Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Rasulullah dan Tempat Istimewa

Rasulullah dan Tempat Istimewa

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

“Midaa!! Ayo cepetan jalannya” Eta menarik lengan baju muslimah kebanggaanku. Aku berhenti seraya berteriak, “Eta! Jangan tarik bajuku! Ini baju dibeliin ayahku!”

“Makanya kamu jalannya yang cepet, nanti ustadzah Enda udah dateng duluan.”

“Iya Etak Umpet, cerewet!” Aku menutup mulutku menahan tawa.

“Kenapa ketawa? Apanya yang lucu, dasar Hamida pipi bakpao.” Giliran Eta yang tertawa.

Ilustrasi - Jadilah laki-laki sejati dan perempuan sejati (Danang Kawantoro)
Ilustrasi – Jadilah laki-laki sejati dan perempuan sejati (Danang Kawantoro)

dakwatuna.com – Aku tidak bisa marah jika Eta telah mengeluarkan sebutan khas untukku itu. Memang kenyataannya aku memiliki pipi seperti bakpao. Aku memang seperti ayahku, berpipi gembul. Tapi kata ibuku, seiring aku dewasa pipiku akan menjadi tirus. Aku sangat percaya kata-kata ibuku. Ketika aku dewasa nanti, aku tidak lagi dipanggil Mida si pipi bakpao, mungkin diganti menjadi Mida si pipi bakpao yang tirus, hehe. Pikiranku langsung tertuju pada bakpao yang dibeli ayahku sehabis bekerja dua hari lalu yang ditaruh di lemari es. Sudah kecut dan tirus sekarang.

“Fauzan, tunggu!!” Eta berlari menghampiri Fauzan. Lalu aku juga berlari mengikuti Eta dari belakang.

Assalamu’alaikum, Eta, Hamida.” Fauzan tersenyum pada kami.

Wa’alaikumsalam.” Jawab kami serentak.

Oh iya, temanku satu ini namanya Fauzan. Dia anak Ustadz yang sering mengimami shalat di masjid dekat rumah kami. Dia satu-satunya temanku yang paling alim. Lihat saja, ketika kami berjumpa, dia selalu mengucap salam terlebih dahulu. Ibuku juga sering membanggakan Fauzan ketika pulang dari membeli sayur di warung, karena semua ibu-ibu di warung sayur itu membicarakan Fauzan yang penurut, berbakti pada orangtua, rajin shalat di masjid, suka jadi mu’adzin di masjid, dan katanya sekarang Fauzan lagi menghafal Al-Quran. Aku pikir, dia benar-benar cocok menjadi anak seorang ustadz!

Dari kejauhan aku melihat Aboy yang berjalan hendak menghampiri kami, dia temanku juga. Jika Fauzan adalah malaikat Ridwan, mungkin Aboy adalah malaikat Malik. Dia bercita-cita menjadi seorang Preman yang taat pada agama. Aku juga bingung dengan jalan pikirannya. Aboy sangat tidak suka dengan penindasan terhadap temannya. Kejadian yang sering terjadi adalah jika anak pak RT yang terkenal nakal memaksa meminta uang jajan pada Fauzan, pasti Aboy akan datang dan kami tinggal melihat dengan kagum anak Pak RT itu lari terbirit-birit karena Aboy yang memperlihatkan tinjuan mautnya seraya berkata, “Sebelum minta uang dengan Fauzan, rasakan dulu tinju-ku ini”. Setelah itu biasanya Fauzan mengucapkan terima kasih pada Aboy lalu berujar, “Aku tadi sudah mau mengeluarkan uang jajanku kok, hitung-hitung sedekah dengan dia.” Aku dan Eta geleng-geleng kepala. Benar-benar anak seorang Ustadz!

Kami berempat lalu memasuki salah satu ruang di masjid yang dijadikan tempat ustadzah Enda mengajari kami mengaji. Untunglah ketika kami sampai, Ustadzah Enda belum datang. Kami lalu bermain Etak umpet, eh salah maksudku petak umpet. Kami bermain di area taman masjid.

“Perhatian teman-teman, Ustadzah Enda datang!” teriak Aboy membahana. Lalu seluruh teman-temanku menghentikan aktivitas mereka, kemudian berlari menuju bangku masing-masing. Tangan kami rapi di atas meja lalu kami berteriak bersama “Anak Shalih Siap!”.

Assalamu’alaikum, anak-anak shalih.”  Ustadzah Enda menyapa kami lalu tersenyum.

Wa’alaikumsalam, Ustadzah Endaaa…” jawab kami serempak.

“Sebelum kita mulai ngajinya, ustadzah mau nanya, siapa yang tau besok hari apa?”

“Hari Jum’at, Ustadzah.” Eta menjawab dengan mengangkat tangannya.

“Iya benar sekali, Hmm… Artinya besok hari apa? Hayoo ga ada yang liat kalender ya?” Ustadzah bertanya sekali lagi.

Aku berpikir sejenak. Oh iya aku ingat, lalu aku mengangkat tangan ingin menjawab pertanyaan ustadzah Enda.

“Iya Hamida, Besok hari apa?”

“Besok tanggal 24 Januari, Ustadzah. Itu ulang tahunnya Fauzan.” Aku menjawab tanpa ragu.

Fauzan terkejut dan wajahnya kemerah-merahan. Lalu teman-temanku sebagian tertawa dan sebagian menyorakiku. Ehm… benar kok besok ulang tahunnya Fauzan. Kulihat Ustadzah Enda tersenyum mendengar jawabanku.

“Waah… Fauzan ulang tahun ya besok? Yang ke berapa?” Ustadzah Enda bertanya pada Fauzan.

Ah...eng.. yang ke 10 tahun, Ustadzah.” Ustadzah Enda tersenyum pada Fauzan yang menunduk malu.

“Oke… Selain besok ulang tahunnya Fauzan, ada yang tau besok hari apa?”

Aboy yang diam dari tadi mengangkat tangannya. Aku menebak pasti jawabannya ngasal.

“Besok tanggal 24 Januari, Ustadzah. Hari ketika Preman kampung sebelah naik haji ustadzah, ibu Aboy diundang syukurannya.”

Aku menoleh pada Eta, kami berdua tertawa. Ada-ada saja pikiran Aboy. Benar-benar calon seorang Preman!

Kami melihat Ustadzah Enda mengelap keringat yang jatuh dari dahinya. Raut wajahnya Seperti ibuku yang kecapekan sehabis masak. Apa ustadzah Enda juga kecapekan ya?

“Baiklah, Ustadzah langsung kasih tahu saja. Besok kan tanggal 24 Januari, itu artinya besok hari Maulid Nabi Muhammad SAW.”

Oooh..” jawab kami bersamaan.

“Nah.. Ustadzah ingin kalian menuliskan di sebuah kertas nama sebuah tempat yang sangat ingin kalian kunjungi. Sebuah tempat yang berhubungan dengan baginda Nabi Muhammad SAW. Nanti maju ke depan satu persatu, lalu jelaskan tempat seperti apa yang ingin kalian kunjungi serta alasannya. Ustadzah kasih waktu satu hari, besok harus selesai dan siap maju ke depan, mengerti kan?”

“Mengerti ustadzah!”

***

Keesokan harinya teman-temanku sudah siap untuk dipanggil satu persatu. Kulihat Aboy dan Fauzan yang sedari tadi berdiskusi mengenai tempat yang ingin mereka kunjungi.

Kulihat juga Eta yang memegang tanganku. “Mida, aku gugup.” Katanya padaku. Aku tersenyum lalu berkata, “Eta kalo kamu gugup, Kata Ibuku tarik nafas yang dalam lalu hembuskan perlahan sambil mengucap Bismillah, nanti gugupnya hilang.” Eta mengangguk mendengarkan penjelasanku.

Sesaat kemudian Ustadzah Enda tiba. Ustadzah Enda mengucap salam lalu menanyai kami.

“Anak-anak shalih, sudah siap maju ke depan?” tanya Ustadzah Enda.

“Siap Ustadzah!” kami menjawab kompak.

Lalu setelah itu, kulihat satu-persatu temanku maju ke depan untuk menjelaskan mengenai tempat yang ingin mereka kunjungi. Ada yang ingin berkunjung ke Ka’bah, ke rumah Rasulullah, dan lain-lain. Akhirnya, hanya tinggal kami berempat yang belum maju. Ustadzah melihat kearah Eta, lalu Eta melepaskan genggamannya dari tanganku. Dia menarik nafas dalam-dalam lalu mengucap Bismillah. Eta maju ke depan lalu mulai berbicara.

“Tempat yang ingin aku kunjungi adalah Gua Hira. Karena di sanalah tempat ketika Rasulullah mendapat wahyu. Sebuah tempat di mana Malaikat Jibril menampakkan dirinya di hadapan Rasulullah saw dan sebuah tempat bersejarah di mana ayat Al-Quran diturunkan pertama kali. Gua hira merupakan tempat suci umat Islam. Karena itu aku ingin pergi ke sana bersama keluargaku kelak.”

Setelah Eta menjelaskan, kami lalu bertepuk tangan atas penjelasan Eta yang bagus dan tidak terbata-bata.

Subhanallah..” ucap Ustadzah Enda.

Ustadzah Enda mempersilakan Eta duduk kembali. Lalu Ustadzah Enda melihat kearah Fauzan. Seketika Fauzan berdiri lalu maju ke depan.

Bismillahirrahmaanirrahiiim. Teman-teman yang saya sayangi dan Ustadzah Enda yang saya hormati. Tempat yang ingin saya kunjungi adalah Masjid Nabawi. Alasannya karena itu merupakan Masjid pertama yang dibangun Rasulullah SAW. Saya ingin merasakan bagaimana rasanya menyampaikan khotbah di atas mimbar masjid pertama yang dibangun Rasulullah SAW. Saya benar-benar ingin ke sana, sekian terima kasih.”

Kami kagum mendengar penjelasan dari Fauzan. Benar-benar keinginan calon seorang Ustadz!

Selanjutnya adalah Aboy. Dia bangkit lalu berjalan menuju ke depan. Kami semua diam. Kami tak sabar mendengar penjelasan dari Aboy. Semoga kali ini dia tidak menyertakan kata-kata “preman” dalam penjelasannya.

“Aku tidak tahu ingin berkunjung ke mana ustadzah. Yang ingin aku lihat adalah pedang yang dimiliki oleh panglima perang kaum muslimin yang paling ditakuti musuh Islam. Pedang dari sahabat Rasulullah saw yaitu Khalid bin Walid, Ustadzah. Aku sudah memutuskan merubah cita-citaku. Tidak lagi menjadi preman tapi menjadi panglima perang yang membela agama Allah seperti Khalid bin Walid. Aku ingin menjadi seorang yang paling ditakuti oleh musuh-musuh Islam Ustadzah, seperti musuh-musuh Islam yang takut kepada Khalid bin Walid.”

Alhamdulillah, subhanallah, Allahu akbar…” Ustadzah Enda memberi isyarat untuk memberi tepuk tangan pada Aboy. Seisi ruangan penuh oleh gemuruh tepuk tangan untuk Aboy. Lalu tiba giliranku. Aku bangkit lalu berjalan menuju ke depan.

Aku diam sejenak, menutup mata lalu mengucap bismillah.

“Telaga Rasulullah.”

Aku menyebutkan nama tempat yang paling ingin ku kunjungi.

“Di mana itu Mida?” Eta bertanya padaku.

“Ada di Akhirat.”

“Apa alasan Hamida ingin ke sana?” tanya Ustadzah Enda.

“Kata ibuku, hanya umat Rasulullah yang terpilih yang boleh ke sana, ustadzah. Air telaga Rasulullah itu lebih putih daripada susu, lebih sejuk daripada salju, dan lebih manis daripada madu. Jika meminum seteguk air dari telaga Rasulullah, kita tidak akan merasa haus selama-lamanya.”

Waaahh…” Ucap teman-temanku. Mata mereka berbinar. Tampaknya mereka tertarik dengan penjelasanku.

“Ustadzah Enda, bagaimana caranya supaya kita bisa ke sana?” tanya salah satu temanku.

Ustadzah Enda diam sejenak lalu berujar,

“Hanya umat beliau yang terpilih yang boleh ke sana. Rasulullah SAW sendiri yang akan menjaga telaga Beliau. Rasulullah SAW sendiri yang akan tersenyum sembari mempersilakan umatnya yang terpilih tersebut untuk mencicipi air dari telaga Beliau. Umatnya yang terpilih itu ialah yang rajin bershalawat pada beliau, yang melakukan sunnah-sunnah beliau, yang meneladani akhlak beliau, serta umatnya yang tetap memegang teguh Islam dalam hatinya hingga akhir hayatnya.”

Hening.

“Semoga kita termasuk ke dalam umatnya yang terpilih itu. Ustadzah harap, Ustadzah dan kalian anak-anak shalih kebanggaan ustadzah bisa berkumpul di telaga Rasulullah SAW yang keindahannya tidak bisa dijangkau logika, semoga kita dapat melihat senyuman Rasulullah SAW ketika mempersilakan kita mencicipi air telaganya. Aamiiin ya Allah, kabulkanlah.”

Ustadzah Enda menunduk, mungkin melihat kearah jempol kakinya, lalu butiran bening menetes dari kedua matanya.

Dari bibirnya terucap kalimat, “Ya Rasulullah salam ‘alaika.”

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (11 votes, average: 9.91 out of 5)
Loading...

Tentang

Seorang Penulis asal Palembang, pernah menuntut ilmu di Universitas Sriwijaya.

Lihat Juga

Kiat Menghafal Quran

Figure
Organization