Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Kalau Akhwat Menggalau

Kalau Akhwat Menggalau

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Tak pernah terlintas di benak ini untuk menulis sesuatu yang bisa dinilai ‘lebay’ oleh publik. Namun, fenomena sekitar sepertinya menjadi inspirasi dalam perjalanan tulisan ini.

Galau’, entah kapan istilah ini mulai merebak, yang pasti istilah ini sudah menasional. Bila ada sesuatu hal yang tak wajar terlontar dari bibir Anda, maka tunggulah balasan dengan kalimat, “Galau…” Penulis sering dikatakan demikian oleh rekan atau teman. Entah, apa maksudnya dengan ‘galau’, yang pasti, kata itu menggambarkan sesuatu yang ‘tak wajar’ yang ditangkap dari lawan bicara. Namun, bagi penulis bagian itu bukanlah kerikil hidup yang perlu disingkirkan, toh, istilah itu tak berpengaruh. Malah, bisa saja menjadi sebuah candaan yang menghibur.

Galau, entah kapan membahana di tiap sisi dan lini kehidupan? Yang pasti istilah itu telah bertandang dalam dunia ‘akhwat’. Pembaca tentunya tahu, melebihi tahunya penulis, definisi dari akhwat. Kata ‘akhwat’ yang berarti ‘perempuan’, namun rupanya kata itu mengalami penyempitan makna. Akhirnya, kata ‘akhwat’ hanya biasa disandingkan dengan perempuan yang memakai kerudung agak lebar atau kerudung yang menutupi seluruh badan. Namun, kali ini penulis tak ingin memberlakukan penyempitan makna itu dalam tulisan ini. Hanya merasa nyaman saja dengan kata akhwat, mungkin karena berasal dari bahasa Arab kali, ya. Makanya, penulis lebih condong menggunakan kata itu.

Akhwat, bila sudah menginjak usia dua puluh tahun ke atas. Biasanya, sudah mulai terjangkit dengan virus galau. Galau dalam hal apa? Banyak. Terutama yang berkaitan dengan hal pernikahan. Akhwat, berusia dua puluh tahun, memang biasa disebut dengan masa-masa kebelet nikah (istilah penulis). Pikiran biasanya dipenuhi dengan rasa ingin mengakhiri masa-masa kesendirian. Apalagi bila melihat teman sepantaran dirinya telah mengibarkan tenda biru terlebih dahulu. Hughh…seperti ada rasa iri. Atau seorang akhwat yang tengah sibuk-sibuknya kuliah, kemudian merasa terbebani dengan segala tugas yang menumpuk dari beberapa dosen. Tambah makin gencar, deh, bisikan untuk mengakhiri masa lajang seraya berandai-andai. “Andai saya sudah menikah, sudah tentu tugas saya menjadi ringan sebab ada yang bisa membantu.” Padahal, pikiran itu hanyalah sesaat,  lintasan pikiran yang bertahta hanya karena merasa ‘berat’, bukan karena terlahir dari proses yang matang dan penuh persiapan.

Bahkan ada juga akhwat ketika mengerjakan tugas akhir alias skripsi kerap didatangi pikiran aneh alias galau. Tiba-tiba saja ingin menikah. Hanya karena ingin dibantu dalam mengerjakan skripsi atau sekadar memudahkan urusan tugas akhirnya. Naudzubillah. Bukan kondisi demikian yang kita inginkan. Sebenarnya, sih, wajar bila timbul pikiran demikian, itu fitrah. Bahkan ‘menikah adalah sunnah yang memiliki nilai separuh dari dien’. Subhanallah, bila sudah ada niat ke arah sana. Namun, yang menjadi kekhawatiran adalah bila niat itu muncul hanya karena ribuan beban yang menggelayuti hari dan aktivitas kita. Bukan karena proses perenungan yang matang, serta kesiapan mental yang mantap.

Menikah, bukanlah Sesuatu yang ujuk-ujuk, melainkan butuh perencanaan yang terarah. Mau dibawa ke mana, rumah tangga pasca pernikahan? Seperti apa gambaran pernikahan sakinah, mawaddah, warohmah, dan dakwah (samarada) di antara pasangan? Tempat tinggal seperti apa yang diinginkan oleh kedua pasangan? Bahkan, hal kecil seperti menu makanan apa yang akan akhwat sajikan bagi suaminya kelak, perlu dipikirkan. Kalau hal demikian tidak terpikirkan dengan baik, baru bisa dikatakan akhwat mulai menggalau.

Tak ada yang salah bila ada akhwat menggalau. Memang siapa yang melarang? Hal itu muncul dengan sendirinya. Makanya dikatakan fitrah. Naluri yang disematkan oleh sang pencipta pada makhlukNya yang paling mulia.

Banyak versi atau jenis akhwat yang menggalau. Gambaran yang penulis paparkan di atas adalah gambaran akhwat di usia dua puluh-an. Nah, bagaimana dengan akhwat yang menjelang tiga puluh atau malah telah menginjak kepala tiga? Lain lagi sebab galau yang muncul. Bukan karena ribuan beban dari rutinitas akademik lagi, melainkan usianya yang hampir menyandang, maaf, perawan tua. Maka, timbullah pikiran yang tiba-tiba dan terkesan terburu-buru dalam menetapkan segala sesuatu, termasuk dalam memilih pasangan. Takut dirinya tak bisa menunaikan sunnah yang nilainya separuh dien itu. Bahkan, ada pula akhwat yang mungkin mulai lelah mencari siapa gerangan yang akan menjadi pendamping hidupnya, hingga memutuskan menerima pinangan siapa saja yang lebih dahulu mengetuk pintu rumahnya. Naudzubillah. Tentu bukan kondisi demikian yang kita harapkan.

Kita sama-sama belajar. Belajar memaknai hidup. Belajar memahami ketentuan-ketentuan dan rencana indah dari sang pencipta. Penulis pun merasa tak patut berbicara tentang persoalan ini, namun fenomena sekitar menuntun penulis agar menuliskan apa yang tersorot oleh mata. Akhwat menggalau, itu hanyalah sebuah istilah yang ngetrend dewasa ini.

Tak perlu merasa risih dan khawatir akan takdir Allah yang belum juga mempertemukan Anda dengan pasangan hidup. Menghadapi segala sesuatu dengan tenang bukankah lebih baik? Akhwat galau biarlah menjadi sebuah istilah yang merebak. Namun, satu hal yang perlu menjadi bahan perenungan bersama adalah pernikahan adalah amanah. Bila Allah sudah menetapkan perkara bagi hamba-Nya, maka tentu tak akan ada yang bisa mengelak, apalagi menghindar. Sama halnya dengan akhwat galau karena tak kunjung dipinang. Tak ada yang meminta kondisi tersebut. Allah lah yang menetapkan. Kalau pun belum bertandang, kemungkinan Allah belum mengamanahkan hal demikian. Namun, akhwat pun tak bisa mengkambinghitamkan sesuatu dengan berkata, ‘semua ini takdir Allah’. Lebih dari itu, duhai para akhwat, perlu ikhtiar juga untuk ke arah sana. Apalagi doa, sebab doa adalah pelumas dari segala hal. Bukankah Allah dengan mesranya berfirman, ‘ude ‘uunii, fastajib lakum’ ‘berdoalah kepadaku, niscaya akan kuperkenankan bagimu’

Ikhtiar seperti apa yang dimaksud? Pernahkah para akhwat membekali diri dengan ilmu yang mumpuni tentang hal yang mengarah ke sana ‘nikah’? Paling tidak membaca buku serial nikah atau membekali diri dengan berbagai keterampilan. Atau membaca kehidupan nyata tentang gambaran pernikahan yang sesungguhnya? Bila semua sudah terlaksana, tak perlu risau lagi. Memang, ketentuan Allah sudah demikian. Seperti kata pepatah, segala sesuatu akan indah pada waktunya. Ibarat bunga yang bermekaran di musim semi, tentulah sangat indah. Tak usah dipaksakan atau disesali. Cukup yakini bahwa Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Allah berfirman dalam surah Ya-Sin: 36 “Mahasuci Allah yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari mereka sendiri, maupun dari apa yang mereka tidak ketahui.”

Penulis jadi teringat dengan potongan surah dalam kitab-Nya, Kullun fii kitaabin mubiin,  ‘semua tertulis dalam kitab yang nyata Lauh Mahfudz. Kalimat itu pula lah yang senantiasa tertancap dalam sanubari penulis hingga berprinsip tak usah galau memikirkan segala sesuatu yang tak sesuai dengan perencanaan hidup. TohAllah sudah memberikan janji sebagaimana digambarkan surah Ya-Sin di atas. Dia dzat yang tiada pernah ingkar. Haqqul yakiin! Bagaimana dengan Anda wahai para akhwat? Masihkah galau membayangi langkah dan keseharian Anda? Katakan ‘tidak’ pada GALAU.

Wallohu’alam bissawwab.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (3 votes, average: 9.67 out of 5)
Loading...

Tentang

Fasilitator Komunitas Guru Gugus SGI Dompet Dhuafa. Bantaeng, Sulsel.

Lihat Juga

Duet Bersama Sang Anak, Doktor Penciptaan Seni Teater Terbitkan Buku ‘Rembulan dan Matahari’

Figure
Organization