Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Negeri Miskin Yusuf di Rimba Zulaikha

Negeri Miskin Yusuf di Rimba Zulaikha

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Tiga hari anakku mengikuti kegiatan kampus di luar kota dalam rangka tugas akhir. Sekarang dia semester 5 program D3 advertising. Dalam rangka persiapan kelulusan, setiap mahasiswa semester 5harus mengikuti workshop dari jurusan advertising se angkatannya di seluruh BSI. Kesibukannya kerja dan kuliah, menyebabkan kami jarang bertemu fisik. Biasanya jika bertemu dia sering lelah dan tertidur pulas seakan balas dendam atas tumpukan kelelahan yang menderanya. Aku menyapanya sekadar Tanya kabar kesan-kesannya selesai mengikuti acara tersebut.

“Ummi, aku tertekan…!!” sendu suara anakku memulai pembicaraan. Ku perhatikan wajahnya mendung, ada guratan lelah dan beban di wajahnya. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik. Aku merasakan kegundahannya, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Aku mendekat, ku elus rambut dan punggungnya,… ku coba menguatkannya dan memantapkan hatinya agar dia bisa menumpahkan seluruh perasaannya.

Lingkungan kerja dan lingkungan kampus di dunia entertain tiap hari menggerus moral dan akhlak anak-anak muda. Mereka seperti berada di dunia lain tanpa aturan. Mereka biasa mengeluarkan kata-kata jorok dan porno untuk bahan tertawaan dan canda. Semakin ditertawakan semakin gila ucapan dan perilakunya. Aah… dunia rasanya makin hancur. Jangankan untuk mendakwahi mereka, sekadar bertahan saja aku seperti hidup di dunia asing.

Mereka aneh melihat aku shalat. Mereka merasa aneh aku tidak merokok, lebih aneh lagi aku tidak pacaran. Ada salah seorang dari mereka pernah berkata kepadaku: “Hidup hanya sebentar, nikmati saja… rugi kalau ga pacaran. Dan kalo pacaran jangan satu, kan banyak cewek yang tergila-gila pengen dipacarin, kalau mereka marah, cemburu ya udah tinggalin aja masih banyak kok cewek lain yang ngejar-ngejar kita.”

Mendapat semprotan begitu, aku coba menengahi, “ya… hargai perempuan, apa kau mau adik perempuanmu jadi bahan mainan, atau ibumu jadi korban kebejatan lelaki? Atau istrimu punya masa lalu dengan banyak lelaki? Tentu tidak kan? Makanya jangan rusak perempuan” tapi itu hanya ku ucapkan dalam hati, aku tak mampu mengutarakannya secara terbuka.

Dulu mereka berhasil “jorogin aku” hingga aku sempat terpengaruh perilaku mereka untuk menambatkan hati pada seorang wanita yang kebetulan sering jadi teman satu kelompok. Mereka merasa berhasil membawa aku ikut arus yang mereka bawa.

Jujur ketika itu aku hanya ingin tau seperti apa sih rasanya punya pacar, sebagaimana anak remaja gaul yang seusiaku. Aku sedang belajar menyelami dunia yang sebenarnya, bukan dunia yang aku baca di buku, bukan dunia yang diimpikan dan di gaungkan Umi setiap saat di telingaku tentang orang-orang yang berusaha menegakkan nilai-nilai tauladan nabi.

Aku juga sedang belajar bagaimana berinteraksi dengan orang lain. Karena selama ini aku kuper, aku minder dan tidak mempedulikan dunia di sekelilingku. Dulu Aku cuek, aku tak peduli, kemudian aku belajar bergaul, ooh ternyata ada juga orang yang suka sama aku.

Situasi itu tentu tak disukai Umi, Umi sering menasihatiku dengan visi, misi dan cita-cita besar kita membangun keluarga, sedikit banyak nasihat itu masuk dalam jiwaku secara perlahan dan aku mulai menemukan jalanku, menyadari kekeliruanku. Ya… kadang manusia harus nyemplung dulu untuk tahu kedalaman kolam dan seberapa kotor dan tercemarnya kolam itu. Walaupun Umi pernah mengatakan, “Cukuplah kau masukkan jari telunjukmu saja, tak perlu kau masukkan seluruh badanmu supaya kau tidak basah.”

Ketika kesadaran itu makin Nampak jelas, aku mencari momen yang tepat untuk mengakhirinya. Ketika momen itu ku dapatkan segera ku eksekusi dengan mengumpulkan segala kekuatan dan logikaku sambil mengabaikan dan menutup perasaanku. Jujur… aku melakukannya sambil menekan perasaan yang menyesakkan dadaku. Aku masih mencintainya. Hampir 2th hubungan itu terjalin. Dia sudah banyak berubah menjadi gadis yang lebih santun, mulai menutup aurat dan rajin tilawah.

Aku tau dia sangat kaget dengan keputusanku, aku juga merasakan betapa dia tidak menyangka itu terjadi. Yach… jauh di lubuk hatiku aku masih mencintainya, tapi… nilai-nilai Islam yang ditanamkan ortuku dan coba kutegakkan dalam diriku telah mengajarkanku, bahwa ini bukan jalan nya…. Keputusan itu sudah kuucap. Pantang ku surut kembali. Aku harus menguatkan diri

Tentu saja hal ini sangat berat bagiku…, setiap hari aku bertemu dengannya dalam aktivitas kampus. Bagaimana rasanya menahan gejolak jiwa di dunia penuh Zulaikha dan sedikit Yusuf.

Aku menguatkan diri dan berusaha menjernihkan hatiku dengan nalar dan visi yang digaungkan dalam diriku dan ditanamkan ummiku sejak aku kecil. Sebagai anak tertua, Aku juga ingin menjaga adik adikku dan menjadi contoh bagi mereka bahwa jalan yang kutempuh adalah keliru, aku tak rela jika adik-adikku rusak oleh pergaulan. Mereka harus mendapat contoh yang baik, agar kami bisa saling menguatkan.

Sosok wanita idaman yang akan jadi pendampingku adalah wanita yang menjaga diri dan kuat agamanya. Supaya lahir generasi shalih yang akan sanggup memikul amanah dakwah, bukan sekadar jadi penyejuk mata, tapi juga jadi mengemban risalah.

Walaupun hati kecilku berkata, pantaskah aku bersanding dengan wanita shalihah? Sementara hidupku sangat dekat dengan dunia hiburan yang cenderung rusak dan mengumbar syahwat.

Aku tertekan… aku berada di simpang jalan. Di kantor juga banyak anak-anak magang perempuan. Mau tidak mau aku harus bergaul dengan mereka. Walaupun aku berusaha menjaga jarak, tetapi mereka seringkali menggoda manja. Ummii… kuatkan aku…! Di kantor dan kampus hidupku seperti berada di padang kegersangan tak bertepi dan tanpa arah. Berat rasanya Aku meniti jalan. Badai taufan siap menerkamku kapan saja, Ummi… aku haruss bagaimana….?

Air matanya tertumpah… dia menutup wajahnya dengan bantal, aku merasakan beban hati yang menindih emosinya. Antara perasaan bersalah tidak bisa menghindar dari dunia kumuh tanpa aturan dan moral yang ringkih tertatih dan gelora usia remaja yang bergolak. Di sisi lain dia masih menyimpan nurani yang menjerit, keletihan jiwa menghempasnya dalam kelabilan dan nyaris putus asa.

Anakku saying… sesungguhnya yang kamu jalani dan rasakan adalah normal terjadi pada setiap manusia. Namun Islam telah menetapkan rambu-rambunya sekaligus senjatanya. Nabi Yusuf yang tampan juga digoda oleh istri penguasa. Ketampanan Yusuf menyebabkan wanita-wanita bangsawan Mesir terpesona dan tersihir, hingga tak sadar mereka mengiris jarinya sendiri.

Ketika Yusuf hampir terjebak, nuraninya masih terjaga, walau akhirnya keputusannya menyebabkan dirinya masuk penjara, namun penjara lebih dia sukai. Daripada menuruti nafsu rendah yang durjana.

Pilihanmu hanya dua. Kuatkan bekal jiwamu atau kau putuskan mengambil jalan syar’i menikah di usia muda. Keduanya penuh resiko apapun yang kamu pilih.

Aku melihat wajahnya mulai cerah, suaranya lebih stabil tidak berat seperti sebelumnya. Ummi pun selalu berusaha mencarikan tempat kerja yang lebih baik. Dan tak bosan menasihati. Tiap shalat selalu ku panjatkan doa untuk keselamatan dan kekuatanmu supaya hidayah dan pertolongan Allah menjagamu dari segala keburukan dunia kerja yang keras dan merusak.

Ya Allah… iringi langkah anakku dengan hidayahmu. Tancapkan kekuatan iman dalam dadanya agar bisa segera mengakhiri kuliahnya dengan prestasi terbaik. Mudahkan dia mendapatkan suasana kerja yang baru yang lebih baik dan lebih menjaga nilai-nilai moralnya. Aamiin.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (8 votes, average: 8.50 out of 5)
Loading...

Tentang

Ibu dengan 4 putra putri, 3 di antaranya sedang memasuki usia remaja. Mahasiswa STIU (Sekolah Tinggi Ulmu Usuluddin) jurusan tafsir hadits semester 3. Aktif mengajar majlis taklim, punya usaha rias muslim. Beberapa tulisan pernah dimuat di Tarbawi di rubrik kiat.

Lihat Juga

Bagaimana Nasib Orang Miskin?

Figure
Organization