Topic
Home / Pemuda / Mimbar Kampus / Rapat (Dakwah) Hanya Formalitas Sajakah?

Rapat (Dakwah) Hanya Formalitas Sajakah?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (donialsiraj.wordpress.com)
Ilustrasi (donialsiraj.wordpress.com)

dakwatuna.com – Tulisan ini, hadir sebagai feedback, dari tulisan seorang sahabat, yang menurut saya, memiliki judul yang cukup kontroversial “Rapat (dakwah) hanya formalitas saja”. Saya begitu tertarik  menanggapi dan membahas mengenai kebiasaan rapat di kalangan aktivis dakwah kampus (ADK) yang lain dalam berbagai hal, baik itu sisi teknis rapat, maupun pengambilan keputusan, dan ruh yang menjiwai rapat itu sendiri.

Dalam tulisannya sahabat Ana menyampaikan bahwa rapat di kalangan aktivis dakwah bukanlah segalanya. Kreativitas dalam komunikasi harus di salurkan lebih luwes lagi ketimbang cara sekarang yang menurut pendapatnya, banyak menghambat kreativitas komunikasi kader, beliau juga menekankan bahwa penyampaian secara langsung kepada pihak yang dituju (seperti ketua, koordinator, dll) jauh lebih efisien ketimbang harus menunggu rapat.

Memang tidak ada yang salah dengan menyampaikan langsung pendapat dan pemikiran kepada mas’ul (penanggung jawab pria), atau mengeluarkan ide ide terbaik kita pada mas’ulah (penanggung jawab wanita). Namun kalau memang hanya cukup begitu saja, dengan begitu rapat tak perlu digelar lagi atau memang benar rapat dakwah hanya formalitas saja di tengah kita saat ini? Dan kenapa harus di adakan juga? Toh, bisa saja kita nge-BBM atau pakai WhatsApp menyampaikan ide pada ketua atau kaputnya, dan whatever mereka mau nanggapi apa.

Tapi maaf wa afwan, rapat yang kita adakan bukan sembarang rapat, bukankah kita sudah sering dengar dalam berbagai agenda, daurah, dan mungkin hasil membaca. Masya Allah ternyata Rapat itu merujuk kepada apa yang dilakukan Rasulullah Sallahu ‘Alaihi Wassalam dahulunya. Toh, ketika Rasulullah akan melakukan peperangan Rasulullah selalu bermusyawarah dengan para Sahabat. Cukup banyak usulan Sahabat yang dilakukan oleh pasukan perang Rasulullah. Dalam perang Badar Al-Hubab bin Al-Mundzir memberikan usulan kepada Rasulullah SAW, ”Wahai Rasulullah SAW, apakah tempat ini termasuk yang ditentukan Allah dan kita tidak boleh memajukannya atau mengakhirkannya. Ataukah tempat ini termasuk pendapat atau siayah darimu?”. Rasulullah SAW menjawab, “Ini termasuk pendapat dan tipu daya perang”. Kemudian Al-Hubab bin Al-Mundzir mengusulkan strategi perang dengan menggeser posisi pasukan muslim lebih ke depan dan membelakangi sumber air minum yakninya sumur Badar.

Dan juga pada perang Uhud, sahabat yang lebih tua yang notabene lebih sedikit meminta strategi defensif dengan tetap bertahan di madinah dan menunggu pasukan Quraisy datang menyerang. Rasulullah pun setuju. Namun sahabat yang jauh lebih muda menyarankan kepada Rasulullah SAW untuk menyongsong musuh, karena lebih banyak yang meminta pergi keluar, maka Rasulullah kembali ke rumah dan memakai pakaian perangnya. Para sahabat merasa tidak enak hati karena telah memaksa Rasulullah, namun Nabi SAW bersabda, ”jika seorang nabi telah memakai baju perangnya, maka tidak patut baginya untuk melepaskannya sebelum ia berperang.” Kemudian Rasulullah berangkat menuju Bukit Uhud bersama 1.000 prajurit.

Dan masih banyak lagi contoh – contoh musyawarah lain pada zaman Rasulullah SAW, yang pada masa sekarang kita namakan Rapat, tepatnya lagi rapat dakwah. Lantas, apa korelasi nya dengan kisah di atas? Nah, bisa kita saksikan bahwa bagaimana pun keadaan nya musyawarah atau rapat itu harus selalu dilakukan. Bukan hanya sekadar formalitas belaka. Allah SWT pun memang menyuruh kita bermusyawarah dalam memecahkan masalah (Q.S Ali Imran: 159), hanya saja musyawarah dibolehkan untuk perkara yang tidak ada nash-nya (dalil) serta dalam hal teknis dan praktis, persis yang kita bahas ketika rapat.

Jadi jika ada persepsi yang menyatakan bahwa rapat tidak lebih dari Formalitas maka itu adalah salah besar. Memang tidak ada aturan baku juga bahwa hanya ketika rapat kita bisa mengungkapkan buah pikiran kita. Karena ide luar biasa itu bisa tiba-tiba saja bisa hadir dan sekejap juga bisa lenyap. Jadi bila hadir hal-hal yang memang harus di sampaikan, tafadhal di sampaikan, jika memang rapat tidak bisa memaksimalkan penyampaiannya itu.

Untuk kita ketahui, bahwasanya absen dari rapat (dakwah), merupakan musibah bagi kader dan dakwah itu sendiri, sepakat dengan statement ini? Rasanya harus sepakat. Absen sepihak tanpa ada kabar adalah sebuah aib bagi kader dakwah. Banyak hal negatif yang terjadi karena absennya kita, mulai dari su’udzhannya saudara lain, terganggu nya jalur informasi rapat, koordinasi antar lini tidak seimbang, tidak amanah, dll.

Dan izin dari rapat (dakwah), adalah dosa bagi seorang kader dakwah. Wah kenapa lagi ini? coba kita buka Al-Qur’an (Yang disebut) orang Mukmin hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad), dan apabila mereka berada bersama-sama dengan dia (Muhammad) dalam suatu urusan bersama, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sungguh orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (benar-benar) beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena suatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang engkau kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan (dosa) untuk mereka kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. An-Nur: 62)

….mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sungguh orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (benar-benar) beriman kepada Allah dan Rasul-Nya… itu adalah Firman Allah SWT. Bahwa jika para sahabat bermusyawarah pun tidak akan boleh pergi, sebelum Rasul mengizinkan. Dan itu adalah ciri dari orang mukmin. Dan mengenai disiplin waktu. Ah, ngaret rapat dengan alasan begini dan begitu bukan lagi trend nya sekarang. Tepat waktu merupakan parameter kualitas Iman.

Izin Syar’i yang sesungguhnya ialah izin yang memberikan manfaat bagi dakwah dengan izin tersebut (QS. An-Naml: 20-28), seperti burung hud hud yang akan di bunuh nabi Sulaiman AS karena tidak hadir dalam rapat besar kerajaan Nabi Sulaiman AS. Ternyata burung hud hud, sedang mengamati kerajaan di negeri seberang yang dipimpin seorang Ratu. Dan membawa berita penting lainnya. Ini baru izin syar’i yang memberikan manfaat pada dakwah Nabi Sulaiman saat itu. Lantas kita?

Jadi, apakah masih berpikir rapat itu Hanya sekadar formalitas?

Wallahu’alam.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (6 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...
Mahasiswa Politeknik Negeri Padang Unand angkatan 2010.

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization