Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Catatan Aksiku untuk KAMMI

Catatan Aksiku untuk KAMMI

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Siti Hasmah)

dakwatuna.com – Awan biru menjadi payung di siang itu. Matahari mulai meninggi menanda pagi telah berlalu. Dengan hati deg-degan ku tetap berdiri di barisan yang rapi. Berdiri di tengah akhwat-akhwat yang tak kukenal. Terbagi 2 barisan ikhwan dengan akhwat yang terhijab berapa meter. Yang ku tahu di garis terdepan shaf akhwat ada mbak Dini, senior yang mengajak ku berpanas ria. Terlihat Mbak dini dengan semangat membawa spanduk bertuliskan misi yang tak kumengerti. Dengan slayer yang menutupi wajahnya, mbak Dini berniat menghindari wartawan yang ingin mendokumentasikan. Ku hanya diam untuk memahami suasana ketika itu. Tatapan penuh tanya kulempar di jejeran gedung bertingkat yang di hadapanku. Inilah pertama kali ku injak kaki ditempat itu.

Seorang ikhwan mulai berorasi. Isu yang sedang hangat menjadi topik. Ku tahu topik itu menjadi terdepan di tayangan berita stasiun TV swasta di sepanjang malam. Ku tetap menyimak meski tak paham apa yang dikatakannya. Tetesan-tetesan keringat mulai memenuhi wajahku, ku hanya menyapunya dengan tisu yang telah kusediakan dari awal. Ku berharap segera usai. Terlihat ibu paruh baya hanya tersenyum melihat kelakuan kami atau 2 siswi SMA dengan sinisnya menatap spanduk-spanduk yang tertampang jelas di pinggir jalan. Ku terus menunduk, menahan malu. Apa yang telah kulakukan di hari itu?

“Dek, Anti sakit ya?”, sebuah pertanyaan yang membuyarkan lamunanku. Akhwat itu hanya tersenyum.

“Gak kok mbaa, hanya kepanasan aja…”, jawabanku ngasal tanpa ekspresi. Tapi sejujur-jujurnya ku dah gak kuat untuk bertahan lebih lama. Tapi ku menyesal telah melontarkan jawaban itu.

“Oh…mbak Dini ku mau pulang???”, teriak dalam hati.

Setelah berjam-jam seperti patung kepanasan akhirnya….

“Mbaaa Risa…mbaaa Risa”, teriak Reyna mengguncang wisma Al-Quds. Reyna dengan wajah memelas segera menghampiri sang mas’ul yang lagi membaca buku…

“Mbak ngapain sih aksi kayak gituan…kan nahan malu diliatin orang… ku gak mau kalau diajak lagi ma mbak Dini”, kataku dengan menggebu-gebu.

“Hmmm kan enak bisa difoto wartawan dek… hehehe”, jawab Mbak Risa bercanda padahal sudah kuperhatikan dengan serius mimik wajahnya yang sejuk. Mbak Risa tersenyum ketika mbak Dini menghampiri dan memberikan es teh sebagai imbalan menemani aksi di hari itu. Lumayan sebagai penenang hati setelah seharian dijebak oleh Mbak dini. Mbak Risa pelan-pelan menjelaskan kepadaku. Sebuah aksi yang bukan sekadar mengekspresikan pendapat di muka umum. Yah sebagai anak baru di wajihah itu, keterkejutan yang mendalam ketika di lapangan menjadi dilema tersendiri. Tidak seperti yang dibayangkan, tanpa bentrokan dan terjaga hijab nya sebagai poin positif buat wajihah itu. Lagi dan lagi wajihah itu.

Tapi satu hal yang membuatku tak pernah bertanya tentang tempat aksi itu. Ku hanya berpikir haruskah di tempat itu. Yah nalar selalu meminta lebih untuk mencari jawaban. Cerita baru akan termulai tanpa terduga.

“Apa Nak… kamu ikutan demo? Bapak dan ibumu biayai kamu sekolah tinggi bukan buat demo… Nak Nak…gak kasihan ya…gak usah ikutan KAMMI? Gak usah ikutan kegiatan…belajar saja…”, nasihat ibu yang khawatir melihat anaknya melakukan hal tak wajar dibanding teman sebaya.

Hal yang tak pernah kuduga ayah dan ibu mengetahui aksiku yang pertama. Tanpa seizin mereka ku lakukan dengan diam. Dan sejuta nasihat bijak terlontar dari bibir mereka tanda kepedulian kepada anak kesayangannya. Tapi tak satu pun nasihat itu mampu ku lakukan. Bukan bermaksud berdurhaka tapi kelak akan kupahami sebagai tujuanku. Ku lupa seorang sepupu juga berada di satu kampus denganku. Andi namanya. Diakah yang melaporkanku? Mengetahui bila aku bergabung dengan wajihah itu. Yah Andi setingkat di atasku yang diberi amanah Bapak dan Ibu untuk menjaga ku. Meski pemahamanku kurang mengenai muhrim tapi kuhormati Andi sebagai anak dari pakdeku. Yang kutahu Andi juga bergabung dengan elemen gerakan mahasiswa yang berbeda denganku. Alasan yang dipaparkan tentang wajihah ku tak membuat kuragu. Ekstrim, kerjaannya demo, aliran sesat dan masih banyak tapi tak ingin kusebutkan lebih lanjut. Sebuah episode baru yang menjadi tantangan tersendiri. Ketidaksukaannya pada wajihah yang kupilih mendorong untuk lebih mengenal KAMMI. Semakin kukenal dan pahami memberikan banyak alasan untuk bertahan. Bertahan bersama saudaraku yang memiliki tekad yang sama dalam naungan KAMMI.

***

Allahu Akbar… Allahu Akbar… Terdengar suara Adzan pertanda Zhuhur telah tiba. Tiara segera menutup buku diary nya yang ditulis empat tahun yang lalu. Buku yang menjadi kenangan masa lalu di awal perjuangannya. Buku yang menjadi catatan penting yang akan mengubah jalan hidup pilihan Tiara. Di atas izin Allah, estafet dakwah kampus dalam amanah di wajihah yang dipilihnya akan segera diberikan kepada adik-adiknya.

Besok Tiara akan diwisuda S1….

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Kadep HUMAS PK KAMMI IKIP PGRI Semarang. Mahasiswi semester 5 jurusan Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang.

Lihat Juga

Opick: Jangan Berhenti Bantu Rakyat Palestina!

Figure
Organization