Topic
Home / Berita / Analisa / Belajar Dari Sepuluh Tahun AKP Berkuasa

Belajar Dari Sepuluh Tahun AKP Berkuasa

Perdana Menteri Turki Recep Tayyep Erdogan dan istri. (inet)
Perdana Menteri Turki Recep Tayyep Erdogan dan istri. (inet)

dakwatuna.com – Mostafa Ozkaya, teman kuliah asal Turki yang kini bekerja sebagai reporter al-Jazeera, tentu tak pernah membayangkan bahwa pada suatu hari ia akan melaporkan kongres partai Islam, Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet Ve Kalkimna Partisi – AKP) dari negaranya sendiri, medio Oktober lalu. Pasalnya, Turki adalah pusat sekulerisme Islam di benua Eropa. Tapi, tak terasa, kini AKP telah berkuasa selama sepuluh tahun, suatu periode waktu yang masih bau kencur untuk membangun peradaban, namun cukup lama untuk kekuasaan sebuah partai Islam di jantung negeri sekuler itu.

AKP, Partai yang didirikan pada tahun 2001 itu, memang hadir bak meteor di panggung politik Turki. Pada pemilu perdana yang diikutinya, Januari 2002, AKP menyabet kemenangan meyakinkan. Partai itu langsung mendapat 30 persen suara pemilih dan – berdasarkan sistem proporsional — menguasai 2/3 kursi parlemen. AKP mengantarkan salah satu tokoh pendirinya, Abdullah Gul, menjadi Perdana Menteri. Dan lewat “kudeta konstitusi”, Abdullah Gul digantikan oleh Recep Tayyep Erdogan (Baca: Rajab Thayyib Erdogan) menjadi Perdana Menteri hingga saat ini.

Kini, AKP menguasai 327 dari 500 kursi parlemen, dan kekuasaan partai itu telah memasuki tahun kesepuluh. Bahkan, Erdogan, mantan walikota Istanbul itu, kini menjalani periode kedua sebagai Perdana Menteri Turki.

Apa yang membuat AKP bertahan, bahkan cenderung meningkat kekuasaannya dari waktu ke waktu? Apa pula hasil “islamisasi” yang telah berhasil dilakukan AKP untuk keluar dari kubangan sekulerisme Kamal Attaturk? Di tengah kegalauan partai-partai Islam di negeri ini yang, konon, berdasarkan survey tak punya peluang besar pada pemilu 2014, capaian AKP di Turki patut disimak untuk menjadi cermin bagi mata yang masih mau terbuka.

Membincangkan hal ini, ada sejumlah poin menarik. Pertama: AKP tidak terjebak pada perjuangan simbolisme agama. Kabinet Erdogan sangat fokus pada kerja-kerja nyata yang menyentuh hajat hidup masyarakat banyak. Pembangunan digenjot, korupsi diperangi, dan – seperti diakui majalah berpengaruh, The Economist – “the most successful in Turkey in decades to negate the inflation rate!” Erdogan berhasil menekan angka inflasi yang sempat menyentuh 8 digit.

Turki memang negeri ajaib. Dulu, di Istanbul, sekadar minum kopi di pinggir jalan harus siap-siap merogoh kocek lima juta Lira! Maklum, satu dollar Amerika setara dengan 1.650.000,- Lira. Pelan-pelan, Erdogan melakukan redenominasi mata uang. Ia membuang enam digit angka di belakang dan memperkenalkan mata uang Lira baru, Yeni Turk Lirasi.

Usaha menekan inflasi ini, ternyata, berhasil. Turki pelan-pelan masuk ke negara dengan PDB (Produk Domestik Bruto) terbesar di Eropa. Bahkan ketika sejumlah negara di Eropa dilanda krisis akut seperti Yunani dan Spanyol, Turki justru mengalami surplus. Kuncinya, Erdogan memainkan “koneksi Timur Tengah” untuk mempertahankan pasar dan kekuatan ekonominya.  Bahkan, secara politik, Istanbul pelan-pelan menggeser peran Teheran dan Washington dalam pentas politik Timur Tengah.

Menyusul angin “Musim Semi” di Timur Tengah, para diktator di kawasan itu tumbang. Kejatuhan Husni Mubarak di Mesir, misalnya, mengantarkan Muhammad Mursi ke kursi kekuasaan. Garis ideologis Erdogan dan Mursi yang sejalan menjadikan dua tokoh ini berperan sentral dalam percaturan kawasan yang tak pernah sepi dari perang itu. Medio November lalu, Erdogan mengunjungi Mesir, melakukan pembicaraan empat mata dengan Mursi dan menggagas “a wider middle east.”   Erdogan juga menyampaikan komitmennya menghadapi Israel, sesuatu yang tak pernah terjadi di era sebelumnya.

Di lain sisi, Erdogan terus menjaga komitmen Turki sebagai anggota NATO. Politik “dua kaki” Erdogan ini menaikkan nilai tawar (bargain position) Turki di hadapan para tetangganya di Uni Eropa. Di satu sisi, ia sangat akrab dengan politik Islam dan Timur Tengah, dan di sisi lain ia menjadi katalisator NATO untuk mempertahankan kawasan bebas nuklir (non-nuclear zone).

Kedua: AKP berhasil keluar dari stigma partai politik Islam bergaris keras. Model Islam yang ditawarkannya bukan “talibanisasi” atau “wahabisasi” tetapi penyerapan tradisi-tradisi lokal dalam kehidupan politik. Emine dan Sumaya, istri dan anak Erdogan, misalnya, tidak menggunakan burqah atau jilbab “nyengser”. Mereka terlihat modis dengan jilbab motif bunga khas Turki.  Ketika mengunjungi para pengungsi etnis Rohingya di Myanmar, Emine tampil bak bintang, bahkan mengalahkan pamor Julia Robert, aktris Hollywood di kesempatan yang sama.

Di sisi lain, secara legal formal, AKP melakukan tiga pekerjaan besar sekaligus; mereformasi konstitusi, mengintrodusir hak-hak sipil dan mengembalikan peran militer sebagai pengayom kedaulatan. Ketiga pekerjaan itu dilakukan secara simultan untuk menjamin kelangsungan demokratisasi di Turki. Hasilnya, militer yang sejak zaman Attaturk sangat berkuasa kini tak lagi mencampuri kekuasaan.  Reformasi (baca: amandemen) konstitusi berhasil dilakukan setelah pada pemilu 2011 lalu AKP meraup lebih dari dua pertiga suara itu.

Secara struktur internal, kaderisasi AKP adalah yang terbaik, jika dibandingkan partai-partai lain. Bahkan, partai Jumhuriyat Helk Partisi (JHP), yang biasa dikenal militan pun kalah dibandingkan para kader AKP.  Erdogan seringkali mengatakan, “menara adalah bayonet kami, kubah adalah helmet kami, masjid adalah barak kami dan para kader adalah tentara kami.” Ucapan Erdogan bukan sekadar isapan jempol, sebab AKP bekerja secara sangat professional.  Contoh sederhana, ketika gempa mengguncang Turki, seluruh sumbangan yang disalurkan lewat AKP dapat ditelusuri secara on-line layaknya kita mengirim surat lewat pos tercatat saja.

Ketiga: AKP mengintrodusir (pelajaran) agama dengan aplikasi yang nyata. Pelan-pelan, mata pelajaran agama kini mendapat perhatian setelah sekian puluh tahun diharamkan rezim pro-Attaturk.  Mostafa Akici, seorang teman kuliah saya lainnya, dalam suatu chat, mengeluhkan dulu bagaimana ijazah dari universitas Islam luar negeri tak diakui di negerinya. Ia harus mengikuti kuliah dan ujian persamaan lokal, padahal masyarakat sudah mengenalnya sebagai ulama. Kini, mata pelajaran agama menjadi syarat kelulusan ke perguruan tinggi negeri.

Di tengah capaian-capaian itu, AKP dan Erdogan menghadapi tantangan berat ke depan. Jumlah pengungsi Syria yang telah mencapai lebih dari 80.000 orang tentu bukan pekerjaan mudah untuk menanganinya. Sejak lama, Turki dan Syria adalah “dua tetangga yang sulit tegur sapa.”   Ditambah, partai Kurdistan Worker Party (PKK) selalu merongrong pemerintahan Erdogan dan menggalang kekuatan dengan Siprus untuk merongrong Turki dari dalam.

Secara singkat, metamorfosa hasil perjuangan AKP dan Erdogan di Turki, barangkali, bisa kita lihat pada penerbangan Turkish Airlines. Di era Turgut Ozal, Turkish Airlines adalah penerbangan paling “liberal” dari semua maskapai negara-negara muslim. Semua jenis makanan haram disediakan, lengkap dengan pramugari yang dandan menor dan bahenol. Kini, Turkish Airlines memastikan bahwa “no pork is served.” Tak ada lagi makanan yang mengandung babi.  Hanya saja, Turkish Airlines masih menawarkan minuman beralkohol.

Rezim Erdogan dan AKP, boleh dikata, telah berhasil menanggalkan baju sekulerisme Attaturk dengan mengintrodusir sejumlah elemen Islam. Tetapi, langkah menuju politik dan masyarakat islami di negeri itu perlu waktu panjang dan sulit, sebagaimana sulitnya Turkish Airlines menanggalkan menu wisky, brandy, vodka, cognac dan lain-lain yang disediakan untuk kalangan Eropa dan non-muslim.

Memang, restorasi dan reformasi peradaban tak semudah membalik telapak tangan.

Wallahua’lam bis-showab. 

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (5 votes, average: 9.80 out of 5)
Loading...
Menyelesaikan pendidikan dasar di Pondok Pesantren Attaqwa, Bekasi. Lalu melanjutkan studi ke International Islamic University, Pakistan. Kini, dosen di Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Bogor. Email: [email protected] Salam Inayatullah Hasyim

Lihat Juga

Ini Alasan Turki Beli Sistem Pertahanan dari Rusia

Figure
Organization