Topic
Home / Berita / Silaturahim / Bedah “Misykat” yang Memikat

Bedah “Misykat” yang Memikat

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Hamid Fahmy Zarkasyi dan buku Misykat. (Nur Afilin)
Hamid Fahmy Zarkasyi dan buku Misykat. (Nur Afilin)

dakwatuna.com – “Ada yang menyebut Goenawan Mohamad laksana penari lantaran liukan permainan kata yang indah menawan. Namun, bagi saya, itu tidak mengandung kekuatan filosofis yang mampu meruntuhkan argumen lawan. Berbeda dengan Ust. Hamid melalui Misykat ini. Bak pendekar kungfu, beliau mampu memukul telak musuh melalui rangkaian katanya yang bernas. Benar-benar memuaskan logika yang selama ini banyak terkecoh” ujar Ust. Bachtiar Nasir, Lc.

Demikian testimoni pimpinan Ar-Rahman Qur’anic Learning (AQL) mengawali agenda bedah buku “Misykat: Refleksi tentang Islam, Westernisasi, dan Liberalisme” karya Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi alias Gus Hamid Sabtu (2/3) malam. Ruang Anggrek Istora Senayan yang jarang terisi penuh dalam acara-acara biasa kemarin mendadak sesak. Beberapa hadirin rela berdiri demi mengikuti salah satu mata acara rangkaian Islamic Book Fair (IBF) 2013 ini.

Setelah pembacaan ayat suci Al-Qur’an, testimoni pembaca, dan penayangan sekilas profil penulis, Gus Hamid pun diberi kesempatan menguraikan buah karyanya itu. Kata beliau, judul buku ini sebenarnya terinspirasi oleh kitab karya Imam Al-Ghozali, Misykatul Anwar. Secara bahasa, kata “misykat” artinya suatu lubang di dinding rumah yang tidak tembus sampai ke sebelahnya, biasanya digunakan untuk tempat lampu, atau barang-barang lain (lihat QS An-Nur: 35).

Bukan bermaksud mengklaim, lanjut Gus Hamid, harapan bahwa buku ini akan memberikan pencerahan bagi umat di tengah pekatnya pemahaman keislaman sebagian kaum Muslimin menjadi alasan utama dirinya memilih judul ini. Perang pemikiran (ghazwul fikr) lah yang menjadi penyebab merebaknya logika beragama yang keliru di tengah masyarakat kita.

Beliau memberi contoh pertanyaan menjebak, seperti: “Apakah syariat agama itu untuk manusia atau untuk Tuhan?”. Kebanyakan dari kita tentu akan menjawab: Untuk manusia. Namun, jawaban ini ternyata amat rawan digiring kepada paham “humanisme”. Mereka yang terjangkit paham ini akan berpendapat menyimpulkan bahwa kemanusiaan lebih penting daripada syariat. Lebih lanjut mengenai hal ini ada dalam topik “Humanisme” dalam buku Misykat. Banyak pertanyaan dan pernyataan menjebak lain yang nampak benar namun sebenarnya salah besar. Jika tidak hati-hati, masyarakat dengan mudah akan menerima argumentasi para pengusung SEPILIS (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme).

Lanjut Gus Hamid, dirinya yakin bahwa apa yang dipaparkan dalam Misykat bukanlah ibarat menara gading. Problem ini bukan perkara “langitan” namun amat membumi. Realitanya banyak mindset keliru yang telah tertanam dalam benak kaum Muslimin. Akibatnya, persoalan serius seperti: nikah bedah agama, LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transseksual), praktik toleransi kebablasan, dll, ramai terjadi di negeri ini. Ya, semua bermula dari salah persepsi dan pemahaman, lalu bermuara kepada salah aksi dan tindakan.

Usai menyampaikan beberapa topik dalam bukunya, Gus Hamid menyatakan bahwa buku ini insya Allah akan diikuti oleh buku lanjutannya. Jika “Misykat” ini masih cenderung bersifat defensive alias bertahan, meski tetap mantap sebagai bekal melawan. Namun, sekuelnya kelak akan lebih berkarakter kuat untuk menyerang (offensive). Maka, kini seraya menunggu lanjutan buku ini, amat baik jika kita mulai membaca, mengkaji, dan mendiskusikan “Misykat” ini. Semoga tercerahkan.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 8.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Lihat Juga

ICMI Rusia Gelar Workshop Penulisan Bersama Asma Nadia

Figure
Organization