Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Wanita itu Ibu

Wanita itu Ibu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (nuraurora.wordpress.com)
Ilustrasi (nuraurora.wordpress.com)

dakwatuna.com – 19 tahun yang lalu. Tangis kecil memecah sunyi malam itu. Seorang wanita paruh baya dan seorang pria yang mendampinginya tiba di sebuah rumah milik mereka yang sederhana.

Rasanya belum lama ia berjuang melahirkan seorang anak yang ada dalam gendongannya itu, tetapi ia sama sekali tak merasakan lagi nyeri di seluruh sarafnya, Pedih pada perutnya, atau lelah pada persendiannya. Ia hanya menatap wajah bayi mungilnya dengan luapan kebahagiaan tak terhingga. Berganti dengan rasa haru yang menyelimuti wajah sayunya. Dia melahirkan dengan normal dan anak yang dilahirkannya pun dalam keadaan sehat tak kurang satu apapun. Lengkaplah kebahagiaannya malam itu. Ucapan syukur tak henti mengalir pada bibirnya untuk Dia yang Maha Kuasa yang telah memberi nikmat tak terhingga.

 

17 tahun yang lalu. Wanita itu masih menatap anaknya yang sedang terlelap tidur. Dia mengusap kepala anaknya lalu mengecup keningnya.

“Ya Allah, jadikanlah anakku ini anak yang shalihah. Aamiiin.”

Ditinggalkannya anaknya yang sedang terlelap, dia kembali menemui Rabb-Nya. Di atas sajadah cinta yang dia bentang di sepertiga malam terakhir miliknya.

 

15 Tahun yang lalu. Mata wanita itu basah, keringat mengucur dari keningnya. Wanita itu sungguh mencemaskan keadaan anaknya yang sedang sakit demam.

“Adek makan sama ibu ya?”

Tak ada respon. Anaknya hanya menggeliat sedikit dari posisi berbaringnya.

“Adek mau makan apa? Nanti ibu belikan…”

“Adek suka makan Sate kan? Ibu belikan sekarang, adek tunggu ya.”

Kali ini anaknya mengangguk pelan seraya tersenyum tipis, tampaknya anaknya mau dibelikan.

Dengan langkah cepat, wanita itu bersiap pergi keluar rumah hendak membeli sate, makanan kesukaan anaknya.

Di perjalanan sehabis membeli sate untuk anaknya, hujan turun cukup deras. Hal itu tak membuat langkah wanita itu terhenti. Di kepalanya hanya ada satu hal, secepat mungkin kembali ke rumahnya. Dia takut anaknya akan kedinginan, dia juga tahu anaknya menunggu kepulangannya.

Satu bungkus sate dia pegang dan dimasukkan ke dalam bajunya, lalu dia menerobos hujan. Biarlah seluruh pakaiannya basah asal makanan untuk anaknya tetap utuh dan dia bisa segera sampai kembali ke rumah.

 

14 Tahun yang lalu. Senyum mengembang terus hadir di wajahnya. Dia sangat senang melihat anaknya memakai seragam TK. Hari itu adalah hari pertama Sang anak masuk Taman Kanak-kanak (TK). Tak lupa wanita itu menyiapkan bekal makanan dan keperluan lainnya. Dia tahu anaknya akan susah beradaptasi di hari pertama berjumpa dengan teman-teman sebayanya. Meski urusan rumah tangga seperti mencuci piring, mencuci baju, menyapu dan mengepel lantai rumah, serta memasak untuk makan siang keluarga telah menguras tenaganya. Namun ia tak boleh tampak lelah di mata anaknya. Hari itu hari bersejarah, dia harus tampak bersemangat di depan anaknya.

 

12 Tahun yang lalu. Perasaannya gundah. Wanita itu sedang memikirkan keinginan anaknya tadi sepulang dari rumah salah satu keluarganya. Anaknya membisikkan sebuah permintaan ke telinganya,

“Ibu, Adek pengen beli boneka kayak punya Dela tadi.”

Wanita itu menjawab dengan terlebih dahulu melukiskan sebuah senyuman hangat untuk anaknya, “Iya, Ibu belikan insya Allah.”

Saat itu dia mengadu pada suami yang sangat dicintainya,

“Pak, Si Adek mau beli mainan boneka, tapi kita lagi defisit, bonekanya lumayan mahal lho Pak.”

“Nanti saja. Ditunda dulu kan bisa.”

“Tapi kasian sama Adek, kalau kita pakai sebagian uang belanja dulu gapapa pak?”

“Ya sudah. Nanti diganti pas dapat order lagi.”

Wanita itu lega. Dia akan melihat anaknya tersenyum bahagia. Dia ingin anaknya merasakan kebahagiaan yang sama dengan anak-anak sebayanya. Apapun akan diusahakannya, jika itu bisa membuat anaknya jadi ceria.

 

8 Tahun yang lalu. Anaknya masih menangis di dalam kamar. Dari siang hingga malam tak kunjung keluar dari kamarnya. Berawal dari sang anak yang baru saja sembuh dari sakit namun hendak pergi keluar rumah bersama teman-temannya. Wanita itu khawatir akan terjadi apa-apa di perjalanan, maka jadilah ia melarang anaknya pergi. Larangan wanita itu ternyata tak digubris oleh sang anak, menyebabkan wanita itu memukul anak kesayangannya. Hati sang anak terluka, tetapi tidak lebih parah dari hati wanita itu yang terasa tercabik-cabik. Betapa sayangnya ia pada anaknya, tapi tak dapat diucapkannya dengan kata-kata.

Bukankah sebuah pukulan Ibu atas kenakalan anaknya merupakan sebuah tanda kasih sayang yang sulit dipahami sebagian orang, khususnya sang anak sendiri.

 

8,5 Tahun yang lalu. Wanita itu jatuh sakit. Cukup parah. Ia dirawat di rumah sakit. Anak kesayangannya menemani wanita itu di sampingnya. Anaknya yang tetap lincah dan ceria menjadi penghibur serta kekuatan tersendiri atas sakit yang dideritanya.

“Kalau ibu sudah sembuh kita pergi sama bapak lagi ya ke rumah nenek.”

Wanita itu mengangguk pelan.

“Makanya Adek shalatnya yang rajin, biar bisa doain ibu supaya cepet sembuh.”

“Iya, setiap selesai shalat Adek selalu doain ibu kok.”

Sang anak memamerkan barisan giginya. Menimbulkan semangat baru dalam hatinya. Dia harus kembali sehat untuk anaknya, itu yang ada dalam pikirannya. Namun takdir berkata lain, kondisi kesehatan wanita itu kian memburuk. Sebagian besar keluarganya silih berganti menjenguk. Suami tercintanyalah yang selalu ada di sisi wanita itu. Tergambar jelas begitu besar cinta antara keduanya. Benarlah jika pepatah mengatakan bahwa cinta itu memberi. Sang suami membuktikannya dengan pemberian cinta yang sempurna untuk wanita itu.

Hari sudah terlalu larut, sang anak dibimbing oleh salah seorang anggota keluarga untuk pergi tidur. Sang anak harus bangun pagi untuk pergi ke sekolah besok.

Ketika Subuh hari terdengarlah keributan yang berasal dari kamar wanita itu. Sang anak terbangun dari tidurnya, dengan langkah gontai menahan kantuk, sang anak ingin menemui Ibunya, di depan pintu kamar, dilihatnya sang ayah yang duduk bersandar pada pintu, kain sarung yang biasa ibunya pakai dipeluk ayahnya sambil menangis terisak.

“Pak, Ibu sudah bangun?”

Ayahnya menatap sang anak dengan linangan airmata.

“Ibu sudah tidak apa-apa.”

“Tapi Adek pengen liat ibu, Pak.”

“Kalau mau liat Ibumu, Adek harus janji jangan nangis ya.”

Sang anak semakin bingung. Dia masuk ke dalam kamar wanita itu dengan langkah gemetar, ia menghampiri ranjang Ibunya.

Dilihatnya wanita itu menutup matanya. Wajahnya kaku. Sekeliling terisak seketika melihat sang anak memegangi tubuh wanita itu.

“Ibu jahat bikin bapak nangis, ayo bangun bu, kita pergi ke rumah nenek, ayo bangun…”

Wanita itu tetap kaku dan dingin.

Jam 5.30 wanita itu pergi… berhenti mencintai, berhenti memberi, berhenti mengabdi.

 

Wanita itu Ibu…  ketika dia pergi
Tak ada lagi senyuman hangat
Tak ada lagi pengorbanan
Tak ada lagi tempat berkeluh kesah
Tak ada lagi cinta…

Wanita itu Ibu. Ketika dia pergi
Yang tersisa… hanyalah luka, terus luka, dan tetap menjadi luka…

Sampai nyawa manusia terakhir dicabut, Ibu tetaplah menjadi sosok mulia di dunia ini.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (7 votes, average: 9.86 out of 5)
Loading...

Tentang

Seorang Penulis asal Palembang, pernah menuntut ilmu di Universitas Sriwijaya.

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization