Topic
Home / Berita / Analisa / Mesir: Konstitusi Baru dan Tantangannya

Mesir: Konstitusi Baru dan Tantangannya

Presiden Mesir Muhammad Mursi turut memberikan suara dalam Referendum Mesir, 15 Desember 2012. (REUTERS/Egyptian Presidency/Handout)
Presiden Mesir Muhammad Mursi turut memberikan suara dalam Referendum Mesir, 15 Desember 2012. (REUTERS/Egyptian Presidency/Handout)

dakwatuna.com – Minggu, 23 Desember 2012, Rakyat Mesir menyelesaikan referendum tentang konstitusi baru. Meski belum ada pengumuman resmi dari pemerintah, sejumlah lembaga survey meyakini hasil referendum adalah 70 % setuju dan 30% menolak konstitusi baru itu.

Seperti diperkirakan banyak pengamat, hasil ini tidak mengherankan. Mengingat, pemerintahan Mesir kini dikuasai dua partai Islam terbesar, Ikhwanul Muslimin (IM) dan partai Nur, partai beraliran Salafi. Komposisi keduanya mencapai 60 persen dalam Majelis Parlemen Mesir.

Lalu, apa yang menarik dari Konstitusi baru Mesir itu? Mengapa begitu banyak hiruk pikuk, terutama dari kelompok oposisi dan aktivis HAM yang menolak konstitusi itu?

Setidaknya, ada tiga hal yang menarik untuk diperbincangkan. Pertama: Inilah konstitusi pertama yang lahir dari rahim revolusi Mesir, Januari 2011, yang mengakhiri kekuasaan militer Husni Mubarak. Kelahiran konstitusi  baru ini sebetulnya tak lepas dari peran Dewan Jenderal. Seperti diketahui, menyusul gelombang demonstrasi yang makin besar menentang Husni Mubarak, Dewan Jenderal mengambil alih kekuasaan dan menjanjikan tiga hal pada rakyat Mesir; pemilihan parlemen, pemilihan presiden dan konstitusi baru sebagai pijakan dasar pembentukan hukum di negeri Firaun itu.

Antrian warga Mesir dalam pemungutan suara Referendum Mesir di Mahalla el-Kubra, sekitar 110 km (68 mil) dari utara Kairo, 15 Desember 2012. (REUTERS/Mohamed Abd El Ghany)
Antrian warga Mesir dalam pemungutan suara Referendum Mesir di Mahalla el-Kubra, sekitar 110 km (68 mil) dari utara Kairo, 15 Desember 2012. (REUTERS/Mohamed Abd El Ghany)

Hasilnya, pemilihan parlemen dimenangkan oleh kelompok Islam (Ikhwanul Muslimin dan Salafi). Kedua partai ini menjadi pengusung utama Dr. Muhammad Mursi sebagai calon presiden. Sebenarnya, kehadiran Mursi adalah “accident of history.” Pada awalnya, Ikhwanul Muslimin menyiapkan Dr. Khairat Shatir sebagai calon presiden. Namun, Shatir dianggap terlalu radikal dan sulit mendapatkan dukungan dari masyarakat umum. Ditambah, ada sejumlah persoalan adminsitratif yang menyulitkan mengusung Shatir, IM lalu memutuskan Mursi sebagai “pemain pengganti”.

Kehadiran Mursi di pentas politik Mesir ternyata menunjukan hal-hal yang luar biasa. Ia menang dalam pemilihan presiden hanya dalam satu putaran. Lalu, penampilannya yang bersahaja, menjadi pemantik sosial untuk mendukung segala kebijakannya.  Ketika sejumlah hakim menolak untuk mengawasi referendum, rakyat terus mendukungnya. Hingga, boikot sejumlah hakim tak menghentikan langkah Mursi menggelar referendum konstitusi. Sejauh ini, kebijakan politiknya yang paling dramatis adalah “mendamaikan” perang Israel – Palestina.

Seperti diketahui, kasus Palestina adalah isssu politik luar negeri terbesar yang dihadapi rakyat Mesir. Salah menanganinya,  pemimpin Mesir bisa bernasib seperti Anwar Saddat. Pada tahun 1982, Presiden Anwar Saddat diberondong peluru oleh kelompok garis keras hingga tewas akibat menandatangani Perjanjian Camp David yang dianggap menguntungkan Israel. Maka, menjadi tak heran ketika majalah TIME menobatkan Mursi sebagai calon Person of the Year 2012,  meski akhirnya kalah dari Barack Obama.

Kedua: Kontsitusi baru ini memasukan klausal yang bagi sebagian kalangan diyakini radikal. Tapi mari kita telaah. Pasal 2 menyebutkan, Islam adalah agama resmi Mesir dan bahasa Arab adalah bahasa resmi negara itu. Sebenarnya, sejauh penyebutan “Islam sebagai agama resmi negara” tak melahirkan banyak penolakan. Namun, anak kalimat berikutnya banyak ditakutkan kalangan oposisi. Anak kalimat itu berbunyi, “prinsip-prinsip syariah adalah sumber pembentukan hukum (source of legislation).”

Perempuan Mesir mengantri untuk memberikan suara pada referendum Mesir, putaran ke-2 di Giza, Mesir, 22 Desember 2012. (AP Photo/Amr Nabil)
Perempuan Mesir mengantri untuk memberikan suara pada referendum Mesir, putaran ke-2 di Giza, Mesir, 22 Desember 2012. (AP Photo/Amr Nabil)

Syariah sebagai “sources of legislation” memang tak mudah dalam aplikasinya. Terutama karena tafsir atas doktrin agama sangat beragam. Untuk itu, konstitusi mewajibkan keberadaan Majelis Shura (upper house) sebagai badan legislasi yang autoritatif. Karena itu, segera setelah referendum ini selesai, Majelis Shura (upper house) akan mengambil alih proses legislasi di Mesir. Komposisi Mejelis Shura terdiri atas 90 orang.  Enam puluh orang di antaranya diangkat oleh Presiden berdasarkan Undang-Undang. Tantangan terberat justru kini menjadi tugas Majelis Shura sebab mereka-lah yang akan menentukan tafsir atas syariat yang kelak akan dituangkan dalam setiap Undang-Undang.

Sebetulnya, issu utama yang mengganjal dari Konstitusi baru itu adalah soal syariat Islam saja. Selebihnya, Konstitusi baru adalah dokumen pijakan demokrasi par-excellence. Misalnya, kebebasan berserikat, (freedom of unity), kebebasan berbicara (freedom of speech) dan kebebasan beragama (freedom of religion) dijamin penuh oleh kontitusi. Bahkan, masa jabatan presiden dibatasi hanya untuk dua priode.

Kekuasaan presiden juga tidak tak terbatas. Presiden wajib mengangkat Perdana Menteri dari partai yang memenangi pemilu. Meskipun, untuk memberhentikannya, Presiden tak memerlukan konsultasi pada partai itu.  Sistem presidensial Mesir ini memang unik sebab roda pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Perdana Menteri yang diangkat Presiden dari partai pemenang pemilu.

Suasana penghitungan suara referendum Mesir tahap ke-2, 22 Desember 2012. (AP)
Suasana penghitungan suara referendum Mesir tahap ke-2, 22 Desember 2012. (AP)

Ketiga: Mesir adalah pusat studi sejarah dunia. Banyak orang khawatir Mesir akan menjadi negara “Taliban Afghanistan” paska pemberlakuan konstutusi baru. Harian the New York Times menulis, “Referendum juga telah mengantarkan Mesir ke ambang perang saudara, mengekspos keterasingan dari minoritas Kristen, penolakan oposisi politik untuk bernegosiasi dan menuruti kemauan Ikhwanul Muslimin untuk mengandalkan taktik otoriter”.  (Minggu, 23 Desember 2012)  Percayalah, Mesir tidak akan pernah menjadi negara seperti itu.  Dalam suatu ceramahnya, Mursi menegaskan kebebasan beragama dijamin sebagai kesadaran dan pilihan personal. Maka, terlalu remeh jika negara harus mengurus persoalan jilbab, misalnya.

Mesir adalah negeri sejuta inspirasi peradaban. Ia akan terus demikian dan konstitusi baru menjadi pijakan demokrasi yang disetujui rakyatnya sendiri. Jika dunia Barat selama ini berteriak, “vox pupuli, vox dei” (suara rakyat adalah suara tuhan), mengapa pula saat rakyat Mesir menyetujui konstitusi baru dalam referendum yang damai itu, dunia Barat tak mau menerima kenyataan ini.

Akhirnya, saya ingin menucapkan selamat pada Presiden Mursi sebagaimana sering kita dengar di pinggir jalan Kairo, Ahlan ya kaptein. Nihna ala irsyadika.

Wallahu a’lam bis-showab. 

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (17 votes, average: 9.88 out of 5)
Loading...
Menyelesaikan pendidikan dasar di Pondok Pesantren Attaqwa, Bekasi. Lalu melanjutkan studi ke International Islamic University, Pakistan. Kini, dosen di Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Bogor. Email: [email protected] Salam Inayatullah Hasyim

Lihat Juga

Konflik Air Antara Ethiopia, Sudan, dan Mesir

Figure
Organization