Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Takdir Boneka

Takdir Boneka

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (moslemsoftdoll.blogspot.com)

dakwatuna.com – Waktu menunjukkan pukul 16.20 WIB. Sudah terlalu sore jika mengingat perjalanan pulang yang lumayan panjang yang akan kami lalui. Saya bersama seorang teman. Ukhti, begitu kami saling memanggil.

Ternyata bus yang biasa saya naiki sudah tidak ada, memang bus ke arah rumah saya sudah habis jika terlalu sore. Kami memilih untuk menaiki sebuah bus yang berada di dekat kami berdiri. Kami lalu duduk. Menunggu sebentar, lalu ketika bus berjalan teman saya berkata,

“Ukh, coba lihat ke atas…”

“Ngg.. ada apa?”

Saya menoleh ke teman saya. Saat itu dia sedang menatap ke atas. Saya turuti saja kemauannya. Saya lalu mengikuti ke arah matanya melihat dan mata saya menangkap sebuah boneka yang tergantung di atap bus. Mungkin maksudnya dipasang sebagai pajangan penghias di dalam bus tersebut.

Boneka itu kotor, berdebu, dan sangat usang. Saya menyayangkan mengapa boneka itu dipajang dengan melepaskan plastik pembungkusnya. Kami berdua saling melihat.

“Sedih ya ukh, kalo lihat boneka itu…” Ujarnya.

Saya mengangguk. Ya benar. Bahkan saya teramat sedih melihatnya. Boneka yang biasanya dibeli lalu ditaruh di lemari kamar anak untuk menjadi mainan, kini berubah fungsi menjadi “penghias” yang tidak lagi berwujud sebagai penghias, malah menjelma menjadi boneka tanpa daya yang jika dia bersuara mungkin akan terdengar, “Aku sudah tidak berguna lagi, tolong lenyapkan saja aku..”. Ya, mungkin kurang lebih seperti itu.

Tentu saja saya menuliskan ini bukan sekadar ingin bercerita tentang boneka usang yang kami lihat tempo hari. Namun saya ingin membuat sebuah analogi mengenai kehidupan ini.

Jika kita adalah boneka usang itu, ketika pertama kali, apakah kita hanya berpasrah menunggu pembeli yang akan membeli kita, sedangkan kita sama sekali tidak tahu apa tujuan dia membeli kita, juga kita tidak tahu bagaimanakah akhir kisah kita sebagai sebuah boneka?

Apa semua itu kita pasrahkan kepada Allah atau kita akan berusaha untuk mengubah ketentuan-Nya?

Kita sering membuat pernyataan atas suatu kejadian, “Ah, itu semuanya adalah Takdir, ketentuan Allah yang tidak bisa diubah”. Betulkah semua bentuk takdir tak dapat diubah?

Mari kita lihat penjelasan mengenai takdir yang saya dapat dari sebuah artikel islami. Dalam syarah kitab hadits Arba’in Nawawi diterangkan bahwa takdir Allah swt itu ada empat macam yang dibagi ke dalam dua kelompok besar, yakni Takdir Mubrom dan Takdir Mu’allaq, sebagaimana penjelasan di bawah ini.

Takdir Mubrom (Tetap), ada dua yaitu Takdir dalam ilmu Allah dan Takdir dalam kandungan.

Takdir dalam ilmu Allah yaitu takdir yang tidak mungkin dapat berubah, sebagaimana Nabi Muhammad saw bersabda: “Tiada Allah mencelakakan kecuali orang celaka, (yaitu orang yang telah ditetapkan dalam ilmu Allah Ta’ala bahwa dia adalah orang celaka.)”.

Sedangkan takdir dalam kandungan ialah saat malaikat diperintahkan untuk mencatat rizki, umur, pekerjaan, kecelakaan, dan kebahagiaan sejak masih bayi yang ada dalam kandungan tersebut. Maka takdir ini termasuk takdir yang tak dapat diubah.

Selanjutnya Takdir Mu’allaq (Takdir Yang Tergantung), ada dua yaitu Takdir dalam Lauh Mahfudh dan Takdir yang diikuti sebab akibat. Takdir yang ada dalam Lauhul Mahfudh adalah takdir yang mungkin dapat berubah, sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Ra’du ayat 39 yang berbunyi: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan apa yang dikehendaki, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauhul Mahfudz).” dan telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa beliau mengucapkan dalam doanya yaitu “Ya Allah jika engkau telah menetapkan aku sebagai orang yang celaka maka hapuslah kecelakaanku, dan tulislah aku sebagai orang yang bahagia”.

Sedangkan Takdir yang diikuti sebab akibat yaitu Takdir yang berupa penggiringan hal-hal yang telah ditetapkan kepada waktu-waktu dan hal- hal yang telah ditentukan. Gambarannya: “Seandainya hamba-Ku berdoa atau bersilaturahim dan berbakti kepada kedua orang tua, maka Aku jadikan dia begini, jika dia tidak berdoa dan tidak bersilaturahim serta durhaka kepada kedua orang tua, maka ia Aku jadikan seperti ini…”

Kembali pada kisah boneka tadi, mari kita memposisikan diri kita sebagai sebuah boneka. Fitrahnya sebuah boneka dibuat manusia untuk menjadi mainan anak kecil, menjadi pemanis ruangan, ataupun penghias kamar. Diletakkan di tempat-tempat yang baik, misalkan di dalam lemari, di depan pintu, atau di atas tempat tidur. Begitulah biasanya boneka diperlakukan, tapi siapa sangka, atap bus tempat boneka yang kami lihat tempo hari jauh dari layak untuk dijadikan tempat boneka.

Seperti halnya manusia, tujuan utama diciptakannya manusia ialah diterangkan dalam surat Adz-zariyaat ayat 56 yang berbunyi “Tidak kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”

Jadi tujuan awal kita diciptakan ialah untuk beribadah kepada Allah swt, bukan untuk yang lain. Selama kita bertujuan sesuai dengan keinginan-Nya. Percayalah detik waktu yang kita jalani akan dipenuhi keberkahan dari-Nya dan insya Allah hidup kita akan mendapat limpahan rahmat dari-Nya.

Seperti boneka yang baik, akan mendapat tempat yang baik pula. Pun untuk manusia yang baik, maka hidupnya pun akan ikut baik. Asal manusia ini memegang satu prinsip, hidup untuk beribadah kepada Allah.

Ketahuilah, kita bukannya boneka usang tersebut yang hanya bisa diam ketika tidak dapat dijadikan sebuah mainan penghibur anak kecil, yang malah dialihfungsikan sebagai “penghias” atap bus.

Kita berbeda. Sebagai manusia, kita memiliki banyak pilihan hidup. Jangan pernah menyesali takdir dengan berdiam diri dalam pusaran takdir yang sebenarnya masih bisa diubah. Seperti yang dilakukan oleh para Sahabat Nabi Saw yaitu Khalifah Umar bin Khattab juga Ali bin Abi Thalib.

Suatu ketika, Khalifah Umar bin Khattab pernah hendak berkunjung ke Syam (Yordania, Palestina, Suriah dan sekitarnya). Pada saat itu di Syam sedang terjangkit penyakit menular, lalu Umar membatalkan rencananya tersebut. Pembatalan tersebut didengar oleh seorang sahabatnya yang kemudian berkata: “Apakah Anda mau lari dari takdir Allah?”. Umar pun menjawab: “Aku lari dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain yang lebih baik”.

Hal senada itu juga dialami oleh Ali bin Abi Thalib, ketika beliau sedang duduk menyandar pada sebuah tembok yang ternyata rapuh, lalu beliau pindah ke tempat yang lain, sahabatnya bertanya: “Apakah Anda mau lari dari takdir Allah?”. Ali menjawab bahwa rubuhnya tembok, berjangkitnya penyakit, dan sebagainya adalah hukum dan Sunnatullah. Maka apabila seseorang tidak menghindarinya maka ia akan mendapatkan bahayanya itu, itulah yang dinamakan takdir, dan apabila ia berusaha menghindar dan luput dari bahayanya, itu juga disebut dengan takdir.

Bukankah Allah telah menganugerahkan manusia kemampuan memilah dan memilih, juga kemampuan berusaha dan berikhtiar. Kemampuan-kemampuan itu juga takdir yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Intinya, kita masih bisa membaikkan kehidupan kita menjadi lebih baik lagi. Asal kita berhusnudzon terhadap ketentuan Allah dan juga selalu berusaha menjadi hamba yang mempunyai tujuan hidup yaitu beribadah kepada-Nya di setiap hembusan nafas kita.

Satu hal yang perlu diingat, jangan sampai hidup yang kita lalui berlalu begitu saja tanpa adanya realisasi atas tujuan utama kita.

Walau boneka hanyalah makhluk tak bernyawa, saya hanya ingin berujar, Jangan menjadi boneka usang tersebut yang hanya bisa pasrah merutuki takdirnya dan akan selamanya terkekang dalam takdir yang sebenarnya masih bisa diubah. Belajarlah darinya.

Hiduplah lebih baik lagi, lillah, fillah.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (5 votes, average: 9.20 out of 5)
Loading...

Tentang

Seorang Penulis asal Palembang, pernah menuntut ilmu di Universitas Sriwijaya.

Lihat Juga

Ingat Allah Hatimu Akan Tenang

Figure
Organization