Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Hijabku, Wasiat Cinta Ibu

Hijabku, Wasiat Cinta Ibu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Ibu,
Ketika nuraniku terjatuh,
Yang membangkitkanku hanyalah kata-katamu.
Ketika jiwaku terpuruk,
Yang menyemangatiku hanyalah wajahmu.
Ketika pikiranku berkabut,
Yang menjernihkanku hanyalah suaramu.

Ilustrasi. (qimta.devianart.com)

dakwatuna.com – Ibu. Kata yang terdengar asing bagiku. Setidaknya dalam setahun terakhir ini. Setiap kali mendengar kata itu, hanya luka yang menggores hatiku semakin dalam dan menganga.

Ya, panggilan itu hilang dalam hari-hariku semenjak kejadian itu. Kejadian yang bahkan tak ingin kuingat. Kejadian yang membuat hari-hariku kelam dan suram. Kejadian yang membuat hidupku berubah.

Saat ini pikiranku dipenuhi tanda tanya, mengapa hal itu terjadi padaku? Mengapa harus saat itu? Dan mengapa harus dia..?

Singkat kata aku sangat marah, marah pada ketetapan-Nya.

Kejadiannya setahun yang lalu menjelang hari ulang tahunku. Aku baru menginjak masa-masa remaja. Masa yang begitu indah. Aku dikaruniai ibu yang luar biasa menyayangiku. Hari-hariku dipenuhi canda tawa dengannya. Sampai suatu hari, sehari sebelum ulang tahunku yang ke 14. Ibuku masuk rumah sakit. Aku tidak pernah menduga sebelumnya ibuku akan sakit, karena memang semua terlihat baik-baik saja dan ibuku terlihat sehat-sehat saja.

Saat itu ibuku berkata,

“Ibu baik-baik saja, kamu doakan ibu ya nak, biar cepat keluar dari rumah sakit”.

Aku lega mendengarnya. Aku terbiasa mempercayai kata-kata ibuku. Dia sama sekali tak pernah berbohong padaku. Aku sangat percaya ibuku tidak apa-apa, mungkin hanya kecapekan karena rutinitas sehari-hari, pikirku waktu itu.

“Ibu tau kan besok hari apa?” tanyaku.

Hmm…Besok tanggal 21 Desember, hari rabu, kenapa dengan hari itu?” Ibuku pura-pura tidak tau.

“Aaah, ibu jahat.”

“Iya iya, ibu tau nak, itu hari ulang tahunmu kan. Mau kado apa?”.

“Aku ingin ibu sehat lagi dan keluar dari rumah sakit. Itu kado yang sangat kuinginkan saat ini, Bu.” Kutatap matanya.

“Kamu anak yang baik” Ibuku tersenyum.

Dia lalu memelukku hangat.

“Boleh ibu minta sesuatu…”

“Sangat boleh” jawabku cepat.

“Rambutmu bagus, lebih bagus lagi kalau ditutup jilbab seperti ibu. Biar jadi anak yang shalihah” Ibuku berkata penuh harap.

“Oke oke” Jawabku enteng.

Selanjutnya aku meninggalkan kamar rumah sakit itu untuk mencari makanan kecil. Perutku keroncongan. Dari siang aku tidak makan sedikit pun. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Aku pergi membeli beberapa roti dan satu botol air mineral. Cukup mengganjal perutku. Setelah itu aku kembali ke kamar ibuku. Kulihat ibuku sudah tertidur pulas. Aku duduk sambil memakan roti di samping kasur ibuku. Aku mengantuk lalu tertidur juga.

Aku terbangun pukul 6 pagi. Aku belum shalat subuh. Ketika aku beranjak dari kursiku. Aku melihat ibuku sekilas. Dia masih tertidur pulas. Aku jadi enggan membangunkannya.

Aku lalu shalat subuh di mushalla rumah sakit. Selesai shalat aku berdoa untuk kesembuhan ibuku juga berdoa untuk umurku yang telah bertambah hari itu. Setelah itu aku kembali ke kamar ibuku. Aku melihat wajah ibuku pucat tapi dia masih tertidur pulas. Aku lalu berinisiatif membangunkannya. Tapi ketika aku menyentuh pipinya. Wajahnya terasa dingin. Kusentuh kakinya sama saja, terasa dingin. Aku panik sekali. Apakah ibuku kedinginan? Padahal semalam tidak hujan dan aku merasa ibuku tetap hangat semalam karena kuselimuti dengan selimut yang tebal.

Aku keluar memanggil suster, dan sesaat kemudian dokter juga datang ke kamar ibuku. Dia lalu memeriksa kondisi ibuku yang aneh.

“Innalillahi…” Dokter itu berbisik.

Jangan kira aku tidak mendengarnya, Sangat jelas terdengar di telingaku.

“Dokter bilang apa tadi? Tolong jangan bercanda, dok.” Aku sedikit berteriak.

Aku ingin jawaban dokter kali ini bisa melegakanku. Aku ingin dari mulut dokter itu keluar kalimat, “Semuanya baik-baik saja.” Tapi keinginanku itu hanya angan-angan ketika kudengar dokter berujar sekali lagi,

“Ibumu meninggal nak…”

Kalimat itu, kalimat yang paling tidak ingin kudengar di hidupku. Pikiranku menjadi kosong. Aku berusaha mencerna maksud kalimat dokter itu dengan baik, namun tetap sulit kupercaya. Selanjutnya, aku tidak ingat apa-apa lagi. Ketika aku terbangun, aku sudah berbaring di kamarku, di rumahku, yang saat itu menjadi “rumah duka”.

***

Kejadian setahun yang lalu masih begitu jelas di ingatanku, tanpa terpenggal sedikit pun. Huh… ternyata begitu kado yang kudapat di hari ulang tahunku. Kado terburuk yang pernah kudapat.

“Ibu… ingatkah kau berjanji padaku akan sembuh, akan sehat lagi, dan kita bisa bercanda tertawa bersama lagi?” Dan jangan salahkan aku, bila aku marah pada-Nya… Dia telah mengambil engkau dariku.

Satu hal lagi, aku tidak mempunyai kewajiban untuk memenuhi janjiku padamu, ibu… Engkau mengkhianatiku…” Nuraniku menjerit.

Suara hatiku terus bergemuruh, riuh kudengar tanpa bisa kuhentikan.

“Mengapa harus hari itu… mengapa harus di hari ulang tahunku, yaa Rabb”

Dan kali ini aku berbisik lirih, sangat lirih, kupastikan hanya aku dan Engkau ya Rabb yang bisa mendengarnya.

***

Hari ini ulang tahunku yang ke-15. Tak ada yang istimewa. Teman-temanku memberi kejutan untukku. Aku hanya berpura-pura bahagia. Hanya berpura-pura tertawa. Tapi dalam hati aku menangis. Menangisi kejadian hari ini satu tahun yang lalu. Kulihat teman-temanku masing-masing mempunyai rencana memberi hadiah kepada ibu mereka. Karena memang besok bertepatan Tanggal 22 Desember yaitu hari ibu. Menurutku tidak adil. Hari ibu hanya diperuntukkan bagi anak yang masih mempunyai ibu, Tidak untukku. Kembali hatiku memprotes.

Hari ini aku merasa tidak enak badan. Aku memilih minta izin untuk pulang ke rumah menenangkan hati dan pikiranku. Sesampainya di rumah, aku ingin segera merebahkan tubuhku. Aku ingin segera tidur dan berharap hari ini berlalu dengan cepat.

Tak sengaja aku melihat tas ibuku yang tergantung di kamarnya. Memang barang-barang ibuku dan kamarnya tidak pernah diubah atau dibereskan, semua masih seperti sebelumnya. Tak ingin menyingkirkan kenangan tentang ibuku juga barang-barangnya.

Kakiku melangkah mendekati tas ibuku. Entah dorongan dari mana tapi aku terus mendekati tas itu. Aku pikir aku terlalu merindukan ibuku. Jadi mungkin hanya dengan melihat tas kesayangan ibuku itu, aku bisa bernostalgia, mengingat kenangan-kenangan indah bersama ibuku. Tas itu memang selalu dibawa ibuku ke mana-mana, bahkan ketika dia dirawat di rumah sakit setahun yang lalu.

Tanganku gemetar meraih tas itu. Kubuka dan kulihat isinya. Ternyata hanya ada sebuah dompet dan Al-Quran kecil. Kubuka dompet ibuku itu. Di sana kulihat fotoku yang terpajang di dalam dompet itu. Fotoku sewaktu masih kecil. Hatiku mulai gerimis. Aku terharu, tapi segera kukuatkan diriku untuk tidak menangis. Aku mengambil Al-Quran kecil itu. Al-Quran itu sedikit usang karena telah lama tidak dibaca. Mungkin jika ibuku masih ada, pasti Al-Quran ini tidak usang seperti ini. Selalu dibacanya sehabis shalat fardhu.

Setelah aku lihat dengan teliti, ada sebuah kertas terselip di antara lembaran Al-Quran itu. Aku penasaran lalu kubuka Al-Quran itu tepat ditempat kertas itu terselip. Kubuka kertas itu ternyata sebuah surat yang ditulis ibuku.

Anakku,

Ibu takut kalau tidak ada lagi waktu untuk mengatakannya padamu.

Ibu sayang sekali padamu, Nak. Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan rasa sayang ibu padamu.

Ibu ingin sekali melihatmu tumbuh dewasa dalam asuhan ibu. Ibu sangat ingin…

Tapi sekali lagi, ibu tidak tau apakah ibu bisa membimbingmu hingga dewasa nanti.

Anakku,

Sekarang ibu sedang melihatmu terlelap… ibu rasa kamu sangat kelelahan menjaga ibu seharian di rumah sakit ini.

Entah mengapa ibu hanya ingin pamit padamu, tapi ibu kasihan jika harus membangunkanmu.

Ibu berdoa untukmu, Nak.

Semoga kamu menjadi anak yang shalihah. Walau tidak ada ibu di sampingmu.

Ibu yakin kamu pasti bisa melalui masa remajamu dengan baik.

Ibu akan bahagia di sana, jika anak ibu yang ibu tinggalkan menjadi anak yang shalihah dan bisa mendoakan ibu di sana.

                                                                                                Salam sayang,

                                                                                                Ibumu

                                                                                                21 Desember 2007, pukul 22.30

 

Air mataku jatuh tanpa bisa kubendung lagi. Walau telah kukerahkan seluruh kekuatanku untuk tidak menangis. Aku tetap tidak bisa.

“Ibu…, andai engkau membangunkanku malam itu. Akan aku peluk engkau dan terus kubisikkan kalimat, aku sayang padamu, ibu”

Aku sangat menyesal telah menyianyiakan kehidupanku setahun terakhir ini. Mengapa aku marah pada ketetapan-Nya? Padahal ibuku juga berharap besar bisa bersamaku lebih lama.

Tapi bukankah tiap – tiap yang bernyawa pasti menjumpai kematian? Mengapa aku tidak sadar itu dari dulu. Aku memang egois.

Kutarik nafas panjang lalu kuhembuskan perlahan.

Astaghfirullahal adzim” Aku memohon pada-Nya atas kekeliruanku selama ini.

Kulihat Al-Quran itu masih terbuka. Kuraih dan kubaca terjemahannya tepat pada halaman surat ibu terselip.

“Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang biasa terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya)……..”

Aku tersenyum. Aku teringat teman-temanku yang sedang menyiapkan kado untuk ibu mereka di hari ibu besok.

“Sepertinya aku tau kado apa yang harus aku berikan pada ibu…” bisik hatiku.

Kubuka lemari ibu. Kuambil sehelai kain segi empat berwarna putih.

“Ibu, insya Allah aku akan memakai ini. Aku akan berusaha mencapai predikat anak yang shalihah seperti yang ibu inginkan agar bisa mendoakanmu. Sampai suatu saat ketika waktuku habis di dunia ini… bismillah.…”

Kurasakan tetes embun jatuh dari pelupuk mataku. Baru kali ini aku merasa bahagia di saat menangis.

Kulihat cermin di depanku, tampak sosokku yang baru. Aku sangat nyaman… Hatiku tak lagi dingin, terasa begitu hangat…

Semua berkat kasih sayang-Nya, juga berkat benda yang kupakai sekarang…

Ya, benda itu…

Jilbab ibuku…

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (24 votes, average: 9.58 out of 5)
Loading...

Tentang

Seorang Penulis asal Palembang, pernah menuntut ilmu di Universitas Sriwijaya.

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization