Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Rindu Yang Tak Akan Pernah Tersia

Rindu Yang Tak Akan Pernah Tersia

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Duhai, adakah aku bisa bermalam di sana semalam saja
Di dusun Fakh yang di sekelilingnya ada pohon Ikhzir dan Jalil
Dan apakah aku bisa mendatangi air Mijannah suatu hari nanti
Agar tampak bagiku bukit Syamah dan Thafil

(Syair Kerinduan Bilal bin Rabah pada Mekah di awal-awal hijrah ke Madinah)

dakwatuna.com – Waktu itu cuaca Mekah tidak sangat panas. Meski ada terik, di saat-saat tertentu angin berhembus, menciptakan jenak-jenak kesegaran, utamanya bagi ratusan ribu jamaah haji. Dan satu di antara 600an ribu jamaah haji saat itu adalah seorang ulama masyhur, Abdulloh bin Al-Mubarok rahimahulloh. Beliau adalah memang seorang ulama yang kaya raya, maka baginya berziarah ke Mekah bukan hal yang sulit kendatipun tempat tinggalnya jauh dari Mekah.

Saat itu, setelah melakukan serangkaian ritual ibadah haji Abdulloh bin Al-Mubarok rahimahulloh tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit dan melakukan percakapan di antara mereka. “Ada berapa orang yang berhaji tahun ini?” tanya malaikat pertama kepada temannya. “Ada enam ratus ribu,” jawab temannya. “Berapa di antara mereka yang diterima hajinya?” tanya yang pertama lagi. “Tak satu pun,” tegas malaikat kedua.

Jawaban itu membuat Abdulloh bin Al-Mubarok rahimahulloh risau bercampur rasa takut. Dia kaget dan menangis. “Bukankah mereka datang ke tanah suci ini dengan penuh rintangan dan ujian? Mengapa usaha mereka menjadi sia-sia?” gumamnya dalam mimpi itu. Tapi kemudian ia dikejutkan oleh suara malaikat kedua, “Kecuali seorang sepatu di Damaskus yang bernama Ali bin Muwaffaq. Dia memang tidak datang berhaji, namun haijnya diterima dan seluruh dosanya diampuni. Bahkan, lantaran dia maka ibadah seluruh jamaah haji diterima Allah.” Mendengar itu Abdulloh bin Al-Mubarok rahimahulloh begitu takjub, seketika ia terbangun dari tidurnya. Usai menuntaskan hajinya, ia bergegas ke Damaskus, mencari sosok Ali bin Muwaffaq.

Cukup lama ia mencari, namun akhirnya ia temukan juga lelaki itu. Setelah menyapa dengan salam, ia bertanya, “Siapakah namamu dan apakah pekerjaanmu?” lelaki itu menjawab, “Ali bin Muawaffaq, aku seorang penjual sepatu. Siapakah tuan?” kata Ali balik bertanya. Abdulloh bin Al-Mubarok rahimahulloh kemudian memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangannya. Setelah lelaki itu mendengar penjelasannya dan tahu dengan siapa ia berhadapan, tiba-tiba ia menangis dan jatuh pingsan. Setelah sadar, Ibnu Al-Mubarok rahimahulloh meminta agar ia menceritakan bagaimana keutamaan itu bisa ia dapatkan.

“Selama 40 tahun aku telah rindu untuk berhaji. Dan untuk mewujudkan rindu itu, aku telah mengumpulkan biaya perjalanan sebesar 350 dirham, hasil dari berdagang sepatu. Maka tahun ini aku memutuskan untuk berangkat ke Mekah. Namun, suatu hari istriku yang sedang hamil mencium aroma masakan yang lezat dari salah seorang tetangga. Istriku sangat berhasrat mencicipinya. Aku pun pergi ke rumah tetangga itu untuk sekadar meminta sedikit saja masakannya.

Tapi ketika kusampaikan maksudku, tetangga itu menangis, “Sudah tiga hari ini anak-anakku tidak makan apa-apa. Dan hari ini, aku menemukan bangkai keledai tergeletak, lalu memotongnya dan memasaknya untuk mereka. Ini bukan makanan yang halal bagimu.” Katanya padaku. Aku pun iba kepadanya dan merasa sangat bersalah karena tidak memperhatikannya. Maka uang 350 dirham kuberikan kepadanya. “Ini biaya perjalanan ibadah hajiku tahun ini, belanjakanlah untuk anak-anakmu. Pintaku kepadanya” Mendengar kisah itu Abdulloh bin Al-Mubarok rahimahulloh berujar, “Sungguh benar penguasa kerajaan surga dalam keputusan-Nya.

●●●

Kerinduan berhaji adalah sebuah keniscayaan bagi keimanan kita. Inilah kerinduan yang harus tetap terjaga, tak peduli apa atau bagaimana keadaan kita. Kerinduan berhaji adalah kerinduan yang tak pernah tersia sezarah pun, karena seandainya jasad ini tak menggapainya, Allah pasti tidak akan mengabaikan rindu ini. Seperti Ali bin muwaffaq, fisiknya memang tak dapat hadir dalam ibadah haji, tapi kerinduan dan ketulusannya akan tanah suci telah terbayar kontan oleh Allah langsung.

Kerinduan pada tanah suci adalah kerinduan menembus batas waktu dan ruang. Karena di sanalah napak tilas keteladanan Ibrahim dan Ismail dapat kita resapi. Di sanalah jejak romantika kehidupan Rasulullah dan para sahabat kita dapati. Maka demi Allah, rindu pada tanah Mekah yang suci dan kota Madinah yang terberkahi adalah pola rindu yang harus tetap ada dalam hati, tak peduli apa dan bagaimana kondisi kita. Wahai Allah, perkenankanlah kami berziarah di rumah-Mu dan kota rasul Mu, Aamiin…

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (7 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization