Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Istimewanya Jum’at

Istimewanya Jum’at

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (hanggaady.blogspot.com)

dakwatuna.com – Hari Jum’at rasanya istimewa bila dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Kalau buat saya sih demikian, tak tahu kalau menurut orang lain.

Akhir-akhir ini, saya seringkali shalat Jum’at di masjid Nurul Jamil, sebuah masjid yang ada di daerah Dago atas. Letaknya tak jauh dari Dago Tea House. Tepatnya di sebuah area perumahan. Masjid ini punya halaman yang lumayan luas, dan sebagiannya adalah tempat parkir kendaraan.

Biasanya kalau Jum’atan, saya datang lebih awal supaya bisa rehat dulu di pelataran masjid. Rehat di sini bisa sekalian makan, karena beberapa tukang dagang (seperti cuankie, baso Malang, baso tahu) sudah datang untuk siap-siap menunaikan shalat Jum’at.

Beberapa menit kemudian, kendaraan-kendaraan berdatangan. Mulai dari motor, sepeda, mobil, hingga truk. Barangkali inilah yang membuat saya sangat terkesan untuk shalat di sini. Terkesan karena di tempat parkir ini sebuah angkot bisa parkir berdampingan dengan sedan mewah. Truk pengangkut barang atau truk pengangkut gas bisa parkir berdampingan dengan kendaraan hasil modifikasian.

Siswa sekolah datang dengan mengendarai sepeda, lalu ia memarkirnya di sebuah sudut area parkir khusus kendaraan roda dua. Tak lama kemudian, ada pegawai kantoran yang datang dengan motor, dan ia parkir di samping sepeda tadi. Tahukah apa artinya?

Saya pikir hanya di tempat parkir inilah sepeda anak sekolahan, motor pegawai kantoran, mobil mewah, angkot dan truk bisa parkir bersama. Sama derajatnya, tak ada yang lebih rendah, tak ada yang lebih tinggi. Tak lupa juga, di sini masih ada gerobak bakso, gerobak es puter, dan tanggungan cuankie. Jadi, seolah-olah gerobak bakso sama terhormatnya dengan sedan mewah. Begitulah saya menyebutnya. Mengapa? Karena di tempat ini pengendara mobil bersedia mengalah kepada penjual bakso untuk memiliki tempat parkir. Tak ada satu pun pemilik mobil yang protes akan keberadaan parkirnya gerobak para penjaja makanan.

Sekitar beberapa menit lagi, adzan Zhuhur akan segera berkumandang. Orang-orang semakin berdatangan, ada yang langsung masuk ke ruang utama masjid, ada juga yang ke tempat wudhu terlebih dahulu.

Sudah waktunya untuk mencari tempat di ruang utama. Ini adalah yang ke sekian kalinya saya Jum’atan di sini, jadi beberapa jamaah di sini adalah orang yang sudah tampak tak asing, bahkan beberapa di antaranya sudah saya kenal. Ada tukang baso, supir, mahasiswa, pelajar, pensiunan, marbot, pegawai kantoran, office boy, juga tak ketinggalan, ada dosen (sudah bergelar doktor). Di tempat ini, seorang pegawai bisa saja duduk di samping pensiunan. Seorang bos bisa saja duduk di samping supir angkot. Seorang office boy bisa saja duduk di shaf terdepan, jauh di depan seseorang yang bergelar doktor. Tentu saja saya mantap mengatakan demikian, karena office boy yang duduk di shaf terdepan itu adalah office boy di fakultas saya kuliah, sedangkan doktor yang duduk di shaf belakang itu adalah dosen saya.

Pemilik mobil mewah turun dari kendaraannya dengan lengan kemeja dan celana yang digulung, dan sajadah yang disemampaikan di bahunya. Supir truk turun dengan mengenakan baju koko, peci haji, dan menenteng sajadah. Kedua-duanya keluar dari kendaraan masing-masing. Kedua-duanya juga mengenakan sendal jepit yang mereknya sama. Sendal sejuta umat. Jadi, supir truk dan pemilik mobil mewah terlihat sama, setingkat, tak ada yang lebih rendah.

Sepertinya tempat ini tak pernah membedakan jabatan, gelar, tingkat pendidikan, dan penghasilan. Dan sepertinya hanya pada hari ini supir truk tampak sama saja dengan dosen perguruan tinggi. Si kaya tampak sama dengan si miskin. Orang berpendidikan tinggi tampak sama dengan tamatan SMA. Begitulah istimewanya hari Jum’at menampakkan ajaran Islam dalam memuliakan setiap orang tanpa pandang latar belakang. Sementara saya yang terlarut dalam suasana Jum’at ini hanya terkesan menikmati indahnya kesamaan dan persaudaraan dalam bingkai keimanan.

Ah, selalu saja ada keistimewaan dalam hari yang satu itu.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (12 votes, average: 8.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Pernah sekolah di jurusan Psikologi. Sehari-hari beraktivitas di seputaran Kota Bandung dan Cimahi, baik sebagai konselor, blogger, dan aktivis warga.

Lihat Juga

Seminar Nasional Kemasjidan, Masjid di Era Milenial

Figure
Organization