanjangan tangan sekaligus pendukung globalisasi. Ini berarti pluralisme sarat muatan westernisasinya bahkan ‘politis’[9]. Guna melanggengkan hegemoni[10] dan dominasi Barat maka pluralisme menjadi cara ampuh sehingga negara-negara di dunia tetap ‘berkiblat’ pada mereka. Sesuatu yang faktual, mengingat diskusi tentang terma satu ini di berbagai kampus dan forum (ilmiah) hampir dipastikan senantiasa berpatokan pada Barat. Berbicara pluralisme maka berbicara pula dekonstruksi[11] makna atas teks-teks agama yang dinilai jumud dengan ‘senjata’ utama seperti disebutkan sebelumnya: hermeneutika dan semiotika. Ke mana arah paham pluralisme ini? Merujuk pada pengakuan beberapa penganutnya memang pada penyatuan agama-agama yang ada. Salah satu yang terkenal adalah Frithjof Schuon dengan konsep Religio Perennis-nya dan Seyyed Hossein Nasr yang menyimpulkan agama-agama di dunia sebagai “all paths lead to the same summit”. Konsep dari kedua tokoh ini jelas bertentangan dengan ajaran agama-agama di dunia yang bersifat eksklusif dan permanen, apalagi bagi kalangan umat Islam sebagaimana telah termaktub dalam Al-Quran Surah Al-Imran ayat 19.

Menutup artikel singkat ini, jelaslah bahwasanya pluralitas adalah sesuatu yang given sebagaimana termaktub misal pada Surah Al-Hujurat ayat 13 dan harus kita terima sebagai destiny, tetapi pluralisme merupakan paham tersendiri yang dibuat oleh dan untuk tujuan tertentu seperti diperingatkan sejak dini tapi tersirat oleh Robert Cox. Umat Islam sudah memiliki konsep sendiri, jelas dan paripurna bagaimana menyikapi pluralitas tersebut sehingga secara de facto dan de jure sudah seharusnya mampu menunjukkan bagaimana menyikapi isme ini. Allahualam.



[1] Merupakan pidato Bung Karno saat Peringatan HUT RI Tahun 1966. Para pihak yang mengatakan “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah” berarti kurang jeli memperhatikan pidato sang proklamator ini.

[2] Penggunaan terma Barat merujuk pada peradaban Eropa dan Amerika dengan segala variannya.

[3] “Agama raja adalah agama rakyat”. Silakan lihat Abdurrahman Wahid (dkk) dalam Dialog Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta, 1993: 150).

[4] Merujuk pada pernyataan teoretisi kritis Hubungan Internasional, Robert Cox. Silakan lihat Robert Jackson dan George Sorensen dalam Pengantar Studi Hubungan Internasional (terj.) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).

[5] Lihat misal pada buku Karen Amstrong berjudul Muhammad Sang Nabi (terj.) (Surabaya: Risalah Gusti, 2002).

[6] Ibid

[7] Q.S Al-Kaafiruun: 6 yang berarti ‘Untukmu agamamu, untukku agamaku’.

[8] Q.S Al-Baqarah: 139 yang berarti ‘Bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu’.

[9] Parafrase atas kajian Anthony Mc Grew di artikel A Global Society? Dalam buku Modernity and its Futures (London: Polity Press, 1992).

[10] Hegemoni merupakan konsep yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci. Untuk pembacaan lebih lanjut silakan baca dalam buku Selections From Prison Notebooks (New York: International Publisher, 1971).

[11] Dekonstruksi merupakan konsep yang diperkenalkan pertama kali oleh Heidegger dalam bukunya Being and Time tapi dipopulerkan dengan pengertian seperti sekarang oleh Jacques Derrida melalui bukunya yang terkenal Writing and Difference. Sebuah konsep bagus meski banyak kelemahan karena secara hakikat justru menjadikan makna tak memiliki ruh.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Staf pengajar Ponpes Salafiyah Raudlatul Khaziny Mandung Kokop Bangkalan. Mendirikan AKU BISA Management, mulai belajar menulis.

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization