Topic
Home / Berita / Opini / Televisi, Mesin Penjungkir Balik Nilai-Nilai Kesantunan

Televisi, Mesin Penjungkir Balik Nilai-Nilai Kesantunan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Ilustrasi (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Dewasa ini, di zaman pelesatan teknologi informasi, kecanggihan merasuki setiap lapisan kehidupan masyarakat. Dari gedung pencakar langit hingga pemukiman kumuh dua kali satu meter. Dari ibu kota sampai ke desa-desa. Dari yang lanjut usia hingga balita. Semua digerus arus. Tidak ada kelas masyarakat yang terlewat.

Di antara sekian banyak media yang ditawarkan pasar, kotak ajaib alias televisi merupakan sarana yang paling terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Ia merupakan sarana hiburan yang popularitasnya tidak diragukan lagi. Segmen penggunanya paling luas, media iklan untuk semua kalangan. Dengan televisi, maka dunia menari-nari di depan mata.

Dulu televisi hanya digunakan sebagai media informasi dan hiburan. Namun seiring berjalannya waktu, perkembangan media penyiaran kian pesat. Stasiun televisi yang semula hanya TVRI, kini sudah belasan stasiun terpancar luas di seluruh pelosok nusantara. Maka beriringan dengan itu pula tingkat kompetisi di kalangan produsen penyiaran kian ketat, aturan perundangan tak lagi diindahkan. Masing-masing hanya mengutamakan kepentingan bisnis dan melupakan esensi penting dari penyiaran itu sendiri.

Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia No 02/P/KPI/03/2012 tentang standar program siaran Bab II, Tujuan, Fungsi dan Arah, pasal 2, standar program siaran bertujuan untuk; (a) memperkokoh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera. Dan poin (c) mengatur program siaran agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Realita yang kita hadapi kini, penyiaran televisi tidaklah seperti yang seharusnya ia tuju. Fungsinya tak lebih dari media iklan dan politisasi golongan tertentu. Media yang hanya mengetahui ada dua waktu shalat – subuh dan Maghrib – itu menjelma dalam berbagai macam rupa. Pagi-pagi ustadz, tukang ghibah, panggung sandiwara, pembawa berita mengerikan dan kadang-kadang berwajah empati kepada masyarakat. Naif, semua keagresifan media eletronik bernama televisi itu dijadikan teladan. Televisi yang seharusnya menjadi pengusung adab-adab yang berkembang di masyarakat malah berlaku kebalikannya.

Bagi orang yang sudah memiliki tingkat kematangan berfikir, mampu memilah dan memilih, membedakan mana yang harus diambil dan dibuang, ia akan memfilter dari mulai channel apa yang dipilih, tayangan bagaimana yang ditonton, hingga nilai-nilai kehidupan yang layak dijadikan tuntunan. Sayangnya, para penonton dengan kualitas seperti ini sangat jarang, dan mungkin hanya menempati bilangan minoritas dari keseluruhan penduduk Indonesia. Maka efek dari itu semua, di era permisif ini bermunculanlah kasus-kasus yang tidak “terbayangkan”. Anak SD bunuh diri karena belum bayar SPP, siswa SMP loncat dari lantai mall yang paling atas pasca putus cinta, siswa SMA aborsi, tawuran, narkoba, tindakan kriminal, perdukunan, pembangkangan terhadap orang tua, dan masih banyak lagi.

Selanjutnya, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) bab XII tentang Pelarangan dan Pembatasan Seksualitas, pasal 18 program siaran yang memuat adegan seksual dilarang (j) mengesankan ketelanjangan rupanya jelas-jelas ambigu dan tidak berguna. Faktanya, televisi yang membenarkan bahwa praktek pornografi atau pornoaksi adalah bagian penting dari hak asasi manusia. Di mana lagi pelaku-pelaku pornografi dan pornoaksi akan eksis dan dilihat khalayak selain di televisi. Penampilan seronok, adegan mesum, perselingkuhan, disajikan kapan saja. Ketika dikritisi suatu pihak yang merasa terganggu dengan tingkah mereka, dengan tanpa malu mereka berdalih, “ini hak asasi”.

Baru-baru ini muncul lagi acara yang ditiru dari reality show televisi di Amerika Serikat. Sejumlah pria lajang dikumpulkan, dengan berbagai kelebihannya ia berusaha menjelaskan tentang siapa dirinya di hadapan sekian wanita lajang yang berpenampilan seksi, menggoda, dan siap berlabuh di pelukan pria tadi dengan satu alasan “cocok”. Acara ini menyedot banyak perhatian masyarakat, ditepuki, diapresiasi, padahal sesungguhnya reality show ini tidak lebih dari transaksi diri, pembenaran gaya hidup materialistis, permisif dan hedonis.

Lebih jauh dari itu, televisi dengan segala rangkaian acara dan pemberitaannya, dia sudah mengobrak-abrik nilai-nilai kehidupan. Mencampuradukkan antara yang hak dan bathil. Dekadensi moralitas bangsa tak dipedulikan. Mengapresiasi sikap hidup yang kurang tepat, seperti halnya kontes waria, pernikahan beda agama, pernikahan sesama jenis dan sebagainya. Padahal sejatinya, inilah yang disebut P3SPS sebagai program yang bertentangan dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.

Atas nama “menarik”, televisi kerap tidak merasa sungkan menjatuhkan sosok tertentu yang dianggap menguntungkan bisnisnya jika aib orang tersebut diumbar. Televisi, dengan ketajaman lisannya seperti leluasa menaikkan atau menurunkan kedudukan seseorang. Seperti kasus mesum tiga artis ternama beberapa waktu silam, dalam sekejap saja ketiga artis tersebut sudah menghilang ditelan badai, lalu seketika muncul lagi disambut gegap gempita.

Terlepas dari siapa tangan tersembunyi yang mengendalikan penyiaran televisi, maka sudah sepantasnya kita menjadi bangsa yang cerdas dan mencerdaskan. Kaum akademisi tak patut berlama-lama di depan televisi, tertawa-tawa, atau bahkan mengidolakan mereka yang jelas-jelas merusak peradaban bangsa ini. Kita ajak semua anggota keluarga untuk bergeser perlahan-lahan, mengganti aktivitas menonton televisi dengan membaca, diskusi, menulis dan aktivitas bermanfaat lainnya. Selain itu, diharapkan kepada lembaga yang sengaja dibentuk guna mengawasi program penyiaran untuk bekerja dengan semestinya. Bukan malah menjadi parasit bagi negeri yang hidupnya ditanggung APBN/APBD tetapi tidak berlaku sebagai aktor perbaikan bangsa ini.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 9.50 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswi STIU Al Hikmah.

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization