Topic
Home / Narasi Islam / Resensi Buku / Belajar Bahagia, Bahagia Belajar

Belajar Bahagia, Bahagia Belajar

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Cover buku "Belajar Bahagia, Bahagia Belajar"
Cover buku “Belajar Bahagia, Bahagia Belajar”

Judul Buku: Belajar Bahagia, Bahagia Belajar
Penulis: Ida S Widayanti
Penerbit: Arga Tilanta, Jakarta
Cetakan: November 2012
Tebal: xxv + 186 halaman

Menjadi Orangtua Bijak

dakwatuna.com – Memiliki anak yang cemerlang otaknya dan luhur pekertinya pasti dambaan setiap orangtua. Tetapi, mewujudkan harapan itu jelas tidak mudah. Apa yang niscaya dilakukan orangtua supaya dapat meraih harapan mulia di atas?

Temukan jawabnya dalam buku Belajar Bahagia, Bahagia Belajar. Penulisnya, Ida S Widayanti, akan memandu kita dengan bahasa yang mudah, bersahaja, dan bernas. Membacanya, kita akan dialiri getaran cinta dan kasih sayang mendalam. Kisah-kisahnya begitu memukau, menyentuh, tidak jarang mengundang air mata.

Penulisnya memang cerdas menyibak fenomena sekaligus bijak dalam menggali makna di balik nyata. Kisah-kisah yang ditulisnya tidak berangkat dari bacaan, tetapi datang dari pengalaman keseharian. Berbagai pengalaman keseharian itulah yang kemudian diteorikan, untuk diberikan jalan keluar.

Buku ini tidak berisi cerita pengalaman di luar rumah, tetapi justru dari dalam rumah kita. Tidak menyentil problem “mereka” tetapi mengupas problem “kita”. Inilah di antara letak keunggulan karya-karya sentuhan tangan Ida S Widayanti selama ini, sehingga begitu “hidup” dan selalu laris manis di pasaran.

Ia mengajak kita untuk mengarifi problem keluarga dan anak, tanpa menggurui. Simak, misalnya, kisah Eqi berikut. Diceritakan, anak berusia empat tahun itu tengah asyik bermain charger HP ayahnya. Ketika HP itu kehabisan baterai dan charger hendak diminta, Eqi menolak. Bujuk-rayu ayahnya tidak mempan. Dan ketika ayahnya dengan berat hati mengambil charger itu karena harus segera ke kantor, Eqi meronta dan menangis sejadi-jadinya.

Ayahnya berlalu. Tetapi, puluhan meter mobil melaju, HP si ayah berdering. Ketika HP diangkat, terdengar tangis melengking. Diberikannya pengertian kemudian HP ditutup. Tidak lama, HP kembali berdering. Tangis Eqi makin melengking. Tidak bisa lagi didiamkan. Hati ayahnya kini luluh. Ia memutar balik mobil, memberikan charger itu, lalu membeli charger baru di toko.

Kasus serupa Eqi pasti menu harian kita semua. Sebagian mungkin menanggapinya dengan cuek, atau malah marah. Tetapi mari simak penuturan penulis. Sikap Eqi itu, menurut penulis, adalah ekspresi sebuah kegigihan (persistence). Dan bukankah setiap keberhasilan selalu bermuasal dari kegigihan?
Maka penulis bertutur, “…anak-anak dilahirkan suci dengan sifat-sifat positif yang menyertainya. Ia memiliki potensi kreatif dengan segudang imajinasi dan kegigihan dalam meraih tujuan. Maka jangan sampai kita salah dalam menerapkan pola pengasuhan dan sistem pendidikan untuk anak-anak yang justru memangkas kegigihan anak”.

Penulis memang kerap memaknai fenomena secara tidak terduga. Sebagai alumnus Teknik Mesin ITB, tidak jarang ia menggunakan ilmu teknik, fisika, dan matematika, untuk mengail solusi atas berbagai problem keluarga dan pendidikan anak. Simak tulisan berjudul Besi. Dikatakan, sifat besi adalah keras dan kuat. Jika besi dipanaskan, lalu didinginkan secara cepat, ia akan mengeras. Berbeda jika dipanaskan, lalu didinginkan perlahan, besi akan lebih lunak dari kondisi semula.

Apa kaitan besi dengan pendidikan anak? Kata penulis, proses pendinginan yang berlangsung pada besi sama dengan manusia. Jika besi panas dan didinginkan perlahan akan menjadi lebih lunak, begitu pula manusia. Anak akan tumbuh menjadi pribadi lembut atau keras, tergantung pada perlakuan dan cara pendidikan yang diterima dari orangtua dan lingkungannya. Tegasnya, ketika anak itu tumbuh dengan sifat kasar dan keras, tengoklah perlakuan dan cara pendidikan orangtuanya selama ini.

Yang menarik dari buku ini adalah ilustrasinya pada setiap judul tulisan. Bukan gambar dengan desain komputer, melainkan goresan tangan sederhana tetapi terasa nyambung dengan kisah yang tersaji. Hebatnya lagi, ilustratornya bukan pakar desain atau penerbit, melainkan suami dan putri penulis yang masih duduk di bangku SD. Maknanya, penulis tidak hanya pandai berteori, tetapi sudah mempraktikkan teori itu di keluarganya. Ia telah melibatkan sang anak dalam proses kreatif penerbitan sebuah buku.

Akhirnya menyimak dengan seksama penuturan penulis dalam buku ini, kita akan menemukan mutiara hikmah yang berserak di sekitar kita tetapi sering terlupa. Seperti testimoni psikolog Elly Risman, buku ini sangat baik karena bercerita tentang keseharian, mengandung bulir-bulir hikmah yang mengilhami dan bermanfaat bagi orangtua.

Poin pentingnya, saatnya kita menjadi orangtua bijak dan mampu menjalankan tugas pendidikan serta pengasuhan anak dengan cara dan sikap yang bijak pula.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (4 votes, average: 9.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Pendidik dan Penulis Tinggal di �Kota Soto� Lamongan

Lihat Juga

ICMI Rusia Gelar Workshop Penulisan Bersama Asma Nadia

Figure
Organization