Topic
Home / Berita / Opini / Hari Ibu dan Pergerakan Perempuan Indonesia

Hari Ibu dan Pergerakan Perempuan Indonesia

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Historisasi Hari Ibu dan Gerakan Perempuan Indonesia

Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Karangan bunga berpita, ditambah rangkaian indah kata-kata mutiara, plus kado eksklusif nan berharga tak murah, dan atau terselip kartu ucapan bertuliskan “Happy Mother days Mom…” pada hari Ibu, tepat pada 22 Desember pun tentu tak kan sanggup jadi penghargaan yang membayar segala jatuh bangun dan jerih payah sang Bunda. Hanya representasi sekelumit rasa terima kasih kita, yang karenanya Rasulullah SAW pun melisankan hingga tiga kali gelarnya untuk sebuah pengabdian dan bakti putra-putrinya, “Ibumu, Ibumu, Ibumu…….”

Dari dulu hingga sekarang, historisasi seorang “Ibu” begitu menggugah pesona. Bagi bangsa Indonesia sendiri, hari “Ibu” memiliki nilai historis dan makna yang jauh lebih mendalam, bukan hanya makna peran domestik perempuan sebagaimana disiratkan pada hari Ibu oleh kalangan barat. Hari Ibu tidak terlepas dari Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Kaum perempuan Indonesia terpanggil untuk ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Karenanya, pada tanggal 22 Desember 1928 diadakan Kongres Perempuan I di Yogyakarta yang menumbuhkan kesadaran bahwa perjuangan kaum perempuan tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri.

Berjalannya waktu, kongres tersebut berhasil melahirkan gerakan perempuan dalampemberantasan buta huruf, perdagangan perempuan dan anak, bahkan gerakan mewujudkan Perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa. Artinya bahwa perempuan bukan hanya punya peran domestik dan sosial, tetapi juga punya peran politik yang berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi yang utuh.

Makna Filosofis Hari Ibu dalam konteks kekinian

Jika kita telah sepakat dan tak ada lagi beda pendapat tentang kebermaknaan Sang Bunda. Lalu, bagaimana saat muncul Tanya, “Ke mana jiwa dan gelora historis Hari Ibu itu berlabuh kini?” Bagaimana tentang Ibu yang membuang bayi mungilnya sebab malu kelahiran sang buah hati yang tanpa ayah? Tentang Ibu yang menciderai bahkan menghilangkan nyawa si kecil? Tentang Ibu yang begitu otoriter dan memaksakan kehendak? Tentang Ibu yang tak mampu menjadi contoh/model ideal bagi anak-anaknya? Merebaknya prostitusi dan eksploitasi, dan penyelewengan lain.

Hari Ibu sangatlah tepat dijadikan momentum untuk menyadarkan kembali tanggung jawab perempuan terhadap keluarga dan masyarakat, serta menyerukan kaum perempuan untuk bersatu dalam melawan penjajahan dalam bentuk apapun, mencetus inisiasi perempuan terlibat dalam proses-proses perbaikan dan kebangkitan bangsa. Makna filosofis “Ibu” dari hari Ibu begitu berharga jika harus tercoreng dengan tinta-tinta amoral. Apalagi jika dikhianati secara sengaja. Baik dari skup kecil sampai besar. Individu, keluarga, masyarakat, sampai Negara. Keharusan apresiasi tinggi terhadap filosofis itu tak boleh luntur. Dulu menjadi penguat terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia, dan seharusnya terlebih pada hari ini. Mengingat potensi perempuan sangat esensi dan vital dalam kancah prestatif membangun bangsa. Apa pun perannya, sebagai Ibu rumah tangga, sebagai Ibu rumah didik (guru), sebagai Ibu rumah sehat (dokter), sebagai ibu rumah industri (bisnis, wirausaha, ekonomi), sebagai ibu rumah pembinaan dan pengembangan masyarakat (lembaga/yayasan),  bahkan sebagai Ibu Negara. Atau sebagai para calon ibu dengan berbagai peran di segala ranah. Terlebih ketika celah kontributif itu tak bisa ditunda-tunda lagi. Ataukah rumah-rumah dan puing-puing peradaban itu akan terkikis oleh kuatnya gelombang hantaman dari luar, ini berbahaya.

Secara lebih jelas saya ingin menyampaikan bahwa Hari Ibu mencorong jiwa kepahlawanan perempuan untuk berbuat lebih berani namun tetap estetis dan fitrah. Agar tak ada lagi putra-putri yang putus asa, dan tak ada lagi bakul-bakul nasi yang tak terisi, dan tak ada lagi suami-suami yang rela korupsi, sampai tak ada lagi tangis Ibu pertiwi.

Cermin gerakan perempuan kontemporer

Hari Ibu kini seharusnya menghayati makna historisnya yang mampu menjadi pemancar kekuatan. Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mungkin saja muncul pada gerakan dan aktivitas perempuan masa kini. Basis keluarga menjadi sub inti penting dalam menumbuhsuburkan tunas-tunas prestatif di segala lini, dan aktor utamanya adalah perempuan, Ibu/ calon Ibu. Mengisi ruang udara “bangunan embrio peradaban” itu dengan atmosfir yang demokratis, penuh pembinaan dengan cinta, dan suksesi lahirnya jiwa-jiwa pro aktif bergerak, berkarya, peduli dengan kearifan batiniah yang terpelihara. Seimbang dengan kepahaman intelektual dan spiritual.

Selanjutnya perempuan menjadi kontrol yang paham kondisi, dapat tepat bersikap, sebagai partner yang baik bagi lelaki. Lalu tak jemu mengkaryakan diri untuk lebih berarti atas kehadirannya dengan tetap menjunjung kehormatannya dan tidak menjatuhkan diri. Perempuan adalah tiang negara, maka segala kebaikan dapat bermula padanya. Oleh karenanya pembangunan sumber daya perempuan harus menjadi salah satu prioritas yang mendesak. Hal ini secara otomatis menyentuh persoalan mendasar perempuan Indonesia. Mulai dari pendidikan, hak dan kewajiban termasuk di dalamnya tentang perkawinan, perlindungan, pemberdayaan, kesehatan dan persoalan pokok lainnya. Kesemua hal itu perlu dipenuhi secara merata baik untuk perempuan kota maupun di pedesaan.

Segala program pembangunan sumber daya perempuan yang dilakukan berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta hendaklah mengarah pada upaya menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan sebagai unsur pokok kualitas generasi bangsa. Sehingga terhadap berbagai penyelewengan yang ada hendaklah menjadi tanggung jawab bersama untuk tegas menghentikan dan menggantikannya dengan upaya yang mengarah pada perbaikan dan peningkatan kualitas perempuan, dan selanjutnya akan berdampak positif bagi perbaikan bangsa dan negara.

Momentum hari Ibu ini sekali lagi mendorong revitalisasi eksistensi dan peran perempuan. Jika ini dipahami secara baik maka akan menumbuhkan suatu motivasi baru untuk kembali memposisikan perempuan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya, kata cinta dan apresiatif tinggi itu layak untuk dipatrikan, “I’m proud to be your son/daughter mom…” bagi perempuan penuh kharismatik dan keteladanan, karyanya selalu dinantikan, untuk keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, bahkan dunia. Selamat bercermin dari hari Ibu.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Alumnus FISIP Ilmu Komunikasi Universitas Lampung. Saat ini sebagai pengurus daerah KAMMI Lampung. Aktivitas lain sebagai santri PPM Daarul Hikmah, anggota Ikatan Pembaca dan Penghafal Al-Quran (IP2A), aktivis pemuda, pemerhati sosial politik dan kemasyarakatan.

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization