Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Keistimewaan Ijtihad Rasulullah SAW ([1])

Keistimewaan Ijtihad Rasulullah SAW ([1])

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

 

قَالَ تَعَالَى: )وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى( (Q.S. An-Najm [53]: 3-4)

Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Sebelum pemerhati ijtihad syar’i diajak mengetahui lebih lanjut keistimewaan ijtihad Rasulullah Saw, terlebih dahulu Anda diminta menjawab pertanyaan ini: “Apakah boleh Rasulullah Saw berijtihad? Bukankah yang ia ucapkan semuanya wahyu dari Allah SWT seperti makna lahiriah ayat di atas?”

Pertanyaan ini melahirkan polemik para ulama Islam. Mayoritas ulama (jumhur) membolehkannya, ([2]) kecuali Abu Ali al-Jubbâi dan anaknya Abu Hisyâm dari kalangan Mu’tazilah yang tidak melihat adanya ijtihad Rasul Saw. Yang membolehkan dari mereka ada yang membatasi ruang lingkup ijtihad Rasulullah Saw di peperangan dan segala kaitannya dari strategi perang, ([3]) seperti siasat menghadapi kaum Quraisy di perang Badr, dan cara menyikapi 70 pembesar kaum Quraisy yang ditawan oleh pasukan Islam, ([4]) dan di antara mereka ada pula yang membolehkannya di masalah–masalah yang dipersengketakan (الأَقْضَِةُ). ([5])

Q.S. An-Najm [53]: 3-4 pegangan terhadap semua kelompok, baik yang membolehkan ijtihad Rasulullah Saw atau pun yang tidak membolehkannya. Olehnya itu, mereka berbeda penafsiran dalam memahami makna ayat tersebut. Namun, sebelum terlalu jauh memaparkan penafsiran-penafsiran mereka, sebelumnya itu Anda diajak mencermati dalil-dalil mayoritas ulama yang membolehkan ijtihad Rasulullah Saw. Dalil-dalil tersebut ([6]) di antaranya:

Pertama: Allah Swt memerintahkan kepada mereka yang memiliki daya paham dan nalar untuk menggunakan qiyas, seperti makna yang dibiaskan Q.S. Al-Hasyr [59]: 2. Sementara itu, Rasulullah Saw pemilik tertinggi daya nalar dan pemahaman, dan lebih mengetahui syarat-syarat qiyas. Olehnya itu, yang pertama kali dicakup oleh makna umum ayat ini adalah Rasulullah Saw, sehingga dengan sendirinya ia pun diperintahkan mengamalkan qiyas. Tentunya, ia mengamalkannya demi menjaga kesuciannya (ismah) dalam mematuhi hukum syar’i.

Kedua: jika sebab penetapan hukum syar’i dalam satu masalah diketahui oleh Rasulullah Saw bahwa ia didasari oleh sifat tertentu, kemudian ia mengetahui atau mengira sifat itu ditemukan juga di masalah lain, maka wajib baginya menghukumi masalah kedua ini seperti hukum masalah pertama. Yang demikian itu karena yang wajib diamalkan adalah apa yang dilihat akal sebelumnya dari kekuatan hukum yang ada di masalah pertama.

Ketiga: menerapkan ijtihad jauh lebih sulit dari mengamalkan teks karena ia butuh kesiapan dan kemampuan khusus, sehingga ia pun mengoleksi banyak pahala, seperti Sabda Rasulullah Saw kepada Sayyidah Aisyah R.A: (أَجْرُكِ عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ), jika seandainya Rasulullah Saw meninggalkan ijtihad, sementara umatnya mengamalkannya, tentunya, ini menghendaki umatnya memiliki kemuliaan yang tidak dimiliki Rasulullah Saw, dan pastinya ini mustahil terjadi.

Keempat: ijtihad lebih menunjukkan kemampuan akal berpikir dari mengamalkan teks, sehingga ia pun terhitung kemuliaan. Dan karena Rasulullah Saw pemilik seluruh bentuk kemuliaan, maka kemuliaan ini pun tidak luput darinya.

Sekarang, Anda di ajak menyikapi pernyataan yang membenturkan ijtihad Rasulullah Saw dengan wahyu, pernyataan yang tidak membolehkan ijtihadnya hanya karena menyalahi makna lahiriah Q.S. An-Najm [53]: 3-4.

Jawabannya seperti ini:

Pertama: selagi Rasulullah Saw diperintahkan berijtihad dan menyampaikan hukum yang dicapainya, yang demikian itu tidak keluar dari garis batas wahyu. ([7])

Kedua: memfatwakan hukum yang dicapai ijtihad bukanlah perkataan yang didasari hawa nafsu. Yang terhitung hawa nafsu jika perkataan itu tunduk terhadap keinginan-keinginan nafsu belaka. Olehnya itu, selagi ia jauh dari hawa nafsu, maka ia pun dibolehkan syariat.

Ketiga: kata (الْهَوَى) di ayat tersebut bukan hanya berarti hawa nafsu, tetapi ia juga bermakna kecenderungan hati atau apa yang telah diyakini hati kebenarannya. Sementara itu, hakikat ijtihad tidak luput dari makna terakhir ini. Olehnya itu, ia pun diperintahkan.

Selain ayat ini, yang tidak mengizinkan adanya ijtihad Rasulullah Saw masih punya satu dalil lagi dalam masalah ini. Mereka mengatakan: “Seandainya Rasulullah Saw dibolehkan berijtihad di hukum-hukum syar’i, tentunya ia akan memecahkan segera masalah-masalah yang dipersengketakan tanpa harus menunggu turunnya wahyu, tetapi, ia ditemukan menangguhkan ijtihad untuk sementara waktu di masalah li’an ([8]) dan dzihar ([9]).”

Jawabnya: Rasulullah Saw tidak langsung memberikan jawaban karena ia masih menunggu turunnya wahyu, atau ia tidak mendapatkan asal masalah yang dapat dijadikan sebagai dasar qiyas terhadap kedua masalah tersebut. ([10])

Jika Anda telah meyakini kebenaran perkataan mayoritas ulama yang menyetujui adanya ijtihad Rasulullah Saw, maka apakah ijtihadnya kadang menyalahi hakikat hukum yang diinginkan Allah SWT?

Jawabnya: para ahli tahkik menyimpulkan bahwa Rasulullah Saw boleh salah dalam berijtihad, tetapi sebelum ia mengamalkan kesalahan itu, Allah memberitahunya apa yang benar dalam masalah tersebut. Yang demikian itu mustahil bagi Allah menyepakati Rasulullah Saw di kesalahan apa pun dalam berijtihad. ([11])

Olehnya itu, penulis menyimpulkan bahwa ijtihad Rasulullah Saw tidak pernah jauh dari kebenaran, apakah karena ia benar pada awal mulanya, atau dibenarkan Allah pada akhirnya dari sebuah kesalahan.

Tentunya, keistimewaan ini hanya dimiliki Rasulullah Saw saja dan tidak dimiliki para ahli ijtihad dari umatnya.

Kini, Anda diajak melihat hikmah-hikmah ijtihad Rasulullah Saw secara umum yang disimpulkan dalam dua icon besar:

Pertama: ijtihadnya mendidik umat dan melatih mereka berijtihad sehingga terbentuk dalam diri mereka kemampuan berijtihad yang memungkinkan mereka mengetahui hukum terhadap masalah-masalah apa saja yang hukumnya tidak ditemukan di Al-Quran dan sunnah.

Syekh Muhammad Ali as-Sâyis berkata:

“Rasulullah Saw berijtihad dan mengizinkan para sahabatnya untuk meneladani ijtihadnya supaya ia dengan sendirinya langsung mendidik mereka tata cara mengambil hukum dari dalil-dalil Qur’an dan hadits yang menyeluruh, sehingga nantinya para ahli fiqih dan ilmu pengetahuan mampu menemukan hukum terhadap masalah-masalah baru dengan mengedepankan makna-makna umum dalil-dalil syar’i yang cukup luwes dan fleksibel. Dengan tuntunan sunah ini fiqih Islam dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan zaman dan peradaban umat yang dari hari ke hari senantiasa hadir beraneka ragam. Keistimewaan ini hanya dimiliki fiqih Islam yang tidak dimiliki hukum-hukum buatan manusia yang berdasarkan perasan akal mereka semata.”([12])

Kedua: ijtihadnya menegaskan kemanusiaan dan kehambaannya kepada Allah SWT.

Dr. Nadiya Syarif al-Imari berkata:

“Hukum-hukum yang dicapai ijtihad Rasulullah Saw bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri terhadap kemanusiaan dan kehambaannya kepada Allah SWT dan agama itu hanya milik-Nya semata, Dia punya kekuasaan mutlak dalam mengeluarkan hukum. Sesungguhnya Rasulullah Saw berijtihad di pelbagai masalah, kadang ia benar dan kadang juga salah, dan di kala salah turun atasnya wahyu Allah membenarkannya.”([13])

Di hikmah ini, Syekh al-Hijawi menambahkan:

“Hikmah lain dari kesalahan yang kadang ditemukan di ijtihad Rasulullah Saw adalah didikan terhadap umat untuk tidak cepat mengecam para ulama yang ditemukan menyalahi kebenaran karena bagaimanapun ijtihad itu berpeluang jatuh di lembah kesalahan. Dan tentunya, jika mereka saling mengecam, memaki, dan mengancam maka roda ijtihad dipastikan berhenti berputar, sementara ijtihad itu sendiri salah satu dari kemaslahatan umat yang faedahnya meliputi semua umat, faedah yang senantiasa berkesinambungan selama piramid ijtihad kokoh dan terjaga dari tangan-tangan jahil.”([14])

Sudut pandang seperti ini disikapi oleh Syekh Abdul Jalil Isa dengan menyimpulkan bahwa ijtihad Rasulullah Saw salah satu sumber pengetahuan yang punya keurgensian khusus dalam mengetahui hubungan Allah SWT dengannya dalam batas-batas Al-Quran dan Sunnah. Berikut ini pernyataan beliau:

“Ijtihad Rasulullah Saw bukti nyata kerasulannya, tetapi di balik kerasulan itu ia manusia biasa, sehingga ia senantiasa terjaga (ismah) dalam menyampaikan wahyu, ia pun ibaratnya seperti manusia lain dalam hal ijtihad yang kadang benar dan salah.

Pandangan ganda seperti ini terhadap Rasulullah Saw sama sekali tidak mengurangi kehormatan dan kesuciannya di jiwa orang-orang beriman. Dia senantiasa manusia pilihan, dan bukan manusia biasa, ia dimuliakan Tuhannya mengemban amanah risalah-Nya, sehingga ia pun dimuliakan orang-orang beriman dilihat dari derajat khusus yang ia miliki di sisi Allah. Namun di sisi lain, orang-orang beriman berhak mengetahui batasan-batasan derajat kemuliaan tersebut sehingga mereka tidak menyekutukannya dengan Allah dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada dirinya.

Olehnya itu, Rasulullah Saw jika ia dilihat dengan kacamata penciptaan, ia seperti bintang Arcturus dan bintang Spica ([15]) dan semua entitas penciptaan merayap dan berjalan di permukaan bumi dengan sorotan sinar cahaya kedua bintang tersebut. Tetapi, jika ia diposisikan sebagai hamba Allah, ia pun seperti manusia lain yang tunduk kepada kekuatan Maha Penakluk yang hanya Dia yang memiliki kesempurnaan mutlak.”([16])

Di akhir hikmah-hikmah ijtihad Rasulullah Saw, di sana ada hikmah lain yang sempat terbaca oleh penulis, ijtihad Rasulullah Saw bukti kuat atas kejujuran dan ketulusannya dalam mengemban amanah penyampaian wahyu. Yang demikian itu karena ia tidak menyembunyikan ayat-ayat yang menegurnya dengan begitu keras di saat menyalahi hukum yang lebih tepat diikuti dan diambil olehnya dalam masalah tertentu, seperti yang dikisahkan sebab turunnya Q.S. Abasa [80]: 1-16:

قَالَ تَعَالَى: )عَبَسَ وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى (2) وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى (3) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى (4) أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى (5) فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى (6) وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّى (7) وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى (8) وَهُوَ يَخْشَى (9) فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى (10) كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ (11) فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ (12) فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ (13) مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ (14) بِأَيْدِي سَفَرَةٍ (15) كِرَامٍ بَرَرَةٍ(.

Di sini, Rasulullah Saw mengedepankan maslahat umum dari maslahat pribadi. Olehnya itu, ia berpaling dari Abdullah bin Maktum yang mendatanginya meminta petunjuk dan beralih menjelaskan Islam kepada pembesar-pembesar Quraisy. Ijtihad ini tidak disahkan wahyu Al-Quran yang turun menegurnya seperti yang dikisahkan riwayat berikut:

حَدَّثَنَا عَلِي بْن عِيْسَى الْحَيْرِي، ثَنَا الحُسَيْن بنْ مُحَمَّد بْن زِيَاد، ثَنَا سَعِيْد بْن يَحْيَي بْن سَعِيْد الأُمَوِي، ثَنَا أَبِي عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قَالَت: أُنْزِلَتْ (عَبَسَ وَتَوَلَّى) فِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ، جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ e فَجَعَلَ يَقُولُ: أَرْشِدْنِي، قَالَتْ: وَعِنْدَ النَّبِيِّ e رَجُلٌ مِنْ عُظَمَاءِ الْمُشْرِكِينَ، فَجَعَلَ النَّبِيُّ e يُعْرِضُ عَنْهُ وَيُقْبِلُ عَلَى الْآخَرِ، وَيَقُولُ: أَتَرَى بِمَا أََقُولُ بَأْسًا؟ فَيَقُوْلُ: لَا فَفِيَّ هَذَا َأُنْزِلَتْ (عَبَسَ وَتَوَلَّى).([17])

Imam Rasyid Ridha dalam menganalisa sebab datangnya teguran ilahi ini terhadap ijtihad nabawi tersebut mengatakan:

“Ijtihad Rasulullah Saw menghendakinya berpaling dari Ibn Ummi Maktum yang mendatanginya meminta petunjuk kenabian dan lebih memilih memberikan pencerahan dakwah Islam kepada pemuka-pemuka kaum Quraisy. Di sini, nampak baginya secercah harapan dari keimanan mereka, sehingga ia pun menyibukkan diri menjelaskan kepada mereka keagungan dan kemuliaan ajaran Islam. Yang demikian itu karena dia belum mengetahui sunah Allah bahwa yang pertama kali mengimani para Nabi Allah adalah para fakir miskin dan orang awam dari mereka dan bukan para pembangkang yang terombang ambing oleh kenikmatan dunia fana ini yang senantiasa melihat kepemimpinan mereka terancam jika mengikuti agama Muhammad, sebab yang menjadikan mereka angkuh dan kafir mengingkari ayat-ayat Allah.”([18])

Hematnya, Allah SWT menegurnya, karena apa yang diperbuatnya itu dapat melukai hati fakir-miskin, sementara itu, ia wajib memperhatikan dan menjaga perasaan mereka, seperti yang ditegaskan Q.S. Al-An’am [6]: 52 dan Q.S. Al-Kahfi [18]: 28:

قَالَ تَعَالَى: )وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِنْ شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ(.

قَالَ تَعَالَى: )وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا(.

Di sisi lain, Syekh al-Maragi menyimpulkan:

“Hematnya, Allah SWT menegurnya dengan keras dan memerintahkannya memberikan perhatian kepada Ibn Ummi Maktum yang terhitung cerdas dan melarangnya berpaling kepada mereka yang hanya mengandalkan kekuasaan dan kekuatan. Yang demikian itu karena yang pertama hidup mengikuti fitrah penciptaannya dan kelompok kedua mata hati dan perasaannya telah buta.

Setelah kejadian ini, Rasulullah Saw senantiasa memuliakan Ibn Ummi Maktum, mengunjungi, menanyakan kondisinya, dan mengatakan kepadanya tiap kali ia melihatnya: “Ahlan wa Sahlan kepada Anda yang menyebabkan saya ditegur Tuhanku,” kemudian berkata: “apakah Anda butuh sesuatu?””([19])

Di kisah ini yang sarat dengan pelajaran dan hikmah hidup, para pecinta sunah dapat memetik faedah-faedah kehidupan, di antaranya:

Pertama: hidayah ilahi tidak mengenal lapisan masyarakat, akan tetapi, Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendakinya ke jalan yang benar. Di samping itu, dakwah Islam tidak membedakan satu kelompok dari kelompok lain, akan tetapi, dakwahnya mendunia.

Jalaluddin as-Suyuti berkata:

“Ayat-ayat ini anjuran untuk menyambut hangat fakir-miskin, memuliakan mereka di majelis-majelis ta’lim, memenuhi hajat mereka, dan tidak mengedepankan orang-orang kaya dari mereka.”([20])

Kedua: (عَبَسَ وَتَولَّى) datang tanpa menyebutkan pelaku dari kedua kata kerja tersebut, meskipun yang disepakati para ulama seperti yang dinukil Ibn Hajar di Fathul Bari ([21]) adalah Nabi Saw. Yang demikian itu karena Al-Quran bukanlah kitab catatan yang memuat pujian atau buku induk yang berisikan cacian, akan tetapi, Al-Quran kitab yang meracik kisah menjadi pelajaran hidup dan pesan-pesan moral terhadap orang-orang bertaqwa. ([22])

Ketiga: ayat ini dan ayat-ayat teguran lain dalil kuat atas kejujuran Nabi Saw dan amanahnya dalam menyampaikan wahyu Allah. Di samping itu, ia pun bukti sakti terhadap kemukjizatan Al-Quran, kalam ilahi, dan bukan polesan mulut Rasulullah Saw. Karena seandainya Al-Quran itu perkataannya, ia mungkin saja menyembunyikan ayat-ayat teguran ini sehingga luput dari bacaan manusia siang dan malam.

Olehnya itu, Syekh as-Syarqani menghitung ayat-ayat teguran ini salah satu bentuk kemukjizatan Al-Quran, beliau berkata:

“Artinya, Al-Quran di pelbagai ayatnya mengabadikan kesalahan-kesalahan pendapat Rasulullah Saw dan menegurnya dengan teguran yang kadang terasa lembut dan kadang juga menyentuh dengan begitu kuatnya. Tentunya, akal jernih menyatakan dengan penuh keimanan bahwa Al-Quran ini kalam ilahi semata, karena seandainya saja ia polesan perkataan Muhammad Saw, pasti ia membuang jauh-jauh kesalahan-kesalahan ijtihad ini yang mendapatkan teguran ilahi sehingga luput dari bacaan manusia yang telah menjadi mediasi kedekatan hamba kepada Sang Pencipta siang dan malam hingga kiamat datang.”([23])

Di penghujung tulisan ini, penulis mengajak pemerhati dan pecinta keistimewaan ijtihad Rasulullah Saw untuk menyuarakan kesimpulan berikut:

“Bagaimanapun Rasulullah Saw bukan manusia biasa, ia seperti bintang Arcturus dan bintang Spica yang cahayanya menambah elok pemandangan malam atap dunia dan menyinari penglihatan makhluk-makhluk bumi yang ingin menyaksikan keindahan pemandangan itu. Meskipun demikian, ia seperti manusia biasa dalam masalah ijtihad, kadang benar dan kerap juga salah. Tetapi, di saat ijtihadnya menyalahi apa yang sepatutnya diikuti dan dijalani, teguran ilahi datang membenarkan dan membimbingnya ke jalan lurus. Hakikat ini bukti kuat atas kejujuran beliau dalam mengemban amanah penyampaian wahyu ilahi, karena seandainya ia tidak jujur, mungkin saja ia menyembunyikan dari umat ayat-ayat teguran ini, tetapi mereka hadir dengan begitu jelasnya menyuguhkan hikmah-hikmah kehidupan bagi mereka yang ingin mengusir hausnya dengan meneguk secangkir air dari telaga Kautsar makna-makna Al-Quran.”


([1])   Masalah ini telah dibahas di tesis kami yang bertema: “Respon Al-Qur’an terhadap Ijtihad Rasulullah Saw Perspektif Ushul Fiqih dan Tafsir (موقف القرآن من اجتهاد الرسول صلى الله عليه وسلم ((دراسة أصولية تفسيرية)), yang dipromosikan pada 10, 10, 2009 di Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo.  

([2])   Seperti Imam Syafi’i yang dinukil Imam ar-Razi di al-Mahshul, vol. 6, hlm. 7, dan Syekh al-Âmidi di al-Ihkâm, vol. 4, hlm. 200, Ibn al-Hâjib, Mukhtashar al-Muntaha al-Ushuli, hlm. 222

([3])   Lihat: Imam ar-Razi, Op.Cit, vol. 6, hlm. 7

([4])   di sini, Rasululullah Saw mengikuti pendapat Hubab bin al-Mundzir yang menyarankan umat memilih dan menyusun strategi perang di bawah sumur yang ada di bukit Badr. Sumur itu dilubangi sehingga airnya habis ditampung oleh bala tentara Islam di kawasan strategi mereka, sehinga mereka minum dan kaum Quraisy tidak minum. Setelah melihat siasat jitu ini, Rasulullah Saw pun langsung menyetujuinya.

     Di kisah yang sama, setelah kaum Quraisy kalah di perang Badr tersebut, umat Islam berhasil menawan dari mereka 70 pemuka kaum. Di sini, Rasulullah Saw punya dua pilihan, apakah ia mengambil tebusan kemudian melepaskan mereka, atau membunuh mereka semua. Yang pertama saran Abu Bakar, dan yang kedua saran Umar setelah Rasulullah Saw meminta musyawarah mereka. Sementara itu, Rasulullah Saw tidak diperhadapkan dua opsi, kecuali ia mengambil yang paling mudah selagi itu bukan dosa yang menyalahi syariat. Olehnya itu, Rasul Saw berijtihad mengambil tebusan dan membebaskan mereka. Yang demikian itu karena uang tebusan itu dapat menguatkan stabilitas keamanan, sosial, dan keuangan negara Islam. Dan bagi yang tidak punya uang tebusan, mereka diminta untuk mengajar anak-anak sahabat membaca dan menulis hingga mereka benar-benar menguasainya.

     Ijtihad Rasulullah Saw mendapatkan teguran ilahi dengan turunnya ayat Q.S Al-Anfal [8]: 67-68. Yang demikian itu karena hukum samawi menghendaki mereka membunuh para pembesar kaum Quraisy tersebut sehingga kekuatan mereka melemah, jika mereka lemah tentunya mereka tidak punya nyali lagi mencemoh dan menantang agama Allah.

     Ayat-ayat teguran tersebut seperti berikut:

قَالَ تَعَالَى: )مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (67) لَوْلَا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ(.

Lihat: riwayat Ibn Abbas R.A di Shahih Imam Muslim, kitab Jihad, bab al-Imdad bil Malaikah fi Gazwah Badr, hadits. no: 4687, hlm. 936-937, dan lihat juga Musnad Imam Ahmad, hadits. no: 208, vol. 1, hlm. 255-256, dan hadits. no: 221, hlm. 261-262

([5])   yang demikian itu karena Rasulullah Saw diperintahkan Allah Swt melihat sisi lahiriah dari kebenaran sebuah hukum dalam masalah-masalah persengketaan, seperti yang diriwayatkan Ummu Salamah di Shahih Imam Bukhari:

(إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ، وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَلْحَنُ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِيَ لَهُ بِنَحْوٍ مِمَّا أَسْمَعُ مِنْهُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِشَيْءٍ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ فَلاَ يَأْخُذْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ).

Yang diamini kebenarannya oleh mayoritas ulama, Rasulullah Saw boleh menggunakan qiyas dalam berijtihad. Di samping itu, mereka pun menyepakati bahwa Rasulullah saw tidak pernah berijtihad hanya untuk mengetahui teks-teks syar’i, ia pun tidak pernah berijtihad untuk mengetahui makna lafazh-lafazh syar’i yang tidak jelas dan butuh penalaran lebih lanjut, seperti: lafazh-lafazh Mujmal, Musykil, dan Mutasyabih. Baginya, semuanya jelas dan tidak butuh ijtihad.

Lihat: Imam al-Qarafi, Nafâis al-Ushul fi Syarhi al-Mahshul, ditahik dan dikomentari oleh Syekh Adil Ahmad Abdul Maujud dan Syekh Ali Muhammad Mi’wadh, Maktabah Nazzâr Mustafa al-Bâz, Mekah al-Mukarramah, cet. 1: 1416 H/1995 M, vol. 9, hlm. 3806, dan lihat juga: Syekh Bakhit al-Muti’iy, Sullam al-Wushul Syarhu Nihâyati as-Sûl, vol. 4, hlm. 533-534

([6])   di sini, penulis menukil dalil-dalil yang disebutkan Syekh Isnawi di Nihâyah as-Sul ala al-Minhaj, vol. 4, hlm. 529-537

([7])   Lihat: Muhammad bin al-Husain bin Abdillah al-Armawi, Hâshil al-Mahshul fi Ushul al-Fiqh, ditahkik oleh Dr. Abdussalam Mahmud Abu Naji, Jamiah Qadiyuwns, Bangazi, cet. 1994 M, vol. 2, hlm. 1002

([8])   Li’an adalah perintah syar’i kepada suami yang tidak dapat mendatangkan empat saksi di saat menuduh istrinya berzina untuk bersaksi 4 kali bahwa apa yang ia katakan itu benar dan yang kelima kalinya laknat Allah baginya jika ia pada hakikatnya berbohong, seperti yang diatur di Q.S. An-Nur [24]: 6-9

     Di sini, Syekh Bakhit al-Muti’i melihat contoh ini kurang tepat. Ia melihat Rasulullah Saw langsung memberikan jawaban dan tidak menundanya dengan mengatakan kepada Hilal bin Umayyah yang mendzihar istrinya Syarik bin Sahma’: (Anda harus mendatangkan keterangan dari tuduhan Anda itu atau punggung Anda dicambuk). Hukum ini dibatalkan setelah ayat li’an diturunkan.

     Lihat: Sullam al-Wushul Syarhu Nihâyati as-Sûl, vol. 4, hlm. 536, dan hadits riwayat Shahih Imam bukhari, Kitab as-Syahâdât, bab Isa Idda’a au Qadzafa falahu an Yaltamisa al-Bayyinah, hadits. no: 2671, hlm. 729

([9])   Suami dikatakan mendzihar istrinya jika ia mengharamkan dirinya untuk menyentuhnya, seperti perkataannya: “Anda wahai istriku, haram bagiku mendekatimu (menggauli), seperti diharamkan bagiku mendekati ibuku.” Hukum dzihar ini telah diatur di Q.S. Al-Mujadilah [58]: 1-4

([10])                 Lihat: Muhammad bin al-Husain bin Abdillah al-Armawi, Op.Cit, vol. 2, hlm. 1003

([11])                 Lihat: ar-Razi, al-Mahshul, vol. 6, hlm. 15, Ibn al-Hajib, Mukhtashar al-Muntaha al-Ushuli, hlm. 230, al-Âmidi, al-Ihkâm, vol. 4, hlm. 261, dan lihat juga: al-Isnawi, Nihâyah as-Sul, vol. 4, hlm. 537-538

([12])                 Lihat: Muhammad bin Ali as-Sâyis, Nasy’ah al-Fiqhi al-Ijtihâdi wa Atwârih, hlm. 23-24

([13])                 Lihat: Dr. Nadiyah Syarif al-Imari, Ijtihad Rasulullah Saw, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. 2: 1422 H/2002 M, hlm. 361

([14])                 Muhammad bin Hasan al-Hijawi, al-Fikr as-Sâmi fi Tarikh al-Fiqhi al-Islami, Matbaah al-Baladiah, Pas. Cet. 1345 H, vol. 1, hlm. 56-57

([15])                 Kedua bintang ini sangat bercahaya di antara gugusan bintang. Bintang Arcturus bersinar di ufuk utara langit dan bintang Spica di ufuk selatan. Di sini, beliau diibaratkan seperti kedua bintang ini karena ia memiliki derajat tertinggi yang tidak dimiliki hamba lain. Lihat: Ibn al-Atsir, al-Mubârak bin Muhammad al-Jazari, an-Nihâya fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, ditahkik oleh Muhammad at-Tanahi dan Thahir Ahmad az-Zawi, Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi, Beirut, vol. 2, hlm. 403

([16])                 Lihat: Abdu An-Nasr, Abdul Jalil Isa, Ijtihad Rasulullah Saw, Maktabah as-Syuruq, Cairo, cet.2: 1423 H/2003 M, hlm. 12

([17])                 Hadits riwayat Hakim di Al-Mustadrak, kitab Tafsir, bab wa min Surah Abasa, hadits. no: 3954, vol. 2, hlm. 504

     Selanjutnya, beliau berkata: “hadits ini sah sesuai dengan syarat sah hadits Imam Bukhari dan Imam Muslim, meskipun keduanya tidak mengeluarkannya. Hadits ini diriwayatkan mayoritas ahli hadits dengan periwayatan mursal dari Hisam bin Urwah.” Imam Dzahabi di at-Talkhis membenarkan justifikasi ini.

     Hadits ini diriwayatkan juga di Sunan Imam at-Tirmidzi, kitab Tafsir, bab Tafsir Surah Abasa, hadits. no: 3331, hlm. 755, dan di Shahih Ibn Hibban, kitab al-Bir wal Ihsan, Fashl min al-Bir wal Ihsan, hadits. no: 535, vol. 2, hlm. 293-294

([18])                 Lihat: Tafsir al-Manâr, vol. 10, hlm. 550-551 

([19])                 Tafsir al-Maragi, vol. 30, hlm. 28

([20])                 Jalaluddin as-Suyuti, al-Iklil fi Istinbath at-Tanzil, ditahkik oleh Saefuddin Abdul Qadir, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, cet. 2: 1405 H/1985 M, hlm. 281

([21])                 Lihat: Fathul Bari, vol. 8, hlm. 281

([22])                 Lihat: Dr. Abdul Badi’ Abu Hasyim Muhammad, min Ahkam al-Usrah wal Mujtama’ fil Qur’anil Karim, Dar Ali for Publishing, cet.1: 1417 H/1997 M, hlm. 97

([23])                 Muhammad Abdul Adzhim az-Zarkani, Manâhil al-Irfân fi Ulumil Qur’an, ditahkik oleh Fawwaz Ahmad Zamrali, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, cet. 3: 1419 H/1999 M, vol. 2, hlm. 302

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Pensyarah antar-bangsa (Dosen) Fakulti Pengajian Alqur'an dan Sunnah, universiti Sains Islam Malaysia (USIM). Degree, Master, Phd: Universiti Al-Azhar, Cairo. Egypt

Lihat Juga

Di Mauritania, Ratusan Tokoh Agama Mendesak Pusat Pendidikan Ulama Dibuka Kembali

Figure
Organization