Topic
Home / Pemuda / Essay / Syura-nya Anak ROHIS dan Rapatnya Anak Lembaga Lain: Ikhtilath?

Syura-nya Anak ROHIS dan Rapatnya Anak Lembaga Lain: Ikhtilath?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Peserta rapat membahas pengamanan VIP tamu Konferensi Negara Islam di Palembang. (SRIPOKU.COM/HUSIN)

dakwatuna.com – “….Sir, kalo kita ngebonceng akhwat apa hukumnya? Tapi, gak bermaksud apa-apa. Cuma mau nganterin pulang malam ke kosannya. Khan biasanya kalo ngerjain tugas di kampus sampe malam tuh….”, celetuk seorang teman usai menghadiri sebuah acara.

Khalwat-kah atau Ikhtilath-kah?

Jika itu dibilang Khalwat, toh masih ada teman2 lain yang masih turut serta. Juga di jalanpun masih ramai dengan kendaraan yang berseliweran.

Atau Ikhtilath? Hmmm….tampaknya mungkin ini yang agak mendekati. Tapi, sebentar. Yang dipertanyakan di sini: apa sih hukumnya Ikhtilath? Apakah dulu di zaman Rasulullah istilah ini pernah ada?

Atau begini. Jika yang dimaksud dengan Ikhtilath adalah bercampurnya dua orang atau lebih, berlainan jenis dan bukan mahram, maka kasus yang terjadi bukan hanya pada masalah boncengan ikhwan dan akhwat (bisa dibaca juga: cowok dan cewek), tapi juga bisa pada situasi dan kondisi yang lain, termasuk dalam contoh kasus kegiatan rapat para aktivis organisasi sospol kemahasiswaan dan/atau syura-nya anak-anak ROHIS di Lembaga Dakwah. Inilah yang seringkali menjadi sorotan sebagian orang. Kok bisa ada nuansa berbeda ketika memandang aktivitas kedua lembaga tersebut? Kenapa kalau ada anak LDF (baca: anak ROHIS) mau rapat selalu membentangkan sejenjang spanduk yang kemudian disebut “hijab”? Kenapa di lembaga lain, hal seperti itu tidak ditemui?

Yuk kita ngobrol2 sedikit masalah ini! Tentunya dengan tidak ada maksud mendikotomikan antara Lembaga Dakwah dengan Lembaga Kemahasiswaan lain.

Dan juga cerita ikhwan dan akhwat boncengan di awal jangan sampai dilupakan begitu saja. Masih sangat berkaitan kok….insya Allah…

Pertama, kita harus tahu terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Ikhtilath? Secara bahasa, kata Ikhtilath berasal dari kata ikhtalatha-yakhtalithu-ikhtilathan, bentuk masdhar  menurut Nahwu Sharaf (grammar-nya B. Arab) yang berarti bercampur dan berbaur. Sedangkan, menurut istilah syar’i sendiri, sebagian ulama masih berbeda pendapat. Kenapa? Karena memang pada zaman Rasulullah dulu istilah Ikhtilath tidak dikenal. Dalam buku Fatawa al Mar’ah al Muslimah (Fatwa-Fatwa Seputar Wanita Muslimah), Dr. Yusuf Qaradhawi secara implisit mengatakan bahwa terminologi ikhtilath tidak dikenal pada zaman Rasulullah ataupun masa sahabat dan tabi’in serta tabi’it tabi’in. Dahulu perilaku percampuran laki-laki dan perempuan disebut dengan istilah ajnabiyat, yaitu bercampurnya antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.

Masalah ikhtilath ini cukup menjadi perdebatan serius di kalangan ulama terutama dalam pola karakter berpikir mereka. Hal ini wajar, karena karakter berpikir para sahabat pun berbeda-beda seperti kondisi dunia pemikiran ulama modern. Seperti Siti ‘Aisyah dan Ibnu Umar yang cenderung berpikir keras, berbeda dengan Ibnu Mas’ud yang lebih berpikir secara halus.

Dari berbagai perbedaan pendapat ulama, setidaknya ada dua kutub ekstrem mengenai bercampur baurnya laki-laki dan perempuan bukan mahram, yaitu: ada yang menganggap bebas (tanpa ada batasan sama sekali) dan di lain pihak perlu ada batasan-batasan tertentu.

Batasan tersebut yang seringkali menjadi andalan biasanya hijab. Bentuknya bermacam-macam, ada yang terbuat dari kayu, kain, atau yang paling populer ialah spanduk bekas media publikasi…. (hmmm….memanfaatkan barang bekas agar tidak mubadzir,…cukup go green alias ramah lingkungan…hehe…). Hijab? Iya…ya..hijab. Pada zaman Rasulullah dulu, tidak ada hijab, terutama yang menghalangi shaf antara ma’mum laki-laki dan perempuan dalam shalat berjamaah, bahkan pintu masuk pun hanya ada satu. Dalil yang secara eksplisit menerangkan masalah hijab belum begitu kuat. Kalau perpisahan tempat duduk antara laki-laki dan perempuan memang harus dilakukan.

Namun, terlepas dari kontroversi yang ada, secara objektif kita harus melihat ikhtilath dari beberapa sudut pandang: motif, kemaslahatan, dan dari segi keperluan dalam pergaulan.

Berdasarkan faktor historis dan dalil, perkumpulan antara laki-laki dan perempuan terjadi pada zaman Rasulullah dan hal ini diperbolehkan dengan batas-batas tertentu, sbb:

ü  Kedua lawan jenis yang bukan mahram berkomitmen untuk gadhul bashar (“mengendalikan” dan “menjaga” pandangan, bukan “menahan” pandangan). Menjaga pandangan dalam artian tidak mengarahkan pandangan ke aurat, tidak memandang dengan syahwat, dan tidak memandang untuk hal yang tidak perlu.

ü  Khusus wanita, tidak memakai pakaian yang “mengganggu”. Harus mengenakan pakaian yang menutup aurat sesuai aturan syar’i.

ü  Saling menjaga adab dalam berbicara. Tidak manja dalam bertutur. Normal saja, jangan dibuat-buat.

ü  Bahasa tubuh, tidak menjurus pada hal-hal buruk

ü  Tidak ber-khalwat. Karena telah sangat jelas hukum khalwat: HARAM.

ü  Proporsional, seperlunya saja. Berkumpul dengan mahram cukup jika diperlukan dan menyangkut hal yang urgen, tidak berlebihan. Sehingga, jikalau bisa dihindari, sebaiknya tidak melakukan ikhtilath.

Dengan poin-poin di atas, maka sedikit banyaknya bisa menjadi bahan berpikir untuk berbagai kasus terkait ikhtilath. Bukan hanya ketika ada rapat, tetapi juga terjadi saat ada demo atau aksi yang sangat sulit dihindari adanya ikhtilath. Jangankan demo, dulu para shahabiyah  bahkan langsung turun ke medan tempur peperangan. Posisinya bukan sembarangan di garis belakang, tetapi langsung berkecimpung dalam kecamuk perang. Jadi, janganlah aneh kenapa akhwat juga harus turun ke jalan.

Kembali lagi ke masalah di awal, yaitu “nganterin akhwat pulang malem”. Boleh kah? Kenapa tidak? Yang penting tidak “pagar makan tanaman”. Dan tentunya harus dilandasi niat yang tulus bersih.

Ada satu lagi yang katanya agak menarik. Kenapa ada perbedaan “rasa”, suasana atau bisa jadi “aura” ketika kita ngumpul atau ngobrol dengan muslimah yang kurang rapih dalam menutup aurat dibandingkan dengan seorang muslimah yang sangat memperhatikan adab kemuslimahannya.

Kenapa harus bingung? Bukankah itu yang diharapkan? Muslimah hendaknya demikian, menjaga ‘izzah sekaligus iffah. Kehormatan dan harga diri (gengsi) inilah yang membedakannya dengan wanita-wanita lain sehingga jauh dari fitnah.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (18 votes, average: 6.33 out of 5)
Loading...

Tentang

Lahir di Serang, Januari 1991. Mahasiswa semester 7 Departemen Fisika (konsentrasi Fisika Nuklir-Partikel) FMIPA UI. Supervisor Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis (PPSDMS) Nurul Fikri Regional 1 Jakarta Putra. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum Forkoma UI Banten (periode 2011-2012), yaitu paguyuban mahasiswa UI asal Provinsi Banten. Bukan hanya di paguyuban. Aktif di BEM FMIPA UI 2012 sebagai Koordinator Bidang Internal. Hobi menulisnya sejak ada sejak SMA, yakni saat Yasir menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Pena Dakwah (NaDa) RISMA SMAN 1 Kota Serang. Sejak tahun 2001-2006, Yasir tinggal di lingkungan Pondok Pesntren di Banten.

Lihat Juga

UNICEF: Di Yaman, Satu Anak Meninggal Setiap 10 Detik

Figure
Organization